"Padahal ditengarai telah terjadi penerbitan e-KTP melebihi jumlah WNI yang memang berhak memegang e-KTP. Penerbitan ini hingga puluhan juta exemplar banyaknya," kata Presidium Komite Aksi Mahasiswa Untuk Reformasi dan Demokrasi (Kamerad), Haris Pertama, beberapa saat lalu (Rabu, 16/4).
Hal yang juga jadi masalah, lanjut Haris, adalah pendistribusian e-KTP yang tidak jelas dan baru sebagian kecil tersalurkan. Di saat yang sama, ada pemusnahan blanko KTP lama yang tidak jelas mekanisme pelaksanaan, perhitungan, pengawasan dan pertanggungjawabannya.
"Penetapan jumlah DPT yang tidak sesuai dan melebih jumlah WNI berhak memilih hingga sampai 20-30 juta pemilih. Sementara itu, banyak kotak dan kertas suara yang hilang di berbagai daerah di seluruh Indonesia," ungkap Haris, sambil menyesalkan mengapa KPK pun bungkam dalam hal proyek e-KTP ini.
Dalam hal
quick qount, atau hitung cepat, Haris menilai ada yang janggal. Meski ada anomali dalam survei, namun perbedaan yang menjulang antara hasil survei beberapa hari sebelum pemilu dengan hasil
quick count beberapa saat setelah penghitungan suara menunjukkan jug ada persoalan. Bahkan, hasil hitung tidak dapat dipertanggujawabkan kebenaran dan kecenderungannya, baik dari aspek kaidah metode dan ilmu statistik ataupun aspek realitas politik.
"Maka Kamerad menuntut KPU menyatakan secara resmi dan terbuka untuk tidak menggunakan hasil hitung cepat sebagai dasar hasil perolehan suara, gambaran dan analisa atau apapun juga yang dapat menimbulkan kesalahapahaman rakyat terhadap hasil pemilu yang sebenarnya," tegas Haris.
Haris pun meminta seluruh rakyat Indonesia agar berhati - hati, waspada, dan harus mengawasi perhitungan suara dan proses pelaksanaan pemilu tahap demi tahap yang sangat patut diduga telah terjadi pencurangan oleh pihak tertentu dengan tujuan untuk menciderai demokrasi dan meraih kekuasaan dengan cara-cara yang melanggar hukum.
[ysa]
BERITA TERKAIT: