"Manipulasi itu bersumber dari data-data yang dipasok calon operator sekaligus vendor pembangunan kilang, jika jadi di laut," kata Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli, kepada redaksi (Senin, 25/1).
Di antara cara memanipulasi data tersebut, jelas Rizal, adalah dengan perbedaan konversi mata uang. Rancangan skema biaya melalui kilang laut, dikonversi dengan dolar Australia. Sedangkan untuk kilang darat atau
onshore dikonversi dengan menggunakan denominasi dolar AS yang sebesar 3,5 miliar dolar AS per mtpa.
"Dengan cara ini, maka wajar jika biaya kilang darat seolah-olah menjadi lebih mahal daripada kilang apung," jelas Rizal.
Padahal, lanjut Rizal, dengan menggunakan asumsi biaya riil pembangunan kilang FLNG Prelude yang 3,5 miliar dolar AS per mtpa, maka perkiraan pembangunan
floating LNG Masela mencapai 22 miliar dolar AS. Sebaliknya, berbekal asumsi biaya riil sejumlah kilang LNG darat yang ada seperti di Arun, Bontang, Tangguh dan Donggi maka perkiraan biaya LNG darat Masela di Pulau Selaru, sekitar 90 km dari blok Masela, hanya 16 miliar dolar AS.
Rizal pun menambahkan, hingga kini, teknologi kilang laut belum proven. Di dunia, baru satu proyek pembangunan yang menggunakan LNG laut yaitu blok Prelude, Australia. Kapasitas di Prelude pun jauh lebih kecil daripada Masela, yaitu 3,6 juta ton per tahun. Sementara Masela mencapai 7,5 juta ton per tahun.
Rizal pun menegaskan bahwa pemanfaatan lapangan gas Blok Masela akan memperhatikan kepentingan daerah sekitar ladang gas, khususnya dan kawasan Indonesia Timur umumnya.
"Karena itu, pemanfataan blok Masela harus mampu memberi
multiplier effect seluasnya, baik dalam hal penyerapan tenaga kerja, penyerapan tingkat kandungan lokal, transfer teknologi, maupun pembangunan industri petrokimia," demikian Rizal.
[ysa]
BERITA TERKAIT: