Indonesia Sudah Menjadi Negeri Para Politikus

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Jumat, 14 Februari 2014, 16:49 WIB
Indonesia Sudah Menjadi Negeri Para Politikus
kanti w. janis
rmol news logo Indonesia dinilai sudah menjadi negeri para politisi. Pasalnya, di ruang-ruang publik di negeri ini, banyak sekali bertaburan baliho maupun poster politikus dengan berbagai bentuk.

"Begitu mendarat dari bandara, entah di Sukarno-Hatta atau Ngurah Rai, kita langsung disambut baliho-baliho besar para politisi dan pemimpin negara, baik saat musim kampanye maupun tidak," jelas aktivis perempuan Kanti W. Janis dalam keterangannya (Jumat, 14/2).

Ironisnya, banjir iklan citra diri para politikus itu tidak dibarengi dengan pendidikan politik yang memadai. Karena itu, tak heran, banyak yang tidak paham tentang sistem politik di Indonesia, baik warga awam maupun mereka yang sudah duduk di pemerintahan atau yang sedang mencalonkan diri sebagai caleg.

Apalagi, semakin membingungkan dengan sistem ketatanegaraan yang berubah semenjak tahun 2004, juga sistem Pemilu yang diganti.

Menurutnya, rakyat tidak mengerti apa yang akan mereka pilih, dan pengaruh langsungnya bagi kehidupan mereka. Karena tidak mengerti, rakyat dalam memilih pemimpin lebih dilandasi sentimen pribadi serta adorasi, tak ubahnya memilih idola dalam sebuah kontes musik atau model. Orang memilih bukan karena kualitas, tapi karena citra yang ditampilkan lewat iklan yang menarik.

Misalnya, dalam memilih calon DPR, mereka tidak paham, bahwa produk UU DPR nantinya akan sangat berpengaruh bagi kehidupan sehari-hari.  

"Contohnya, DPR akan memilih Kapolri, BPK; DPR akan menentukan pajak; menentukan anggaran jaminan kesehatan sosial; harga minyak, kebijakan ekspor dan impor; bahkan tarif tol," sambung master hukum jebolan International Law and Law of International Organizations di Rijksuniversiteit Groningen (RuG), Groningen, Belanda ini.

Lebih jauh, caleg DPR RI dari PAN nomor urut 5 Dapil Jakarta III ini menjelaskan, berdasarkan pengalaman di lapangan, buta (sistem) politik/pemilu ini cukup merata dari tingkatan kelas sosial sampai tingkat pendidikan. Karena memang selama ini pendidikan politik itu nyaris tidak ada.

"Undang-undang Pemilu saja baru berusia satu tahun lebih. Sistem pemilu sangat kompleks, terlebih untuk pemilu legislatif. Calon pemilih bingung dengan begitu banyaknya calon. Ada DPRD, DPR, lalu DPD. Belum lagi dengan istilah Daerah Pemilihan. Jangankan pemilih, kebanyakan caleg saja tidak paham," bebernya.

Karena itu muncul beragam pertanyaan, jika tidak mengerti, apa yang mereka pilih, bagaimana bisa memilih dengan baik? Apakah mungkin dari kebingungan itu terpilih anggota dewan yang kompeten? "Pertanyaan berikutnya kepada siapakah pendidikan politik ini harus diserahkan? KPU, partai politik, atau para caleg?" demikian Kanti. [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA