Akibatnya sekalipun Golkar secara faktual berada di luar kekuasaan, tetapi secara jaringan parpol berlambang Pohon Beringin iru tetap menguasai semua jaringan finansil.
Yamin mengeluh bahwa reformasi tidak mengubah beberapa hal yang buruk menjadi baik. Golkar sebagai 'pemain lama' ternyata masih tetap kokoh dengan kekuatannya.
Melanjutkan keluhannya tersebut, Yamin mengatakan para Direksi di BUMN yang didukung oleh jaringan Golkar itu, seperti tidak tersentuh.
Buktinya masa kerja mereka di perusahaan-perusahaan yang proyeknya mencapai puluhan bahkan ratusan triliun rupiah itu, masih diperpanjang lagi. Dan perpanjangan jabatan mereka terjadi di saat pemerintahan RI berada di tangan Joko Widodo, politisi asal Solo yang dibesarkan oleh PDIP.
"PDIP akhirnya cuma dapat sampahnya, kalau sudah bicara soal siapa dapat apa, siapa makan siapa," ujarnya sembari tertawa.
Golkar itu memang cerdik, kata Yamin lagi, ketika kami terlibat dalam sebuah perbincangan bersama Putut Trihusudo, mantan Wakil Pemred Liputan 6 SCTV, beberapa waktu lalu.
Yamin kemudian menunjukkan link sebuah media online yang mendata BUMN mana saja yang dikuasai oleh kader Golkar.
Namun yang lebih menyakitkan bagi Mohammad Yamin, cara Golkar memproteksi praktek kolusi dan nepotisme tersebut.
Ketika ada relawan Jokowi diangkat menjadi salah seorang Komisaris, pengangkatan itu di-blow up sedemikian rupa oleh humas atau Direksi BUMN tersebut.
Seperti ingin menunjukkan bahwa relawan Jokowi bahkan kader PDIP selalu mengincer jabatan. Dan inceran itu dilakukan dengan cara memaksa.
Dengan cara insinuatif pengangkatan komisaris seorang relawan, dibesae-besarkan. Hanya untuk menyatakan bahwa para relawan Jokowi sedang menagih janji dan balas jasa dari Presiden Joko Widodo.
"Ini tidak elok sama sekali", kata Yamin
"Saya punya teman tidak diberi jabatan Komisaris ataupun Direksi. Tapi dia dikasih pekerjaan berupa proyek yang nilainya sekitar Rp. 5,- miliar dari sebuah BUMN.
Tapi pemberian proyek itu rupanya hanya untuk menutupi kongkalikong di BUMN yang dikuasai oleh Golkar, sebagai pemain lama.
Sebab sebagai pemilik atau pelaksana proyek dia diminta harus menyumbang sejumlah dana kepada sebuah institusi yang ada kepentingan Golkar di sana.
"Abang mau percaya atau tidak, terserah. Keadaan yang sesungguhnya seperti ini", ujarnya dengan wajah serius.
"Kalau bukan karena teman saya banyak di Golkar, saya mau lebih buka-bukaan", tambahnya.
Yamin berkata demikian sebab agaknya ia menafsirkan bahasa tubuh saya yang kurang responsif, menunjukkan tidak begitu antusias membahas isu tersebut.Yamin kemudian menantang.
"Saya ingin lihat kepedulian dan netralitas abang. Mau tidak atau berani-takut mengungkap ceritera seperti ini?", tantangnya.
Setelah diskusi yang cukup serius dan agak melelahkan, saya pamit dan tidak mau melayani tantangannya.
Namun semalam Yamin mengontakku kembali. Kali ini Yamin lebih agresif dan menambahi fakta baru. Fakta itu bukan rekayasa ataupun hoax.
Fakta itu ada di depan mata, tetapi seakan tidak ada yang melihatnya.
Pada intinya Yamin beranggapan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam perspektifnya tidak berhasil keluar dari 'jepitan' Golkar.
Secara resmi kader Golkar di pemerintahan Joko Widodo hanya Luhut Binsar Panjaitan. Namun Yamin melihat jaringan Golkar telah berhasil 'menjepit' Presiden Joko Widodo. Keberhasilan itu terjadi sebab Golkar sebagai pemain lama, parpol yang pernah berkuasa selama 32 tahu bersama rezim Soeharto, memang sudah tumbuh kuat dan besar serta nengakar seperti Pohon Beringin.
Di bawah pohon itu pula kadang banyak 'hantu' berkeliara atau bergentayangan. Ini hanya sebuah perumpamaan untuk menggambarkan, tingkat kesulitan yang dihadapi Joko Widodo relatif cukup tinggi.
Dia kemudian mengingatkan sejumlah pos penting di republik ini yang diduduki oleh politisi Golkar. Joko Widodo pasti tahu itu semua. Tetapi toh dia tidak bisa berbuat banyak.
Mulai dari Wakil Presiden, Ketua BPK dan Ketua DPR-RI. Presiden Joko Widodo seperti tidak bisa 'menyentuh' mereka. Apapun masalah yang mereka ciptakan di republik ini, seakan tak boleh dipersoalkan oleh Jokowi.
Tetapi kalau Golkar punya masalah, seperti kemelut yang terjadi saat ini yang disebabkan oleh kepemimpinan kembar, Presiden Joko Widodo harus ikut bertanggung jawab.
Wakil Presiden Jusuf Kalla setidaknya bermasalah setelah Panama Papers mengungkap sejumlah anggota keluarganya sebagai pihak yang memarkir uang mereka di luar negeri.
Tapi secara etika Presiden Joko Widodo tidak boleh menanyakan benar tidaknya persoalan tersebut.
Padahal seharus Jokowi bisa menegur JK.
Sebab pemahaman konkritnya adalah keluarga Jusuf Kalla melakukan itu untuk menghindari pajak. Dan tindakan penghindaran pajak itukontra produktif. Bahkan bisa dikategorikan sebagai sebuah penghianatan oleh seorang yang disejajarkan negarawan terhadap negara dan bangsanya.
Menurut perhitungan sementara dari apa yang diungkapkan Panama Papers setidaknya terdapat sekitar Rp. 2500,- triliun uang milik pengusaha atau elit politisi Indonesia yang diparkir di luar negeri. Uang sebanyak itu bisa saja hanya sebagian dari kekayaan orang-orang Indonesia yang menjadi wajib pajak.
Jika angka itu benar, nominal itu melebih APBN tahun 2016 yang hanya berjumlah Rp. 2000 triliun.
Terkait sikap keluarga Jusuf Kalla tersebut, Yamin yakin tidak mungkin Jusuf Kalla yang sudah dua kali menjadi Wakil Presiden lantas tidak tahu tindakan keluarganya memarkir uang di luar negeri. Bisa jadi juga uang pribaginya JK ikut diparkir tapi menggunakan nama keluarga atau sanak saudaranya.
Tentu saja praktek ini terasa janggal. Sebab Jusuf Kalla pernah berkata bahwa warga negara yang baik harus membayar pajak.
Bagi saya, kata Yamin republik ini perlu mempertanyakan integritas Jusuf Kalla sebagai bekas Ketua Umum DPP Golkar.
Karena pernyataan Jusuf Kalla tentang pajak, bertolak belakang dengan langkah dan tindakannya.
"Belum kering ludahnya yang terpercik ketika mengucapkan kata-kata manis itu. Tiba-tiba Panama Papers mengungkap bahwa Kalla Bersaudara memarkir uang mereka di luar negeri. Itu tandanya mereka menghindar membayar pajak (kekayaan). Sebuah tindakan yang pantas disebut muna.....", ujar Yamin SH yang tidak melanjutkan kata tersebut.
Politisi Golkar lainnya yang dia sorot, Ketua BPK Harry Azhar Azis. Bekas anggota DR-RI ini juga punya perusahaan Offshore secara diam-diam. Yamin yakin Ketua BPK ini tidak melaporkan hal tersebut dalam Laporan Kekayaannya kepada KPK, sebagaimana seharusnya. Ini juga sebuah pembohonhgan sekaligus sikap yang muna......
Dan yang tambah mengejutkan Yamin dari pembelaan Harry Azhar Azis adalah pengakuannya. Azis mengaku bahwa langkah itu dilakukannya untuk memenuhi permintaan anaknya.
"Nenek-nenek juga tahu itu pernyataan orang yang muna....", kata Yamin.
"Jadi maksud anda baik Wapres dan Ketua BPK yang kebetulan kader Golkar telah 'merusak' negara kita", saya bertanya.
"Kalau abang menafsirkan seperti itu, yah aku setuju saja", jawab Yamin diplomatis.
Bagaimana dengan Ketua DPR-RI. Posisi Ade Komarudin di lembaga tinggi negara itu khan hasil dari sebuah kemelut politik. Golkar menghadapi kemelut dan negara ikut terguncang
Dan pemerintah terpaksa harus ikut bertanggung jawab bagaimana menyelesaikan kemelut politik di tubuh Golkar.
Pemerintah harus membagi waktu untuk mengatasi kemelut Golkar.
Apa itu juga sebuah keadaan yang membuat pemerintahan Joko Widodo terkena getah, terganggu atau rusak ?
Yamin merenung sejenak.
"Sudahlah. Segitu aja dulu Bang. Ade Komarudin itu, Ketua DPR itu kan sahabat kita juga. Kebetulan namanya tidak aku lihat di Panama Papers. Yah lewatin aja dulu namanya Bang......", ujar Yamin sekaligus mengakhiri perbincangan kami lewat telepon.
Saya masih sempat mengajukan pertanyaan. Apakah benar maju mundurnya perombakan kabinet terjadi karena Jusuf Kalla sebagai Wapres memveto beberapa nama yang diajukan Presiden Joko Widodo?
Tapi Yamin seolah tidak mendengar dan buru-buru mematikan teleponnya. [***]
Penulis adalah jurnalis senior.