Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

30 MENIT BERSAMA JOKOWI (1)

Nawa Cita Di Tengah Benang Kusut

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Minggu, 17 April 2016, 07:45 WIB
Nawa Cita Di Tengah Benang Kusut
zainal bintang
PADA acara tatap muka Presiden Jokowi dengan Pengurus Kadin Indonesia, Jumat (15/4) di Istana Negara, ternyata topik yang mengemuka adalah masaalah pembenahan birokrasi, penyiapan kebijakan paket ekonomi yang ketiga belas, percepatan pembangunan infrastruktur, penguatan UKM Koperasi dan perlunya peningkatan daya saing. Setidaknya itu yang sempat saya catat.

Memandang jauh ke luar Istana dalam perjalanan pulang, mata saya menangkap suatu visualisasi rekaman jejak pemerintahan Jokowi:  Delapan belas bulan menjabat,  Jokowi akhirnya menemukan penyakit "kanker" pembangunan. Mencengangkan ada  42.000 regulasi amburadul penyumbat pembangunan. Bentuknya aneka macam, Kepres, Kepmen, Perpres, Permen, Perda dan sejenisnya.

"Kanker" itu ditengarai warisan pemerintahan sebelumnya. Pastinya menghambat laju pembangunan. Bagaikan gumpalan komplikasi yang membelit birokrasi. Menggangu maksimalisasi mesin pembangunan.

Judul tulisan ini adalah "Nawa Cita dan Benang Kusut" sengaja dipilih. Titik beratnya ada pada kesenjangan antara semangat Nawa Cita dengan realitas di lapangan. Nawa Cita harus dibaca sebagai representasi ekonomi kerakyatan yang berbasis pasal 33 UUD 1945.

Artinya Nawa Cita dihadirkan Jokowi untuk mengoreksi penyimpangan alur jalannya roda ekonomi nasional dewasa ini. Karut marut timbunan regulasi, telah mendistorsi banyak hal dalam tatanan kehidupan. Inilah yang diposisikan sebagai benang kusut.

Tantangan berat Nawa Cita adalah mereposisi situasi dan kondisi geopolitik dan sosial ekonomi saat ini. Pemerintahan Jokowi dengan mantra Nawa Citanya, mencoba dengan sekuat tenaga mendekosntruksi tampang pemerintahan sebelumnya yang abu-abu secara ideologi, menuju ke bentuk pemerintahan yang ramah kepada rakyat kecil  alias wong cilik.

Trade mark yang melekat dalam diri Jokowi sebagai pemimpin yang suka blusukan, menunjukkan tingginya kepedulian kepada permasalaahan dan problematika rakyat kecil: Masyarakat yang terpinggirkan oleh deru dan debu pembangunan yang nyaris anti sosial.

Pembangunan fisik bergaya mercu suar di lahan-lahan milik rakyat miskin marak di kota besar. Mereka terpaksa tersingkir karena tergusur bulldozer kapitalis di bawah sinar terang benderang matahari negeri ini. Apa boleh buat, negara memang tidak hadir saat diperlukan. Seolah orang kecil itu tidak menjadi bagian dari urusan perlindungan negara.

Praktek anti sosial itu menafikan gotong royong, mereduksi rasa persaudaraan, menghindari kolektifitas dan menjauhkan rakyat dari impian kesejahteraan.

Isi ketiga Nawa Cita menegaskan: Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Secara keseluruhan Nawa Cita adalah koreksi atas ketidakseimbangan di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejatinya harus mengacu secara tegak lurus kepada Pancasila.

Kompleksitas problematika yang dihadapi Jokowi bersama Nawa Citanya bukanlah masalah sepele. Jokowi mendeklarasikan Nawa Cita sebagai koridor pemandu pelurusan penyimpangan pembangunan. Ini memang sebuah langkah yang out of the box. Tidak biasa, tidak linear, tidak konservatif. Dan telah menciptakan gangguan di zona nyaman para establishment.

Para establishment inilah yang berjaya di balik gurita 42.000 regulasi puluhan tahun yang mau dipangkas Jokowi. Dipastikan Jokowi akan mendapatkan perlawanan. Terbuka atau tertutup. Instruksi memangkas sudah dikeluarkan akhir Desember 2015 ketika acara Rapat Kabinet di Istana Bogor.

Namun karena dinginnya respons aparat negara, instruksi itu diucapkan lagi dengan nada lebih keras pada acara Dialog Ekonomi presiden dengan tokoh-tokoh ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) di Jakarta bulan Maret 2016.

Rakyat kecil penduduk mayoritas negeri, menunggu terus dengan harap-harap cemas. Akankah Jokowi berhasil mendekonstruksi kehidupan berbangsa dan bernegara kembali ke rel konstitusi sesuai amanat UUD 1945.

Ada baiknya kita semua merenungkan makna kalimat dibawah ini:             

"Guna mengatur dunia, pertama-tama kita harus mengatur bangsa; mengatur bangsa, pertama-tama kita harus mengatur keluarga; mengatur keluarga, pertama-tama kita harus mengembangkan kehidupan pribadi kita; pertama-tama kita harus menempatkan hati kita secara benar".~Konfusius, filsuf China. [***]

penulis adalah wartawan senior dan wakil ketua umum Kadin Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA