Demikian disampaikan anggota Dewan Pembina DPP Partai Gerindra, Habiburokhman. Belajar dari Pilkada 2015 kemarin, lanjut Habiburokhman, setidaknya ada tiga hal dalam UU Pilkada yang sangat menguntungkan calon petahanan
Pertama, aturan cuti calon petahana yang sangat longgar. Pasal 70 ayat (3) huruf b UU Pilkada dan Pasal 61 ayat (2) huruf b Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2015 hanya mengatur calon petahana yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, dalam melaksanakan kampanye harus menjalani cuti di luar tanggungan negara. Karena diharuskan cuti hanya ketika melaksanakan kampanye, kebanyakan petahana mensiasatinya dengan cuti on off yakni, cuti ketika hari H kampanye terbuka, tetapi aktif kembali sehari setelahnya.
"Dengan taktik tersebut petahana tetap bisa leluasa menggunakan jabatannya sebagai kepala daerah untuk bersosialisasi, menggunakan anggaran dan mengarahkan birokrasi pada massa kampanye dan bahkan pada massa tenang. Idealnya kewajiban cuti tersebut dimulai ketika penetapan pasangan calon sampai selesainya pemungutan suara, sehingga tidak ada ruang untuk terjadinya
abuse of power," katanya dalam keterangan beberapa saat lalu (Rabu, 17/2).
Kedua, lanjutnya, metode kampanye yang sangat kaku. Dalam pasal 65 dan 66 UU Pilkada disebutkan bahwa kampanye pemasangan alat peraga dan iklan dilaksanakan oleh KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Prakteknya KPU Provinsi/Kabupaten/Kota seringkali lamban melaksanakan tugas tersebut, mulai dari proses tender yang telat sampai dengan penentuan lokasi alat peraga yang tidak tepat.
"Bagi calon petahana hal ini bukan masalah, karena sebagai kepala daerah mereka bisa muncul ke media setiap hari, tetapi bagi calon non petahana ini masalah besar. Mereka kesulitan memperkenalkan diri pada masyarakat. Tak hanya itu relawan pendukung petahana juga praktis tidak dapat bergerak karena takut disemprit oleh Bawaslu," ungkapnya.
Ketiga, lanjutnya, mekanisme penyelesaian pelanggaran yang tidak jelas. Dalam UU Pilakada saat ini penyelesaian kasus-kasus pelanggaran diserahkan kepada Bawaslu, Bawaslu Propinsi dan Panitia Pengawas Pemilihan. Satu hal yang menjadi kekurangan dalam UU ini adalah sanksi kepada pengawas Pemilu yang sangat ringan apabila tidak menindaklanjuti laporan pelangaran yang dimasukkan masyarakat.
"Kami menyerukan agar para calon penantang Ahok juga memperhatikan aspek hukum ini. Jangan terlena pada kerja-kerja politik meningkatkan elektabilitas saja. Jikatoh sulit untuk merubah UU Pilkada , para calon tersebut harus mempersiapkan strategi advokasi hukum yang tepat untuk menghadapi kondisi sulit tersebut," demikian Habiburokhman.
[ysa]
BERITA TERKAIT: