Doktrin Habermas dan Jurubicara yang Mendampingi Jokowi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/yayan-sopyani-al-hadi-5'>YAYAN SOPYANI AL HADI</a>
OLEH: YAYAN SOPYANI AL HADI
  • Jumat, 24 Oktober 2014, 06:10 WIB
<i>Doktrin Habermas dan Jurubicara yang Mendampingi Jokowi</i>
jokowi/net
rmol news logo . Proses sosial politik tidak melulu terkait dengan "praksis kerja", melainkan juga sangat terikat dengan "praksis komunikasi."

Demikian kira-kira peringatan dari pemikir madzhab Kritis, Jurgen Habermas. Bagi Habermas, praksis komunikasi ini penting, lebih-lebih dia juga mengeluarkan doktrin komunikasi: language is also a medium of domination and power.

Peringatan Habermas ini sepertinya sangat relevan dengan apa yang terjadi dalam konteks proses sosial-politik yang kini dialami Presiden Jokowi. Dan tak bisa dibayangkan, bila kelompok oposisi yang menguasai bahasa dan komunikasi pada publik, sebagaimana doktrin Habermas di atas.

Di luar konteks oposisi juga, secara internal misalnya, Jokowi boleh saja mengatakan dengan gagah "kerja, kerja, kerja." Tapi faktanya, pernyataan "kerja, kerja, kerja" itu juga bagian dari permainan bahasa yang membutuhkan penjelasan lagi bagi publik.

Publik misalnya bertanya: kerja apa yang dimaksud dan sudah dilakukan Jokowi bila sudah empat hari sejak dilantik, kabinet saja belum terbentuk. Publik butuh penjelasan.

Lebih penting lagi, publik butuh penjelasan yang berisi kepastian, dan bukan penjelasan yang melingkar atau apologetik, dengan logika yang berputar-putar.

Misalnya kata "secepatnya" dalam membentuk kabinet, ternyata ada jarak pemahaman antara publik dengan Jokowi. Publik pun akhirnya membandingkan dengan presiden sebelumnya yang menyusun kabinet dalam jangka waktu sehari, seperti Presiden BJ Habibie.

Boleh saja berdalih, toh kekuataan Jokowi selama ini juga karena "komunikasi polos" kepada publik. Tapi perlu juga dicatat, Jokowi kini bukan lagi seorang calon presiden, melainkan sudah seorang presiden yang sebagian kata dan ucapannya berarti perintah, atau paling tidak membutuhkan artikulasi yang tegas sehingga mudah dipahami oleh bawahan maupun publik secara umum.

Dalam konteks ini, juga dalam "keterbatasan" Jokowi mengartikulasikan sebuah pernyataan, tak berlebihan kiranya, bila ada pandangan agar Jokowi segera menunjuk jurubicara.

Posisi jurubicara ini penting, bahkan bagi seorang SBY sekali pun yang pernah dinilai sebagai salah seorang yang memiliki komunikasi bahasa Indonesia dengan baik.

Selain itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) Adam WH, posisi jurubicara ini pun menjadi signifikan di tengah lalu lintas komunikasi Istana yang berpotensi melahirkan spekulasi. Spekulasi ini bisa semakin liar ketika banyak orang, yang sebenarnya tak punya otoritas dan tak otoritatif, menyampaikan suatu informasi dengan mengatasnamakan Jokowi.

"Bisa dinilai naif, bila seorang presiden justru sibuk meluruskan spekulasi yang beredar di publik, yang itu bahkan bisa saja keluar dari lingkaran dalamnya sendiri," ujar Adam WH lagi.

Intinya, menurut Adam WH, adalah Jokowi yang nantinya harus menegaskan bahwa jurubicara resmi presidenlah yang punya otoritas menyampaikan pesan Istana. [ysa]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA