Pabrik itu sudah berdiri sejak Saiman berusia dua tahun. Dan sekarang usianya sudah 52 tahun. Dan cerobong asap pabrik itu semakin kokoh berdiri angkuh menantang petak demi petak lahan yang patok demi patoknya menanti antrean gadai pemiliknya.
Konon, pada masa lalu, itu hanya pabrik sabun cuci biasa. Berdiri di atas lantakan dua hektar lahan petani yang dibebaskan dengan dukungan kredit pemerintah. Sepuluh tahun pertama adalah masa-masa berat untuk pabrik itu berdiri mempertahankan eksistensi. Namun, setelah itu, tibalah masa menjanjikan. Ketika ongkos beriklan di televisi sudah dapat dijangkau, ketika artis paling seksi memberi garansi untuk meyakinkan kepada masyarakat, bahwa sabun cuci itu bekerja efektif serta secarik sertifikat jaminan ramah lingkungan didapat, pabrik itu melenggang dengan anggun mengarungi samudera pertarungan usaha yang kejam namun menjanjikan.
Dan inilah hasilnya; Sejak sepetak warisan kakekknya tergadai juga, Supono, ayah Saiman memutuskan untuk menghabiskan sisa usianya mengabdi pada perusahan sabun cuci. Pengabdian itu diupah murah.
Tak sebanding dengan tenaga yang sudah dikeluarkan dan sekian liter lelehan peluh yang keluar setiap hari dari sekujur tubuh. Begitu pun Supono sudah berbahagia, karena dapat mencukupi kebutuhannya serta enam orang yang ditanggungnya.
Sementara Sulastri, istri Supono ikut menanggung penderitaan Supono dengan berjualan nasi di pabrik yang berdiri di atas lahan yang sebelumnya dimiliki bapaknya. Sambil menjual nasi, sekali-sekali Sulastri menunjukkan pahanya untuk memberikan sedikit hiburan dan harapan kepada buruh pabrik yang kebanyakan diantaranya adalah teman bermain masa kecilnya.
Lima saudara Saiman, perempuan semua. Dan seperti tradisi di kampung kami, perempuan memang mendapat keistimewaan. Untuk itu kelima saudara Saiman pun tak mengenyam pendidikan di sekolah. Mereka belajar menenun, menghidang, mencuci dan segala macam pekerjaan yang menentukan keberhasilan usaha suami mereka kelak.
Semua saudara perempuan Saiman tak dikirimkan ke sekolah. Baca tulis tak digunakan untuk membantu suami yang bekerja di pabrik. Dan Saiman? Untuk dialah semua kerja keras kedua orang tuanya. Dia tak pernah tahu bagaimana setiap hari Supono mengiba-iba di kaki tuan mandor. Dia juga tak pernah tahu kalau kadang-kadang ibunya tidur dengan tuan mandor.
Tapi Saiman harus tahu, suatu hari nanti dia akan pulang dan membalikkan keadaan. Dan mengembalikan kejayaan keluarganya. Seperti yang kerap didengarnya dulu dari ayahnya, bahwa separuh lahan pertanian di kampung kami memang milik Singodimedjo, ayah dari Sulastri ibunya. Cerita itu menjadi mimpinya dan harapannya. Semakin hari mimpi itu semakin membesar. Padat dan kasar.
Pada usia 11 tahun lelaki itu sudah meninggalkan kampungnya untuk pergi ke kota. Awalnya dia ikut dalam perniagaan Pak De Sutopo, Ayah Ponirah, istri pertama Saiman. Pak De Sutopo mengajarkan berdagang, karena dia memang seorang makelar tanah yang kadang-kadang melakukan praktek rente kepada petani yang kecekik akibat panceklik. Saiman bisa bersekolah akibat bantuan orang tua yang sudah dibantunya itu. Pendek kata, sejak dini Saiman juga sudah biasa dan bisa hidup dan menghidupi selain dirinya.
Keberuntungan Saiman bukanlah keberuntungan yang diperoleh dari doa yang dikabulkan seusai tangan diraupkan ke wajah. Dia tak pernah berpikir kalau Tuhan akan memberikannya hadiah setelah menutup doa dengan kata amin. Keberuntungan itu diciptakan. Dan campur tangan Tuhan adalah persoalan lain di dalam hidup yang nyata ini. Saiman tak pernah mau mengakui apa yang diperolehnya sekarang ini adalah buah doa dan harapannya yang tak pernah berhenti saban malam.
Pada usia 25 tahun dia menjadi salah satu mahasiswa termuda yang dikirim ke Jerman. Itu adalah hasil belajar kerasnya dan dana bantuan orang tuanya yang dikirim dari kampung.
Meski Pak De Sutopo juga ikut memberi bantuan kepadanya berupa kemudahan jaringan, namun Saiman tak pernah mengakui itu sebagai bantuan. Saiman berpikir, memang sudah begitulah seharusnya Pak De membalas jasanya yang sudah ikut memajukan perniagaan mertuanya itu. Dan ketika tawaran dari Bayern itu mampir juga ke meja kerjanya Saiman tak membuang kesempatan jalan menuju apa yang dicita-citakannya.
Selama sepuluh tahun, banyak cerita dikumpulkan Saiman. Selama itu pula dia banyak kehilangan cinta dari orang-orang yang dirindukan. Dia tak tahu kisah ayahnya yang sakit TBC dan terpaksa dirumahkan. Dia tak tau ibunya meninggal karena terlalu banyak menerima undangan tidur dari buruh yang datang dari luar desa. Dia tak tau, kakak keduanya melahirkan bayi perempuan, dia tak mengerti kalau si bungsu sudah bersuami dan meninggalkan kampung untuk menjadi TKI di Arab Saudi. Dia tak tau. Yang dia tahu kabar mereka baik semua, itu juga lewat coretan tangan Ponirah, yang dia ketahui juga bercerai dari suami pertamanya.
Dan sepuluh tahun pun lewat sudah.
Sesampai di tanah air, lelaki matang itu langsung mendapat tawaran mengepalai sebuah divisi di sebuah pabrik sabun cuci!
“Aku sudah tua, Man. Aku semakin percaya kalau kau sudah jadi orang seperti yang kau cita-citakan. Begitu pun aku akan tersanjung dan merasa terhormat, jika saja kau mau mengambil Ponirah sebagai istrimu,†ujar Pak De Suroto menjelang akhir hayatnya.
Saiman terpukau mendengar amanah orang tua itu. Baginya, Ponirah sudah dianggap sebagai adiknya. Meski sebenarnya ada perasaan yang menguat di hatinya. Alasan itu bukan semata-mata menjadi hal utama Saiman keberatan menerima Ponirah. Tak bisa dipungkiri, Saiman punya rasa kepada perempuan itu.
Dan setelah dia tahu persoalan bahwa Ponirah sudah menjanda, dan dia melihat keadaan bahwa dirinya sudah berada persis di ambang pintu kesuksesan, muncul pertempuran dahsyat di hati. Namun, apapun itu, Saiman harus membayar kemurahan hati Pak De Sutopo. Dan pada usia 36 tahun, resmilah Saiman menjadi lelaki yang memiliki segalanya.
Suatu kejadian mengganti tahun-tahun kehilangan Saiman. Sejak dia berhasil menaikkan angka penjualan dan menguasai pasar, dia benar-benar menjadi orang yang diperhitungkan. Langkahnya yang terukur dan akurat membuat dirinya berdiri di atas segala puncak bisnis sabun cuci. Sekarang dia resmi menjadi orang penting dan masuk dalam deretan orang terkaya di Indonesia.
Semua pemain sabun cuci menghindari konflik dagang terbuka melawannya. Ekspansi tak terhindarkan. Beberapa perusahaan memilih berdamai dengan merger sebagai anak perusahaan. Saiman pun sudah berhasil membuat beberapa merek dagang Sabun Cuci yang melegenda terpaksa berhenti beroperasi dan merumahkan buruhnya. Termasuk pabrik yang sudah berdiri di kampung kami.
Ketika detik-detik akuisisi, Saiman muncul di desa kami. Dengan setelan jas hitam dan memakai topi berwarna putih serta kaca mata rayban hitam Saiman keluar dari Volvonya. Dia diiringi beberapa bodyguard serta menggandeng seorang artis dangdut kesohor yang kumaklumi sebagai gundiknya yang kesekian.
“Saudaraku, inilah masanya saya kembali ke tengah-tengah Anda. Setelah sekian puluh tahun saya pergi sebagai seorang miskin larat dari tengah-tengah kalian semua, sekarang saya kembali dengan cita-cita,†demikian dia mengawali pidatonya. Warga kampung kami sudah hampir mati kelaparan. Meski masih tersedia hutan di belakang bukit Halimun itu.
Sejak pabrik sabun cuci berhenti beroperasi, sekarang bekas buruh yang tadinya petani itu sudah tak punya harapan. Satu generasi warga kami sudah lahir. Bayangkan, dan satu generasi itu kami sudah terbiasa menjadi orang upahan. Dan beberapa waktu lalu, pengupah kami terbirit-birit karena tak mampu menghalau invasi pasar yang dilakukan Saiman. Salah satu bagian dari kami.
“Saya berjanji, akan membawa keluar kampung ini dari masa-masa sulit. Sekarang, saya memohon dukungan anda untuk membantu saya,†teriaknya dengan menggunakan pengeras suara.
Permintaan Saiman itu nyata mendapat cemoohan orang-orang kampung. Bagi kami Saiman telah membunuh mata pencarian kami. Dan hari itu Saiman mengumbar janji dan meminta dukungan? Aku tak percaya.
“Warga di sini harus dibebaskan dari kebodohan. Seperti yang anda tau, aku menuntut ilmu sampai ke Jerman. Dan seperti yang anda saksikan hari ini. Saya datang dengan kepastian!†ujarnya lagi.
Keluh kesah kembali terdengar dari kumpulan orang-orang kampung.
“Saya akan membebaskan anak-anak kita dari kebodohan. Sekolah harus berdiri. Sekolah bertaraf internasional! Jangan pikirkan uangnya. Bagi yang memiliki kemampuan dan lulus seleksi akan menduduki kursi di sekolah saya. Saya berjani!†ujarnya sambil menunjuk hutan Halimun di balik bukit kami yang belum terjamah.
Bila tak boleh ini disebut sebagai penghianatan, maka ini disebut apa?
Usia Saiman sekarang 52 tahun. Dan cerobong asap pabrik sabun cuci di kampung kami kembali berasap. Bagi kami, lelaki yang hari ini sedang berjuang menduduki kursi presiden itu adalah seorang utusan Tuhan yang telah membebaskan kami dari kebodohan. Meski pun kami sadar betul, kami harus kehilangan hutan dan tetap hidup sebagai buruh di pabrik sabun cuci.
Binjai, 10 Mei 2012