Kendati begitu, persetujuan SP tidak didapat dengan gampang. Melainkan melalui diskusi panjang, beberapa kali pertemuan dan sarat dengan perdebatan.
Kepada Damien, sutradara yang sudah memperoleh sejumlah penghargaan internasional di bidang cinematografi, SP misalnya minta diyakinkan alasan dan sasaran untuk membuat film tersebut.
"Kalau hanya mau mempromosikan diri saya, saya tidak mau. Sudah lewat waktunya," ujar SP.
Damien berargumentasi, film ini akan dia jadikan semacam bahan untuk "diplomasi kebudayaan".
Caranya antara lain dengan menayangkannya di festifal film tahunan Cannes, Prancis. Sekalipun tidak dalam rangka untuk diperlombakan, film itu akan diputar di salah satu "booth" yang sudah menjadi jatahnya Damien.
Untuk menarik penonton universal, judul film menjadi "Dancing With the Storm", atau Berdansa Dengan Badai. Tidak sama dengan judul buku.
Judul itu dianggap Damien cocok dengan perjuangan SP dalam menegakkan demokrasi melalui kebebasan pers, yang semuanya terjadi di era represif, Orde Baru.
SP bagian dari rezim Orde Baru yang mengekang kebebasan pers. Tetapi secara transparan melalui harian "Prioritas" ia melawan pengekangan tersebut dari dalam. Pengekangan itu bisa disamakan dengan "badai". Ia melawan "badai" dengan cara menggumulinya. Bukan menghindari.
Masih menurut Damien, juri film di festifal Cannes, hanya memberi wilayah Asia satu jatah film untuk dinilai. Dan itu pun hanya satu di antara tiga negara: RRCina, Jepang atau Korea Selatan.
Damien Dematra juga menyatakan film SP ini didubbing dalam bahasa Inggris. Sementara subtitle-nya dalam Bahasa Mandarin, Prancis, Spanyol, Arab dan Indonesia.
"Lewat film, dunia perlu kita jelaskan bagaimana perjalanan Indonesia menjadi sebuah negara demokrasi," kata sutradara yang memproduksi film masa kecil Barack Obama di Indonesia dan perjalanan hidup Kiai Syafei Ma'arif itu.
Apakah benar film ini akan menjangkau dunia dan dunia mengerti tentang penegakkan demokrasi melalui kebebasan pers?
Damien Dematra menjawab: "Di dunia film saat itu terdapat 4.000 pasar festifal yang menjadi ajang promosi dan penjualan film. Di sanalah saya akan berjuang,".
Persetujuan SP ditambah dengan beberapa catatan. Setelah selesai diproduksi tahun 2016, film tersebut hanya akan diedarkan di luar negeri, Eropa, Amerika dan RR Cina khususnya.
"Tahun 2021 baru boleh masuk ke Indonesia," tegas SP. Dan selama pembuatan film ini, tidak ada kegiatan PR-ing atau pencitraan. Misalnya dengan mengajak wartawan film bagaimana proses pembuatan tersebut dilakukan.
Dengan latar belakang tadi, diharapkan film itu tidak dikait-kaitkan pencitraan dalam rangka Pilpres 2019.
Damien mengusulkan bahwa film tersebut harus dibintangi oleh bintang Hollywood. Michelle Yeoh, artis Malaysia yang pernah bemain di serial James Bond 007 dan The Lady, kisah perjuangan Aung San Sun Kyui termasuk yang dinominasikan. Wajah Yeoh dari jarak dekat sangat mirip dengan Ibu Rosita Barack, isteri SP yang berdarah Jepang-Indonesia.
Yang memainkan sosok SP, Eric Bana, aktor Australia keturunan Kroasia. Eric sudah main di berbagai film produksi Hollywood. Eric dipilih, sebab raut mukanya, terutama "brewok"nya, sangat mirip dengan SP.
Buku terbitan Gramedia Pustaka Utama itu tidak berceritera tentang profil SP. Tapi sebatas pada kisah yang saya ketahui khususnya selama saya menjadi anak buah SP (1986 -1999).
Tapi karena yang mau dikisahkan perjuangan SP dalam menegakkan demokrasi melalui kebebasan pers, akhirnya muncul pertanyaan bagaimana mengisahkan penyanderaan reporter dan cameraman Metro TV di Irak, Pebruari 2005?. Ketika penyanderaan itu terjadi, saya sudah tidak bekerja di perusahaan milik SP.
"Kalau soal pembebasan Muetia Hafid dan cameraman perlu disinggung. Tapi kalian harus hindari penonjolan keterlibatan saya di sana. Sebab dalam pembebasan itu sebetulnya saya rasakan adanya upaya dari diplomat tertentu agar peran pemerintah jangan sampai terkesan tidak ada sama sekali. Bahkan bila perlu, peran saya tidak ada. Dan itu harus kalian jaga. Ini masalah yang sensitif," ujar SP.
Film "Dancing With the Storm" atau "Surya Paloh Berdansa Dengan Badai" belum lagi diproduksi, dimana di dalamnya antara lain berbicara soal pembebasan sandera. Termasuk keterlibatan SP.
Kerahasiaan atas pembuatan film itu akhirnya saya bocorkan melalui
Catatan Tengah kali ini. Mengapa?
Sebab saya merasa terganggu oleh berbagai desakan agar saya melakukan klarifikasi tentang keterlibatan SP dalam pembebasan 10 sandera awak kapal WNI dari sarang teroris Abu Sayyaf.
Saya bukan lagi bagian dari team SP. Tetapi karena dianggap banyak membela SP, saya ditantang oleh sejumlah teman melalui telepon, SMS dan media sosial facebook. Sejauh mana kejujuran dan netralitas saya melihat SP.
Benar memang, keterlibatan SP dalam pembebasan sandera, telah memunculkan kontroversi. Seakan-akan SP-lah pihak yang paling berjasa dalam pembebasan tersebut. Dan klaim dilakukannya untuk menunjukkan kepada jajaran birokrat pemerintahan Presiden Joko Widodo, bahwa dia (SP) bisa melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.
Sebagai salah seorang yang cukup mengenal SP saya benar-benar sedih dan kecewa kalau benar SP mengklaim seperti itu.
Di sisi lain saya masih ragu, kalau SP sejauh itu mau mengklaim dirinya sebagai pihak berjasa besar. Sebab klaim itu tidak keluar dari SP sendiri. Tapi melalui anak buahnya.
Rasa sedih dan kecewa itu semakin bertambah melihat cara dua orang kepercayaan SP tampil di Talk Show Indonesia Lawyers Club Selasa malam 3 April 2016 - Rerie Moedijat dan Viktor Laiskodat.
Kedua figur ini sepertinya tidak menangkap pertanyaan halus atau pancingan maupun jebakan dari Karni Ilyas.
Pemred TVOne ini mempertanyakan peran Yayasan Sukma yang begerak di bidang pendidikan, tapi kemudian terlibat dalam pembebasan sandera yang ditahan oleh teroris Abu Sayyaf. Dimana benang merahnya?
Kalau benar SP mengklaim berjasa dalam pembebasan sandera, saya berasumsi, SP sudah tidak konsisten dengan pernyataannya bahwa dia tidak lagi mencari popularitas.
Pada saat yang sama saya juga bertanya-tanya, apakah klaim yang menunjukkamn arogansi seperti itu sudah menjadi karakter baru SP?
Yang saya tandai SP merupakan sosok yang punya karakter arogan. Tapi biasanya hal itu baru dimunculkannya jika ada yang meremehkannya.
Tapi sepanjang yang saya pahami, SP cukup peka tentang mana yang pantas dan mana yang tidak. Dia tahu kapan dia harus "berbohong" dan kapan tidak.
Saya punya catatan tentang bagaimana SP "membohongi" Presiden Soeharto di awal tahun 1990-an. Dan itu dilakukannya demi menghindari dirinya dari posisi sebagai korban politik dari orang-orang penjilat di sekitar Presiden Soeharto. Pilihan "berbohong" itu menyangkut mati hidup garis bisnis dan politiknya.
Di saat yang sama saya juga berpikir, bisa saja visi dan karaker SP sudah berubah 180 derajat. Tak ada jaminan manusia akan terus konsisten.
Belasan tahun atau bahkan dua dekade lalu, tak ada yang memperhitungkan SP. Sehingga bisa saya katakan, apapun yang dilakukannya di masa itu sebisa mungkin menarik perhatian orang, agar ikut memperhitungkannya.
Saat itu SP belum punya aset-aset mewah seperti saat ini. Ia masih tergolong pengusaha medicor yang berusaha tampil "high profile" supaya tidak diremehkan.
Ia misalnya belum punya pesawat jet pribadi (dua buah) dan satu helikopter. Sahabatnya pun belum sebanyak seperti sekarang.
Tapi sekarang, sudah berubah.
Dalam hal kekuasaan, setidaknya hingga pertengahan 2015, SP dianggap sudah mencapai posisi puncak. Ia sudah menjadi sahabat Wapres dan Presiden. Bahkan menjelang penyusunan Kabinet SP sempat dianggap sebagai 'Presiden Bayangan'. Itu terjadi karena SP bisa memasukkan 4 menteri, satu diantaranya Menlu Retno Marsudi.
Sebelum menulis
Catatan Tengah ini, saya coba hubungi nomor pribadi SP. Saya ingin mendapat konfirmasi atas klaim pembebasan sandera itu darinya.
Sebab di mata saya, jika SP tidak bisa mengklarifikasi pernyataan anak buahnya, citranya sebagai politisi, pendiri Partai Nasdem akan tergerus.
Bisa-bisa muncul tudingan, Yayasan Sukma, milik SP merupakan bagian dari jaringan Abu Sayyaf di Indonesia. Artinya bisa terjadi salah tafsir. Kalau salah tafsir ini dijadikan komoditi politik, ujungnya bisa fatal.
Abu Sayyaf sejauh ini dikenal atau diklaim sebagai perwakilan ISIS di Asia Tenggara.
Salah tafsir ini bisa terjadi, karena pendekatan Yayasan Sukma dan yang dilakukan Mayjen (purnawirawan) Kivlan Zen, dalam melakukan pembebasan sandera, sangat berbeda.
Bagaimana sejarahnya Yayasan Sukma membuka jaringan ke Abu Sayyaf, tidak pernah dijelaskan.
Sementara Kivlan Zen, cukup transparan. Kivlan memiliki jaringan ke teroris Abu Sayyaf melalui Prof Nur Misuari, tokoh MNLF (Moro National Liberation Front - Front Nasional Pembebasan Bangsa Moro).
Dengan Nur Misuari, Kivlan Zen sudah mengenalnya melalui kehadiran Zen di Filipina Selatan, di tahun 1995-1996, sebagai Komandan Pasukan Perdamaian Internasional di Filipina Selatan.
Indonesia sendiri dianggap berjasa oleh Misuari sebagai juru damai antara MNLF dengan pemerintah pusat Filipina.
Lewat jasa Indonesia - dengan juru rundingnya Wiryono Sastrohandoyo, diplomat senior RI yang pernah jadi Dubes RI di Australia dan Prancis, MNLF memperoleh persetujuan Manila menjadi wilayah otonom.
Misuari kemudian menjadi Gubernur Otonom pertama di Filipina Selatan.
Kini Misuari sudah pensiun, tapi dua orang aktifis di Abu Sayyaf merupakan bekas supir dan jurubicara Nur Misuari.
Selain itu, Gubernur di Filipina Selatan yang menampung para sandera WNI sebelum dibebaskan, merupakan keponakan Nur Misuari.
Jadi benang merah yang bisa dihubung-hubungkan dalam peran Kivlan Zen sangat nyata.
Jalur inilah yang digunakan Kivlan Zen. Dan keabsahannya menjadi akuntabel, sebab bakas Kepala Staf Pangkostrad ini mewakili perusahaan, pemilik kapal yang disandera.
Pagi tadi saya hubungi SP melalui sambungan telepon untuk klarifikasi. SP sedang mengadakan lawatan di Eropa. Karena tidak diangkat saya hanya meninggalkan pesan.
Dari salah seorang stafnya diperoleh kabar SP akan tiba di Jakarta dalam pekan ini. Tentu saja akan cukup menarik mendengar langsung dari SP klarifikasinya tentang kleim pembebasan tersebut.
Hingga saat saya menyusun
Catatan Tengah ini, saya berpikir positif. Bahwa SP tidak dalam posisi sebagai tukang klaim sebagai pihak yang (paling) berjasa. Boleh jadi anak buahnya saja yang keseleo lidah yang disebabkan oleh euforia.
Yah saya akan minta maaf kalau cara berpikir positif saya keliru.
[***]Penulis adalah jurnalis senior