Dan juga menarik ditelisik bahwa dengan ditetapkannya Kepala BPKAD DKI Jakarta Heru, menjadi calon Wagub DKI Jakarta berpasangan dengan Ahok, menimbulkan kegaduhan di internal Pemprov DKI.
"Ini dapat dilihat beberapa
statement Gubernur Ahok, yang menyatakan bahwa PNS DKI tidak boleh berpolitik, namun sebaliknya beliau menetapkan pendampingnya sebagai wagub bahkan masih menjabat sebagai PNS aktif di Pemprov DKI," kata Ketua Aliansi Masyarakat Jakarta (Amarta), M. Rico Sinaga, dalam keterangan beberapa saat lalu (Kamis, 21/4).
Hal ini, ungkap Rico, tentu saja berimplikasi pada banyaknya kebijakan tumpang tindih yang diambil guna menyelamatkan kebijakan yang salah sebelumnya. Hal lain yang lebih memprihatinkan kondisi ini terlihat semakin lemahnya koordinasi di level pengambil kebijakan di Pemprov DKI. Bahkan hari ini terlihat beberapa pejabat
overlaps mengomentari suatu hal yang bukan menjadi kewenangannya.
"Ini dapat dilihat bagaimana Tri Kurniadi Walikota Jakarta Selatan, mantan pejabat yang cukup lama berkecimpung di wilayah Pemerintah Kota Jakarta Utara, hingga posisi terakhir sebagai Wakil Walikota Jakarta Utara, justru terkesan lebih aktif dalam mendampingi Gubernur terkait proyek penggusuran warga di wilayah Jakarta Utara bagian dari proyek reklamasi," jelasnya.
Di sisi lain, sambungnya, juga terlihat dari Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD DKI, M. Yuliadi, yang begitu pro aktif dalam mempublikasikan para pimpinan dan anggota DPRD DKI yang melakukan perjalanan ke luar negeri setelah kejadian OTT terhadap M. Sanusi.
Tentu saja, simpulnya, ini semua memiliki "benang merah" yang secara terang menderang kaitannya antara politisasi PNS di lingkungan Pemprov DKI, dengan di tetapkannya, Heru Kepala BPKAD DKI sebagai calon Wagub Ahok.
"Semoga warga Jakarta tidak terlena dengan permainan ini semua, pada saatnya nanti semua akan terbuka," demikian Rico.
[ysa]
BERITA TERKAIT: