Aksi ini merupakan
warning kepada pemerintah, khususnya Menteri Perhubungan, untuk mencabut atau merevisi Peraturan Menteri Perhubungan 60/2014 dan Peraturan Menteri Perhubungan 53/2015. Peraturan ini dinilai berpotensi menambah penderitaan para tenaga kerja bongkar muat di pelabuhan yang ada di Indonesia.
Gara-gara aksi mogok ini, kondisi pelabuhan internasional itu menjadi cukup menegangkan. Sejumlah Kepala Otoritas pelabuhan pun dikabarkan kelimpungan.
Bagaimana sikap buruh di lapangan?
Sebagaimana disampaikan Ketua Cabang Federasi Serikat Pekerja Maritim Indonesia (FSPMI) Tanjung Priok Nurtakim, para buruh di berbagai pelabuhan tersebut saat ini menanti arahan dan instruksi dari FSPMI pusat untuk aksi selanjutnya.
Diberitakan pula Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Perak sudah menghubungi Jumhur selaku Ketua Umum FSPMI agar meminta para buruh anggotanya bekerja kembali.
Jumhur Hidayat, saat dihubungi
Kantor Berita Politik RMOL beberapa saat lalu (Senin, 4/5), mengatakan bahwa ia masih memberi kesempatan kepada pemerintah untuk merevisi peraturan tersebut. Bila tidak, maka buruh akan rama-ramai mogok untuk memperjuangkan nasibnya.
"Kita minta semua buruh untuk tenang dulu dan bekerja kembali," ungkap Jumhur.
Jumhur menegaskan, tenaga kerja bongkar muat merupakan garda terdepan dalam kelancaran arus barang ekspor impor. Jumhur menyesalkan hingga saat ini tidak ada dana seperti jasa produksi atau bonus tahunan yang diberikan kepada para pekerja TKBM.
"Pekerjaan buruh pelabuhan tergolong berat, melelahkan, serta memiliki risiko penderitaan fisik maupun mental. Dengan Begitu, maka tak ada pilihan lain kecuali membuat keberadaannya terlindungi di samping mendapatkan upah secara layak," tegas Jumhur.
[ysa]
BERITA TERKAIT: