GEJOLAK PARTAI POLITIK

Keinginan KPU Kurang Realistis, Saran DPR Rawan Konflik

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yayan-sopyani-al-hadi-1'>YAYAN SOPYANI AL HADI</a>
LAPORAN: YAYAN SOPYANI AL HADI
  • Rabu, 06 Mei 2015, 08:55 WIB
rmol news logo . Keinginan Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar terjadi islah atau diperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam kasus Partai Golkar dan PPP merupakan solusi yang ideal, tetapi kurang realistis. Sementara keinginan DPR agar KPU cukup berpegang kepada putusan terakhir pengadilan terbilang masuk akal, namun punya tingkat kerawanan yang tinggi.

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin. Menurut Said, islah soal kepengurusan itu tidak cukup di buat didalam akta perdamaian. Islah harus dilakukan melalui mekanisme Munaslub dan Muktamarlub. Dan persoalannya, alih-alih Golkar mau menyelenggarakan Munaslub dan PPP mau menggelar Muktamarlub, tanda-tanda ke arah itu saja belum terlihat sampai saat ini.

"Oleh sebab itu saya katakan memang ideal, namun kurang realistis keinginan KPU untuk mengharapkan terjadi islah sebelum ditutupnya pendaftaran calon Pilkada pada bulan Juli nanti," kata Said kepada Kantor Berita Politik RMOL beberapa saat lalu (Rabu, 6/5).

Sementara jika DPR ingin agar KPU berpegang pada putusan terakhir yang dikeluarkan oleh pengadilan, lanjut Said, maka ini dikhawatirkan muncul putusan baru dari pengadilan pada level yang lebih tinggi atau putusan inkrah yang membatalkan putusan sebelumnya. Misal, sebelum ditutupnya pendaftaran calon, putusan terakhir untuk Partai Golkar diputus oleh PTUN yang menyatakan SK Menkumham untuk kubu Agung Laksono sah. Tetapi ketika memasuki masa kampanye, keluar Putusan PTTUN atau Putusan MA yang inkrah yang membatalkan Putusan PTUN.

"Nah, calon yang diusung oleh kubu Agung Laksono boleh jadi akan digugat keabsahannya. Disini muncul kerawanan. Konflik bahkan kerusuhan bisa saja terjadi diberbagai daerah yang menyelenggarakan Pilkada," ungkap Said.

Begitupun, masih kata Said, jika KPU ingin berpegang kepada putusan inkrah. Itu tidak bisa dijamin. Dan bila pada kenyataannya di bulan Juli belum ada putusan inkrah, maka pertanyaannya KPU akan menerima pendaftaran Pilkada dari kubu yang mana.

"Ini tentu saja tidak mudah. Bahkan, andaipun MA siap memberikan garansi ada putusan inkrah sebelum ditutupnya pendaftaran calon di bulan Juli, pertanyaannya putusan inkrah yang seperti apa?" ungkap Said.

Saat ini kan, jelas Said, pokok perkara ada peradilan tata usaha negara dalam kasus Partai Golkar dan PPP hanya berkenaan dengan pengujian sah atau tidaknya SK Menkumham. Kalau putusan inkrah menyatakan SK tersebut sah, maka KPU akan menerima pendaftaran calon Pilkada dari kubu Agung dan kubu Romahurmuziy.

"Pertanyaannya, bagaimana jika putusannya hanya membatalkan SK Menkumham, tetapi tidak menentukan kepengurusan lain yang sah di Partai Golkar dan PPP? KPU mau menerima pendaftaran Pilkada dari kubu yang mana?" tanya Said.

Kondisi tersebut, tegas Said, bisa saja terjadi. Sebab pengadilan tidak selalu bisa dijamin akan memerintahkan kepada pejabat tata usaha negara untuk menerbitkan keputusan baru untuk menggantikan keputusan yang dibatalkan.

"Nah, disini persoalannya. KPU akan kebingungan sendiri," ungkap Said.

Menurut Said, bila KPU menerima kubu Agung dan Romahurmuziy jelas tidak mungkin karena pengesahan kepengurusan mereka telah batal bersamaan dengan dibatalkannya SK Menkumham berdasarkan putusan inkrah.  Tetapi untuk menerima kubu Aburizal dan Djan Farid pun KPU tidak memiliki dasar yang kuat, sebab kepengurusan mereka tidak dinyatakan sebagai kepengurusan yang sah di dalam putusan inkrah. Sementara Menkumham pun kukuh tidak mengesahkan kepengurusan mereka.

Masih kata Said, andaipun di dalam putusan inkrah sekaligus dinyatakan SK Menkumham batal dan diperintahkan kepada Menkumham untuk menerbitkan SK yang baru untuk mengesahkan kubu Aburizal Bakrie hasil Munas Bali dan kubu Djan Farid, tetapi pada kenyataannya Menkumham ternyata tidak mau melaksanakan putusan itu, maka tetap saja akan menjadi masalah.

"Harus diingat, pencabutan SK dan/atau penerbitan SK baru hanya bisa dilakukan oleh Menkumham sendiri. Pengadilan hanya bersifat memerintahkan pencabutan. Nah, Menkumham bisa saja mengabaikan putusan tersebut. Sebab, faktanya lebih banyak pejabat tata usaha negara yang tidak mau melaksanakan putusan TUN daripada yang mematuhinya," demikian Said. [ysa]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA