Berkaca dari pengalaman Pemilu Legislatif 2014 pelanggaran pidana terutama politik uang justru dilakukan kepala desa saat masa kampanye, tim sukses, calon legislatif, KPPS, serta PNS, pengurus partai, dan penyelenggara Pemilu.
Demikian disampaikan pengamat politik dari UGM, Ari Dwipayana, menanggapi temuan Indonesia Indicator (12) terkait pemberitaan media soal pelanggaran pemilu. (Baca:
Politik Uang Dominasi Pemberitaan Media terkait Pelanggaran Pemilu)
Ari juga mendesak Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu agar segera menindak penyelenggara pemilu yang melangar kode etik dan tidak independen. Pihak lain yang perlu dilibatkan adalah KPU, supaya melakukan langkah-langkah kampanye anti politik uang dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam melawan bentuk politik uang serta partai politik agar membangun budaya demokrasi yang sehat dan eberetika serta saling mengawasi dengan memperkuat saksi dalam proses pemungutan suara.
Berdasarkan temuan 12, sepanjang 2 bulan terakhir, terdapat 14.556 pemberitaan terkait pengamanan pemilu legislatif di Indonesia. Dari data tersebut, sebanyak 3.318 atau 23% memuat pemberitaan tentang pelanggaran pemilu.
Bentuk pelanggaran yang paling banyak mendapatkan sorotan media adalah politik uang (1.716 ekspos), penggelembungan suara (593 ekspos), pemilu ulang atau pencoblosan ulang (393 ekspos), pelanggaran kode etik (315 ekspos), serta penghitungan ulang (301 ekspos).
Menurut Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat, konsekuensi dan implikasi dari politik uang membuat ongkos politik amat mahal, baik yang ditanggung parpol maupun para calon anggota legislatif. Implikasi lebih jauh, mereka berusaha mengembalikan modal yang sudah keluar dan juga mengumpulkan dana untuk biaya politik berikutnya.
"Dengan demikian, sangat bisa dipahami dan ditebak jika para politisi terlibat korupsi," tandasnya.
[zul]
BERITA TERKAIT: