Gosipnya, Menteri Tenaga Kerja yang lagi berada di Hongkong dipanggil pulang oleh DPR-RI untuk menjelaskan kebijakan tersebut. Siapapun yang merumuskan kebijakan itu, mereka harus membaca potongan koran
The York Times (1/5/2010) tentang kreativitas dunia pendidikan di sebuah sudut kota kecil di Lamongan yang gigih dan telaten mengajarkan anak didiknya berbahasa Tiongkok.
Artikel lama berjudul
"Indonesian Seeks Words to Attract Chinas's Favor" bercerita hal yang kontras mengenai sekolah-sekolah di Lamongan yang justru mewajibkan siswa-siswinya belajar bahasa mandarin. Sebagaimana dikutip, Bupati Lamongan ketika itu, Pak Masfuk mendapat ide pengajaran bahasa mandarin sekembali dari kunjungan di Tiongkok.
Selama kunjungan di negeri bambu kuning, Pak Masfuk menemukan banyak kemajuan yang menurutnya patut ditiru oleh rakyat di kabupaten yang dipimpinnya. Mungkin Pak Masfuk ingat wasiat Nabi Muhammad SAW yang meminta umatnya untuk selalu belajar dari orang Tiongkok,
utluubul ilma walau bishiin.
Pak Masfuk adalah personifikasi tesis para internasionalis yang melihat Tiongkok sebagai aktor global dan regional yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi di kawasan, termasuk Indonesia. Apalagi dengan kecenderungan implementasi China-Asean Free Ttrade Area, produk-produk Tiongkok akan membanjiri pasar domestik kita.
Indonesia hanya mampu mengimbangi raksasa kuning itu bilamana paham salah satu kekuatannya, bahasa! Tak ada bahasa di dunia tanpa filosofi kehidupan. Demikian halnya dengan bahasa mandarin. Piranti bahasa menjadi kunci memahami kemajuan sebuah entitas. Inggris, Spanyol dan Roma telah membuktikannya.
Kini dengan
mandatory class untuk bahasa mandarin di Lamongan, setidak-tidaknya mereka tahu ketika berhubungan dengan para pedagang atau pengusaha Tiongkok. Mereka mungkin tidak mempelajari bahasa mandarin untuk menaklukkan Tiongkok. Melainkan mengambil dan menyerap kedigdayaan pengetahuan negeri tersebut.
Saya sendiri telah menyaksikan kedigdayaan
language skill itu. Berinteraksi dan bersiasat dengan mereka pada level bidang yang saya geluti. Tak ada kata yang cocok untuk menggambarkan betapa sophisticated-nya mereka mengelola
soft-power dan sekaligus
hard-power yang dimiliki. Pelajaran baik dari mereka harus bisa kita petik dan itu hanya bisa dilakukan kalau kita paham dengan cara apa mereka berkomunikasi.
Jika Lamongan telah lama memulainya, lalu mengapa kita sebagai bangsa besar tidak melakukan hal serupa terhadap mereka? Lain cerita, bila kita memang telah kehilangan salah satu asset penting kita yang selayaknya membuat bangsa ini selalu
cool dan
confidence dengan orang asing, Bahasa Indonesia.
[***] Penulis adalah analis-kolumnis situasi internasional dan domestik. Saat ini sedang menetap di Jenewa, bisa dihubungi pada akun Twitter @emteaedhir.
BERITA TERKAIT: