Reformasi Lahirkan Fenomena Gila Pemimpin dan Pemimpin Gila

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yayan-sopyani-al-hadi-1'>YAYAN SOPYANI AL HADI</a>
LAPORAN: YAYAN SOPYANI AL HADI
  • Jumat, 26 Juni 2015, 08:40 WIB
Reformasi Lahirkan Fenomena Gila Pemimpin dan Pemimpin Gila
ilustrasi/net
rmol news logo . Ternyata reformasi melahirkan demokrasi yang membuat Indonesia menjadi negara bebas, dan bukan negara demokrasi. Bahkan, atas nama demokrasi, konsitusi, dan hak asasi manusia, siapapun bisa menjadi preman, pelacur, penjahat dan bahkan bisa menjadi pemimpin pemerintahan dari tingkat pusat hingga daerah.

Demikian pandangan reflektif pengamat dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng. Menurut Salamuddin, di era Orde Lama dan Orde Baru, bila ada orang yang ingin menjadi pemimpin, maka muncul pertanyaan berbasis sistem nilai: siapa kamu. Kini, di era Reformasi, bila mau menjadi pemimpin, didasari oleh sistem harga: berapa banyak uang yang kamu punya.

"Perubahan mendasar dari sistem negara adalah bergesernya dari sistem nili menjadi sistem nominal. Dari pemimpin yang negarawan menjadi pemimpin gerombolan. dari pemimpin moral menjadi pemimpin kriminal. Dari pemimpin spritiual menjadi pemimpin seremonial," kata Salamuddin dalam keterangan beberapa saat lalu (Jumat, 26/6).

Selain itu, lanjut Salamuddin, rakyat mencari kebenaran, sementara pemimpin mencari pembenaran. Bila rakyat mencari keadilan, maka pemimpinnya menyembunyikan keadilan. Bila rakyatnya membela negara, pemimpinnya menjual negara. Rakyat pun dipaksa untuk mematuhi hukum, sementara pemimpinnya dengan leluasa membolak-balikan hukum.

"Reformasi melahirkan dua jenis fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah republik Indonesia: gila pemimpin dan pemimpin gila," demikian Salamuddin. [ysa]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA