Kasus "mangkrak"-nya proyek monorel dipandang publik disebabkan oleh dua hal yaitu ketidaktegasan Gubernur Joko Widodo dan ketidakterbukaan investor PT Jakarta Monorail (JM).
"Dulu Gubernur Foke (Fauzi Bowo) ragu, dia sempat bertanya-tanya apakah itu (monorel) solusi yang bisa diandalkan dan secara finansial aman? Foke berpendapat, karena praktiknya tidak layak dan tidak membantu atasi kemacetan maka dia berani hentikan," kata pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, kepada
Rakyat Merdeka Online, Rabu (19/2).
Saat itu Foke malah punya ide membangun
elevated bus (bis layang), yaitu membangun jalur bus di jalur monorel yang ada sekarang. Tapi ide itu tidak terealisasi karena pemerintahan berganti ke Joko Widodo.
"Sekarang Jokowi hadapi dilema, dia harus pilih meneruskan atau batalkan kembali. Ternyata Jokowi meneruskan. Tapi siapa yang berani tanam investasi dengan risiko bisnis yang belum ada jawabannya?" ungkap Yayat.
Dia tegaskan, proyek ini sebetulnya dililit kasus. Kasus terkait persoalan utang piutang. PT JM belum membayar utang pembangunan tiang monorel kepada PT Adhi Karya. Tapi, Komisaris Utama PT JM Edward Soerjadjaja membantah anggapan bahwa perusahaannya mengalami masalah keuangan.
Masalah kedua, artinya, siapapun yang jadi investor harus punya modal besar. Persoalannya masih ada pertanyaan, apakah PT JM betul-betul punya duit besar?
"Aturannya, sejak awal bilang tidak sanggup kalau tidak punya uang besar. Publik harusnya tahu. Keterbukaan harus dari investor," katanya.
Yayat mengkritik Gubernur Jokowi. Menurutnya, Jokowi harus tegas dan memanggil investor untuk memastikan kesanggupan lanjut atau tidaknya proyek monorel.
"Sekarang ini kaji kembali, perlu ketegasan dari Gubernur untuk panggil investor dan pertanyakan kesiapan. Harus ada ketegasan dari gubernur dan keterbukaan dari investor untuk mampu terus atau tidak," ucapnya.
[ald]