Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sabam Siagian, Potret Wartawan Sejati

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Sabtu, 21 Mei 2016, 23:04 WIB
<i>Sabam Siagian, Potret Wartawan Sejati</i>
BUTUH pertimbangan khusus untuk menentukan topik mana yang patut ditulis. Apakah peringatan 18 tahun lengsernya Presiden Soeharto yang jatuh pada hari Sabtu ini atau tentang Sabam Siagian, wartawan senior berusia 84 tahun.

Sabam yang pernah menjadi Dubes RI untuk Australia ini, kini sedang dirawat di RS Siloam, Semanggi; Jumat kemarin saya menjenguknya.

Pilihan jatuh ke sepak terjang dan apa yang saya ketahui tentang Pak Sabam. Sebab di mata saya, Sabam Siagian merupakan wartawan sejati Indonesia.

Saya coba bandingkan dia dengan wartawan melegenda seperti Mochtar Lubis (Indonesia Raya), BM Diah (Merdeka), Rosihan Anwar (Pedoman), ketiganya sudah almarhum dan Jakob Oetama, pendiri Kompas.

Walaupun perbandingannya tidak persis "apple to apple", Sabam tetap memiliki tempat tersendiri. Dan tetap bisa disetarakan dengan empat tokoh pers nasional di atas.

Pergaulannya begitu luas, wawasannya demikian kaya dan tentu saja kawannya cukup banyak. Dan ketika Pak Sabam jatuh sakit seperti saat ini, langsung terlihat seberapa banyak yang orang yang membesuknya. Semua mencerminkan, itulah jaringan dan sahabat wartawan senior ini.

Kalau akhirnya saya memilih Sabam Siagian, bukan semata-mata karena alasan subyektifitas. Tetapi karena alasan situasional - khususnya keadaan kemarin.

Satpam di rumah sakit dimana Sabam dirawat, langsung berkomentar bahwa yang datang membesuk bekas Pemred The Jakarta Post itu, terus berdatangan. Satpam berkata demikian begitu dia tahu saya juga pembesuk Pak Sabam.

Ketika di kamar perawatan, belum lima menit berada di situ, Pak Sabam masih sedang beremangat berceritera, adik kandungnya yang berjaga, sudah meminta saya keluar ruangan.

"Bapak sudah capek. Sudah banyak yang besuk dari tadi," tambah adiknya.

Saat menunggu lift, untuk turun ke lobi dari lantai 35, saya berpapasan dengan Timbo Siahaan, Direktur Pemberitaan JakTV. Timbo juga datang membesuk.

Pagi tadi, ketika membuka Facebook, saya melihat postingan Ilham Bintang, Pendiri dan Pemilik tabloid serta program "Cek & Ricek".

Semua terpanggil menengok Pak Sabam yang sedang sakit.

Info tentang Pak Sabam masuk rumah sakit, saya peroleh dari postingan Dr. Connie Rahakundini Bakrie, di WAG Peduli Negara 1.

Dalam postingannya Dr. Connie, seorang pakar masalah keamanan Asia lulusan lembaga pendidikan di Taipe, Taiwan dan Tel Aviv , Israel antara lain menulis : ".....Pak Sabam sebagai Pakar Diplomasi......"

Memang benar, sekalipun Sabam Siagian tidak terlahir sebagai anak dari keluarga diplomat, tetapi pengetahuannya tentang diplomasi dan hubungan internasional cukup luas.

Boleh jadi kepakarannya dalam dunia diplomasi terbentuk secara alamiah. Bukan oleh pendidikan. Karena secara akademisi, Pak Sabam tak punya gelar akademi.

Ia seperti Adam Malik. Bekas wartawan yang kemudian menjadi Duta Besar dan Menteri Luar Negeri.

Adam Malik pun hanya berpendidikan sekolah menengah lanjutan. Tapi mampu menjadi diplomat terpandang. Ia pernah terpilih sebagai Ketua Majelis Sidang Umum Tahunan PBB.

Sejak tahun 1960-an, Sabam sudah menggeluti dunia wartawan. Ia mengawali karir jurnalistiknya di Radio Australia seksi Indonesia, yang berbasis di Melbourne.

Sabam tidak bekerja di Australia, melainkan di Markas PBB New York, Amerika Serikat. Dari benua Amerika laporannya ke benua Australia kemudian dipancarkan ke benua Asia, khususnya Indonesia. Laporan melintas tiga benua.

Itu berarti lebih dari 50 tahun lalu, Sabam sudah menjadi satu-satunya orang Indonesia yang bekerja sebagai wartawan untuk sebuah media asing dengan penempatan di pusat diplomasi dunia, markas besar PBB.

Sebagai koresponden Sabam Siagian dikenal dengan nama "samaran" Asal Pandapotan. Laporan-laporannya sekitar kegiatan atau debat diplomasi di PBB, hampir setiap hari bisa didengar pendengar Indonesia di frekwensi pendek Radio Australia.

Ketika itu teknologi di bidang broadcasting, masing sangat sederhana. Tapi Radio Australia sudah menggunakan teknologi maju.

Sebab tidak semua radio, RRI termasuk Voice of America atau BBC Inggeris sekalipun - ketika itu, bisa menyiarkan ulasan atau laporan seperti yang dilakukan Radio ABC, Australia tersebut.

Sehingga secara jurnalistik, lima dekade lalu itu Sabam sudah mengerjakan pekerjaan wartawan secara profesional. Memanfaatkan teknologi komunikasi - yang saat itu masih langkah dan mahal di dunia.

Pada tahun 1970-an, Sabam kembali ke Indonesia dan langsung menduduki posisi Wakil Pemimpin Redaksi harian "Sinar Harapan".

Ia menjad wakil pemegang saham harian tersebut - mewakili orangtuanya yang menjadi salah seorang pendiri. Ia menggunakan jalur kepemilikan PSKD (Pusat Sekolah Kristen Djakarta). Sabam saat itu sudah menjadi salah seorang petinggi dan berpengaruh di "Sinar Harapan".

Di sanalah, di harian "Sinar Harapan" yang kantor redaksinya di Jl. Petak Asem, Penjaringan, Jakarta Utara, saya mengenal Pak Sabam.

Pada awal-awalnya bekerja sebagai wartawan "Sinar Harapan", saya sering diwanti-wanti oleh sejumlah wartawan senior. Agar jangan asal bikin berita. Jangan sampai berurusan dengan Wapemred Sabam Siagian. Carilah berita eksklusif dan tentu saja berbobot.

Pada satu saat saya dipanggilnya. Karena akan menghadiri konperensi pers Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad. Konperensi pers digelar di Wisma Negara, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta.

"Anda harus menjadi wartawan pertama yang mengajukan pertanyaan. Dan perkenalkan diri anda sebagai wartawan ('Sinar Harapan')," saran Pak Sabam.

Sarannya saya laksanakan. Dan ternyata positif dan efektif. Semua perwakilan media termasuk koresponden asing yang mewakili media raksasa seperti "Reuters" (Inggeris), "AFP" (Prancis), "Associated Presss" dan "United Press International", dua terakhir ini dari Amerika Serikat - langsung mengenal "Sinar Harapan" media saya wakili. Banyak foto "Sinar Harapan" dikutip oleh media-media asing tersebut untuk publikasi internasional.

Di era 80-an, Indonesia menjadi anggota aktif di OPEC. Ketika itu produksi minyak Indonesia 1,2 juta beral per hari. Sekitar 800 ribu barel per hari, dijual Indonesia ke pasar internasional. Hasil penjualan itu digunakan Indonesia untuk membiayai pembangunan.

Itu sebabnya berita OPEC termasuk yang sangat disakralkan.

Pak Sabam sendiri menjadi peliput tetap OPEC bersama Fikri Jufri, wartawan Tempo. Dia dan Fikri dipercaya pemerintah sebagai duet wartawan Indonesia yang bisa meliput OPEC dalam perspektif yang positif.

Sekembali dari tugas belajar di Prancis, Pak Sabam meminta saya menggantikannya.

Semenjak itu setiap kali digelar Konperensi OPEC - Organization of Petroleum Exporting Countries, saya hadir mewakili "Sinar Harapan".

Saya merasa beruntung karena dalam setahun, bisa dua sampai empat kali bolak balik Jakarta - Jenewa (Swiss) atau Jakarta - Wina (Austria).

Beruntung sebab memperoleh tambahan wawasan, melatih percaya diri di forum internasional, jaringan internasional bertambah dan yang tak kalah menyenangkan, mendapat uang saku dalam mata uang dolar yang lumayan dari perusahaan.

Masih tentang kepercayaan. Selesai sebuah konperensi OPEC di Wina, Pak Sabam minta saya meliput Pertemuan Ketua DPR/MPR-RI Kharis Suhud dan anggota parlemen lainnya dari Indonesia yang bertemu Pimpinan Parlemen Eropa di Strassbourg, Prancis.

"Sinar Harapan" menjadi peliput eksklusif tentang dialog yang membahas seputar aneksasi Indonesia atas Timor Portugis menjadi Timor Timur.

Yang saya kerjakan di Strassbourg sebetulnya murni mencari berita eksklusif.

Wawancara eksklusif dengan seorang anggota parlemen asal Belanda yang sangat anti Indonesia, diangkat menjadi ulasan tajuk di "Sinar Harapan". Nama saya disebut di dalamnya dalam konotasi positif. Penulisnya Pak Sabam.

Cara Pak Sabam yang menyebut nama reporter dalam sebuah Tajuk Rencana, mungkin tak pernah dilakukan penulis tajuk lainnya manapun.

Caranya itu, benar-benar mengubah banyak hal dalam cara pandang saya tentang profesi kewartawanan. Termasuk bagaimana saya melihat Pak Sabam sebagai senior.

Bukan pujiannya yang membuat saya senang. Tapi penilainnya bahwa pertanyaan saya smart sebab telah membuat politisi Eropa yang secara apriori anti Indonesia, mati kutu.

Hal itu menurut Pak Sabam merupakan salah satu kemenangan diplomasi Indonesia di Parlemen Eropa. Sedang bagi saya hal itu telah menambah rasa percaya diri.

Pertanyaan kepada politisi Belanda itu sederhana. "apakah dia sudah pernah ke Timor (Portugis) Timur ?".

Dan dari mana dia mendapatkan data atau fakta tentang keadaan di Timor Timur yang saat itu sudah tercatat sebagai provinsi ke 27 Republik Indonesia?

Anggota parlemen itu akhirnya secara implisit jujur mengaku belum pernah ke Timtim dan Indonesia tentunya.

Pengakuan secara implisit itu menjadi sangat berarti bagi kredibilitas "Sinar Harapan" pada era itu. Terutama karena "Sinar Harapan" oleh pemerintah Orde Baru dengan Menteri Penerangannya Harmoko, cenderung ditempatkan sebagai koran (sore) pembawa suara oposisi. Media yang hanya mencari-cari kesalahan pemerintah.

Di pertengahan tahun 1984 saya ditugaskan meliput penarikan mundur pasukan Vietnam dari Kamboja. Saat itu Vietnam dan Kamboja merupakan negara yang dipimpin rezim komunis-sosialis. Dengan Vietnam, RI punya hubungan diplomatik. Namun dengan Kamboja yang baru diperintah Heng Samrin, Indonesia belum punya hubungan diplomatik.

Kehadiran di Kamboja telah menimbulkan masalah. Saya masuk ke negara yang tidak punya hubungan diplomatik dan masuk ke negara komunis sosialis, tanpa izin BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen).

Oleh sebab itu, ketika transit di Bangkok (Thailand) dari Saigon (Vietnam), saya ditelpon oleh atase militer di KBRI Bangkok bahwa setiba di Jakarta, saya harus segera melapor ke Departemen Pertahanan dan Keamanan. Kemungkinan saya akan ditahan karena dianggap melakukan pelanggaran bersifat subversif.

Pak Sabam "menyelamatkan" saya. Sadar bahwa persoalan saya bisa dipolitisasi dan berimbas pada kelanjutan hidup tidaknya "Snar Harapan" , Pak Sabam turun tangan.

Hari pertama setelah tiba di Jakarta, saya harus bertemu dengan Laksamana Sudibyo Rahardjo, salah seorang intel yang menjadi kepercayaan Jenderal Benny Moerdani. Pada jam yang sudah ditentukan, saya harus menuju ke pojok di Coffe Shop, Hotel Hilton (sekarang The Sultan), dimana seorang pria bertubuh atletis sudah menunggu saya.

"Ceritakan saja apa yang anda lihat di Kamboja. Ikuti perintah dia," ujar Pak Sabam merujuk pertemuan saya dengan Sudibyo yang dia atur secara diam-diam.

Seusai pertemuan Pak Dibyo minta saya bertemu Laksamana Muda Emir Mangaweang, Kepala Puspen ABRI.
Hasilnya, saya tidak dipersalahkan sama sekali.

Masih banyak cerita manis tentang Pak Sabam. Tahun 1990-an, saat menjadi Dubes di Australia, pak Sabam mengirim mobil dinasnya ke hotel tempat saya menginap di Canberra.

"Derek make him tire...," tulisnya di amplop berkop Ambassador, merujuk ke sopir kedutaan. Sang sopir sudah siap di lobi dengan Mercedes, mobil Duta Besar yang sudah diganti dengan plat nomor sementara.

Kemarin, sebelum meninggalkannya, saya cium pipinya. Saya membayangkan pria Batak ini sudah seperti ayah saya yang etnis Manado. Ketika saya masih kecil selalu hadir membela saya.

Dari rumah saya mendoakannya. GWS - Get Well Soon, Pak Sabam. *****

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA