‎‎Namun demikian, menurut Kyai Maman, hal itu tidak terlalu penting. Hal yang terpenting adalah bagaimana para anggota DPR memiliki perspektif yang luas tentang pluralisme di Indonesia terutama kebebasan beragama dan berkeyakinan. ‎
‎"Bahwa apapun agama dan keyakinan seseorang, negara dan warga negara berkewajiban untuk melindungi dan menghormati haknya," kata Kyai Maman kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Senin malam (16/11)‎.
‎Dalam sidang paripurna DPR Senin kemarin (1611), anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Maruarar Sirait melakukan interupsi dan ‎mengusulkan agar di Komplek Parlemen dibangun rumah ibadah lain, setelah ada masjid, seperti pura, wihara dan gereja.‎
‎‎‎Saat ini, Maruarar mencatat, pembangunan dan kehadiran rumah ibadah masih menjadi masalah dan persoalan di beberapa titik di wilayah NKRI. Kasus terakhir misalnya terjadi di Manokwari maupun Aceh Singkil. ‎Tentu saja persoalan ini harus diurai secara jernih. Di saat yang sama harus ada simbol yang semakin mengkristalkan pluralitas dan kebhinnekaan Indonenesia.
‎ ‎Apalagi juga, MPR sudah sering turun untuk mensosialiasaikan empat pilar berbangsa dan benegara. ‎Lebih-lebih, lanjut Maruarar, pembangunan rumah ibadah di Komplek Parlemen ini juga bisa mengambil inspirasi dari Founding Father, Soekarno, yang membangun masjid Istiqalal dan gereja Katedral berdekatan.
‎‎"Ini akan menjadi cerminan pluralitas dan kebhinnekaan yang kita jaga sama-sama, kita rawat sama-sama," ungkap Maruarar.‎
‎Terkait dengan pluralisme, Kyai Maman menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk salah satunya adalah agama dan kepercayaan yang beragam sehingga sangat membutuhkan pluralisme keagamaan. ‎Salah satu contoh pluralisme keagamaan adalah dengan adanya sikap menerima kehadiran orang lain atas dasar konsep hidup berdampingan, mengembangkan kerjasama sosial-keagamaan melalui berbagai kegiatan yang secara simbolik memperlihatkan dan fungsional mendorong proses pengembangan kehidupan beragama yang rukun.
‎‎Namun sayangnya, lanjut Maman, pluralisme keagaaman di Indonesia belum mendapat perhatian sepenuhnya dari negara, terutama aparat yang seharusnya melindungi hak warga negara, bukan pendapat mayoritas maupun minoritas. Polisi sering kali tidak mencegah atau terkesan tidak ingin mencampuri urusan terkait agama.Padahal yang dibutuhkan bukanlah campur tangan mereka dalam urusan agama melainkan campur tangan kepolisian dalam melindungi warga negara.‎
‎"kebebasan beragama di Indonesia yang dibela bukanlah akidahnya, melainkan hak warga negara dalam beragama," tegas Maman, yang juga anggota Komisi VIII DPR.
‎Kyai Maman pun merujuk pada pemikiran Gus Dur yang dikenal luas sebagai tokoh pluralisme dan demokrasi. Pokok pikiran Gus Dur mengenai pluralisme adalah konsep humanisme, yaitu penghargaan tertinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang melekat pada diri manusia.
‎"Dibutuhkan peranan negara untuk mewujudkan pluralisme yang termanfestasi dengan peraturan perundang-undangan yang melindungi hak individu dan kelompok dalam kebebasan beragama serta mencegah konflik," ungkap Maman.
[ysa]
BERITA TERKAIT: