Aji Mumpung Kasus Bekas Kebun Sawit DL Sitorus

Senin, 11 Mei 2015, 01:45 WIB
Aji Mumpung Kasus Bekas Kebun Sawit DL Sitorus
ilustrasi/net
PUTUSAN Mahkamah Agung (MA) RI nomor 2642/K/PID/2006 tanggal 16 Juni 2006 lahir seperti lahan oase menyejukkan bagi publik. Meskipun ditujukan hanya untuk pengusaha DL Sitorus, namun dengan keputusan itu MA seakan hendak menyatakan bahwa perambah lain di hutan Padang Lawas dalam register 40 yang juga 'bersama-sama merusak' hutan negara seluas 178 ribuan hektar bisa saja mendapat ganjaran yang sama seperti yang dialami DL Sitorus, diputus bersalah dan mendekam dalam penjara.

Di dalam amar putusannya, MA dengan tegas dinyatakan bahwa lahan hutan seluas 47 ribu hektar dalam register 40 yang dituduh dikelola DL Sitorus melalui 'tangan-tangannya' yakni PT. Torus Ganda, Koperasi Bukit Harapan dan Koperasi Parsub, beserta dengan seluruh isi-isinya disita untuk negara.

Selain itu juga dinyatakan bahwa hasil lahan berupa minyak sawit (CPO) dan turunannya yang selama ini dikelola badan-badan hukum milik DL Sitrous merupakan perbuatan ilegal dan melanggar hukum. Lebih seram lagi, MA menimpali bahwa keputusan itu mulai berlaku sejak diputuskan. Melihat putusan tersebut, terkesan MA seakan sangat paham terhadap situasi kejiwaan manusia yang melakukan aktifitas usaha di atas hutan negara di register 40.

Tapi ternyata, keputusan yang berumur hampir 9 tahun itu berlalu begitu saja. Sampai-sampai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), akhir bulan April lalu sembari menyatakan bahwa kedatangannya berkaitan dengan rencana pemerintah mengeksekusi eks lahan yang pernah dikelola pengusaha DL Sitorus di Padang Lawas. Itu harus dilakukannya karena perintah MA masih belum berhasil 'dipeluk' pemerintah untuk menjadi salah satu sumber pendapatan negara.

Setelah mendorong agar seluruh hutan negara di dalam register 40 agar dihutankan kembali terjalin komunikasi antara Tim Investigasi Untuk Mendorong LHP Audit Investigatif Kasus Hutan Register 40 yang dibentuk IAW dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dari komunikasi dengan Menteri Siti didapat suatu simpul yang menarik. Kementerian Siti berniat terlebih dahulu menegakkan keputusan MA, lalu berjanji akan menghutankan eks lahan DL Sitorus secara bertahap seperti yang kami usulkan.

Kami juga sudah meminta kesediaan Menteri Siti untuk mempublikasikan seluruh copy dokumen terkait kasus yang ada di register 40 Padang Lawas. Hal yang sama dilakukan tim terhadap 43 pihak yang diduga melakukan perambahan hutan negara di kawasan tersebut.

Namun kepada Menteri Siti, tim investigasi masih belum mengutarakan pertanyaan secara detail tentang akan seperti apa sikap pemerintah terkait pengusutan 40 perusahaan/badan hukum lainnya yang juga diduga kuat membuka dan mengelola perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan 131 ribu hektar di luar eks lahan DL Sitorus.

Selama ini, ke 40 subjek hukum yang ada sama sekali tidak disentuh aparat hukum seperti yang telah dilakukan terhadap DL Sitorus. Oleh karena itu dalam waktu dekat kami akan menanyakan ketegasan yang seperti akan dilakukan oleh Menteri Siti kepada 40 perusahaan atau badan hukum yang pernah dan atau yang sedang beroperasi disana sampai sekarang. Satu dari 40 perusahan yang melakukan kegiatan usaha di hutan register 40 diantaranya adalah PT. First Mujur Plantation yang kemudian diketahui berubah nama menjadi PT. Barumun Agro Sejahtera (BAS), PT. Wonorejo dan PT. Barumun Rapala.

Agar persoalan register 40 bisa tuntas dengan baik dan hasilnya maksimal diperoleh dan tidak merugikan negara, maka 40 perusahaan/badan hukum yang juga diduga kuat sama-sama telah melakukan hal seperti yang dituduhkan kepada DL Sitorus juga harus diproses.

Boleh saja sudah diterbitkan Peraturan Menteri Kehutanan RI nomor 12/Menhut-II/2014 yang mengatur tentang pedoman pemanfaatan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan register 40 Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara seluas kurang lebih 47.000 hektare beserta seluruh bangunan yang ada di atasnya. Tapi, perlu diingat jangan menganggap peraturan teknis tersebut bisa dengan mudah diterapkan. Jangan sampai nanti pemerintah menjadi kelimpungan sendiri sebab hasil sementara dari investigasi kami menunjukkan bahwaada beberapa keputusan dari instrumen hukum lainnya yang lahir dan sudah berkekuatan hukum pasca keluarnya putusan MA. Karena itulah sangat mungkin secara hukum dan dari sisi audit bisa mendegradasi keputusan MA tersebut.

Oleh karena itu kami menyarankan pemerintah agar jangan merasa bisa dengan sangat mudah untuk mewujudkan tegaknya kembali 'wibawa' putusan MA yang sudah terbukti selama 9 tahun 'tercemar'. Jika demikian maka akan terjadi pencemaran baru dan terjadilah pencemaran akumulatif.[***]

Junisab Akbar, Ketua Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW).

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA