Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ekonomi Konstitusi 2014 Tetap Jauh Panggang dari Api

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ichsanuddin-noorsy-5'>ICHSANUDDIN NOORSY</a>
OLEH: ICHSANUDDIN NOORSY
  • Senin, 31 Maret 2014, 07:33 WIB
Ekonomi Konstitusi 2014 Tetap Jauh Panggang dari Api
Ichsanuddin Noorsy/net
GAJAH mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia wafat meninggalkan nama, kekuasaan berakhir meninggalkan kesan.

Itulah yang akan terjadi pada 10 tahun kepemimpinan SBY beberapa bulan lagi. Kesan yang paling dominan adalah SBY memberikan keleluasaan politik melebihi era presiden RI yang manapun. Surplus kebebasan namun defisit ketegasan. Dalam bahasa akademik, surplus demokrasi diiringi dengan defisit keteraturan dan karenanya jauh dari tegaknya konstitusi, khususnya ekonomi konstitusi baik secara semantik, nominal, apalagi ideal.

Harus diakui, ekonomi konstitusi tegak secara normatif, tapi kehilangan nilai-nilai, jiwa dan semangatnya. Kerisauan banyak kalangan tentang rendahnya ketahanan pangan, ketahanan enerji, dan ketahanan keuangan adalah bukti bahwa kemerdekaan politik, atau surplus demokrasi tidak membawa berkah bagi kedaulatan rakyat. Itu baru persoalan ketahanan, belum ke masalah kedaulatan ekonomi.

Di dunia maya memang banyak beredar tentang 10 years wasting time, atau "Terima kasih SBY". Bahkan dengan kampanye yang berteriak "tidak ingin menyalahkan siapa pun", maka kasus korupsi pada FPJP dan penyertaan modal sementara Bank Century, korupsi Hambalang dan korupsi SKK Migas justru menyergap Partai Demokrat pada tataran beda ucapan dengan tindakan.

Catatan lain adalah 18 dusta politik yang disampaikan tokoh dan pemuka agama, slogan "cerdas, bersih dan santun" tanpa makna, tudingan sebagai antek asing, dan kemudian perilaku tidak etis karena menggunakan fasilitas negara untuk kampanye.

Saya masih memiliki catatan tersendiri. Tapi catatan itu sekadar menambah daftar kelemahan dan kesalahan yang berujung pada tidak bijaksananya kita memandang 10 tahun kepemimpinan SBY.

Di AS, Presiden yang dianggap dua periodisasinya merugi antara lain, GW Bush (Januari 2001-Januari 2009), Richard Nixon (Januari 1969-Agustus 1974), Woodrow Wilson (Maret 1913-Maret 1921), Dwight Eisen Hower (Januari 1953-Januari 1961), Theodore Roosevelt (September1901-Maret 1909), Franklin Roosevelt (Maret 1933-April 1945), Lyndon Johnson (November 1963-Januari 1969), dan Calvin Coolidge (Agustus 1923-Maret 1929).

Sedangkan yang beruntung pada periode kedua adalah Harry Truman (April 1945-1953), Ronald Reagan (Januari 1981-Januari 1989), dan Bill Clinton (Januari 1993-Januari 2001).

Apa ukuran keberhasilan dan kegagalan untuk dua periode itu ? Paling tidak ada tujuh hal. Yaitu peningkatan pendapatan rumah tangga; harga perumahan sederhana; produktivitas industri; pinjaman negara federal; PDB; pasar modal; dan keyakinan konsumen.

Karena Barack H Obama juga dua periode, orang bertanya, akankah Obama mengikuti jejak Bill Clinton ? Atau justru menapak ulang kegagalan GW Bush?

Kini media massa di AS menyoroti hal ini melalui berbagai isu. Antara lain tentang APBN AS yang mencapai melebihi USD 1T, program asuransi kesehatan, asuransi sosial, perlindungan industri otomotif, IT dan enerji. Yang paling merisaukan adalah persoalan ketimpangan. Berbagai universitas ternama membangun pusat kajian ketimpangan.

Hal ini berlangsung sejak Josep E Stiglitz menulis buku bertajuk The Price of Inequality dan Jeffrey D Sachs menulis buku The Price of Civilization. Intinya adalah mengkristalnya kesadaran yang muncul sejak 2004 bahwa perekonomian AS salah arah menurut data NBER, Gallop Institute, Josep E Stiglitz dan Paul Krugman.

Kesadaran ini menjadi kenyataan saat industri manufaktur AS kalah berperang melawan industri manufaktur RRC yang ditandai dengan membesarnya defisit necara perdagangan AS terhadap RRC sehingga terjadi Subprime Morgage Crisis pada September 2008. Kini Obama bahkan didukung oleh 44 stafnya guna mencegah terjadinya kegagalan periode ke duanya.

Bagaimana dengan Indonesia ? Soekarno dan Soeharto tentu saja tidak dua periode, karena UUD 1945 tidak mengatur periodesasi jabatan presiden sebelum 1998. Fakta menunjukkan, hasil Soekarno adalah ekonomi ambruk yang ditandai dengan meroketnya inflasi hingga 600 perseb. Walau dijatuhkan, namun Soekarno memberi kesan tentang kokohnya kepemimpinan Indonesia yang bermartabat.

Soeharto juga membuahkan krisis ekonomi-moneter 1997/1998 dan dijatuhkan dengan memberi kesan menyenangkannya keteraturan bagi sekelompok masyarakat. Kesan ini paling tidak muncul lewat kampanya Pileg dengan slogan Piye Kabare, Enak Zamanku to dan kampanye Partai Golkar.

Sementara kampanye SBY untuk Partai Demokrat tentu memberi pembelaan diri atas berbagai kasus yang menderanya. Jauh sebelum kampanye Pileg 16 Maret 2014 telah beredar buku bertema Capaian Pembangunan Indonesia Sejak Merdeka Hingga Sekarang yang diterbitkan Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Sosial. Secara ringkas, SBY memang membuahkan peningkatan PDB dari 5,13 persen pada 2004 menjadi 5,78 persen pada 2013. Kemiskinan juga menurun 14 persen menjadi 11,6 prosen. Rasio ULN terhadap PDB juga menurun dari 85 persen menjadi 23,4 persen. Tingkat pengangguran pun menurun dari 10 persen menjadi 5,4 persen bersamaan dengan kenaikan pendapatan perkapita dari USD 1.100 menjadi USD 4.000.

Bersamaan dengan itu, orang juga memahami meningkatnya Gini rasio dari 0,37 menjadi 0,42 yang berarti ketimpangan makin meningkat. Ini juga dibuktikan melalui makin sedikitnya pemilik dana diperbankan untuk nominal Rp 2 ke atas diikuti dengan makin banyaknya pemilik dana sampai dengan Rp 100 juta tapi dengan jumlah dana makin menurun. Begitu juga soal nilai tukar yang masuk dalam kategori ketiga terburuk.

Lalu dalam menghadapi kebijakan stimulus moneter AS, Indonesia masuk dalam kategori negara rentan sebagai konsekuensi berstatus negara gagal. Soal Indeks Pembangunan Manusia, walau meningkat, Indonesia tidak naik kelas, yakni tetap berada di kelas menengah bawah, sebagaimana juga posisi pendapatan perkapita.

Lalu, akan kemana Indonesia pada ajang demokrasi 2014 ini ? Saya menjawab, ekonomi konstitusi tetap jauh panggang dari api. [***]

Penulis adalah pengamat ekonomi-politik dan kebijakan publik

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA