Kalau kita ikuti bagaimana Anas bermanuver politik, kebanyakan orang akan mengamini sebuah kenyataan bahwa pria ini: berwatak, piawai dan memiliki diksi yang luar biasa. Berwatak karena ia selalu dalam keadaan yang stabil, datar, tidak meledak, juga tidak down. Dalam keadaan apapun, termasuk ketika dalam tekanan politik yang sangat tinggi ia kelihatan kalem. Tidak terlalu nampak riak-riak dan gejolak jiwa yang terpancar dalam gesture tubuhnya. Meskipun banyak kegalauan dalam dirinya, ia mampu menyembunyikan sedemikian rupa di muka publik. Ia senantiasa tampil meyakinkan. Dibandingkan dengan politisi lain, dalam soal ini, saya kira Anas berada di urutan teratas.
Lihai, seperti tupai yang mampu meloncat dari satu dahan ke dahan lainnya. Dalam pertarungan menjadi Ketua Umum Demokrat misalnya, banyak pihak merasa terhenyak. Sulit menyangka, calon yang bukan terlalu unggulan itu tiba-tiba bisa menyodok dan mengalahkan lainnya. Bahkan, calon yang banyak diperkirakan akan jadi malah tersungkur dengan sangat cepatnya. Luar biasa.
Demikian pula saat Anas harus lengser keprabon dari kursi ketua umum, banyak orang menyangka bahwa nasib Anas dalam dunia politik sudah pupus. Tapi rupanya, ia sudah menjadi semacam maskot sebagian penggemarnya sehingga eksistensinya tidak mudah didepak oleh siapapun. Terakhir, ia bermanuver dengan pendirian sebuah LSM yang bernama Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI). Siapapun kemudian mudah sekali menebak bahwa Anas sebenarnya sedang memperkuat jaringannya dan pada waktunya PPI akan bermetamorphosis menjadi sebuah partai dimana Anas akan melakukan
fight back. Sebuah langkah yang strategis dan jangka panjang.
Tentang diksi yang luar biasa, tidak bisa disangkal, inilah kekuatan utama Anas. Kalau saya boleh bandingkan, diksi Anas jauh lebih hebat dibandingkan dengan diksi Amien Rais. Semua pernyataanya sangat bermuatan politik tingkat tinggi dan layak kutip oleh media manapun. Anas dengan demikian sebenarnya adalah seorang orator ulung yang tahu persis bagaimana mempengaruhi publik melalui media masa.
Kemunculan Anas di saat genting, senantiasa menelorkan kata-kata yang sulit dilupakan oleh siapapun. Ketika dirinya disangkakan dengan proyek Hambalang, tukang becak pun ingat bahwa Anas menyatakan siap digantung di Monas bila hal itu terbukti. Kata siap gantung di Monas adalah kalimat magis yang belum pernah diucapkan oleh siapapun di Indonesia. Sesuatu yang sangat mencengangkan sekaligus meyakinkan
(convincing). Ia menarik garis yang sangat ekstrim dalam pemilihan kata agar mematik banyak perhatian orang lain.
Semua orang juga pasti masih ingat kalimat "baru lembar pertama" dalam sebuah pidato politiknya yang luar biasa. Sebagai seorang yang cerdas dan cool, ia tidak pernah mengatakan bahwa ia mengancam lawan politiknya dengan kata-kata yang konyol dan murahan. Kata "baru lembar pertama" meskipun merupakan kalimat yang datar dan netral, namun dipahami oleh siapapun bahwa ia sedang melakukan serial pembalasan. Bila dikaitkan dengan runutan waktu, maka setelah itu Anas mendeklarasikan PPI yang kemungkinan akan menjadi embrio kendaraannya kemudian hari.
Ketika berseteru dengan KPK dan menolak panggilannya, diksi yang dikeluarkan adalah kata ambigu "lainnya". Dikatakan, dirinya sebenarnya tidak sedang melakukan perlawanan terhadap KPK, namun melakukan pendidikan. Jangan sampai, kalimat ambigu seperti ini diikuti oleh banyak kalangan dan menjadi salah satu cara untuk menjerat yang lainnya. Dalam dunia demokrasi Indonesia, akunya, diperlukan hal-hal yang transparan.
Ucapan Terima Kasih
Yang paling akhir, setelah diperiksa pada hari jumat keramat, Anas kembali mengeluarkan diksi barunya. Ia mengucapkan terima kasih kepada Presiden dan Ketua KPK dan berharap apa yang terjadi padanya merupakan kado tahun baru. Maklumlah ini masih bulan Januari.
Antara kata "terima kasih" dengan "kado" merupakan dua hal yang kelihatannya saling bertautan. Pada umumnya, orang berterima kasih karena mendapatkan sesuatu dari orang lain yang menyenangkan dirinya. Orang akan berterima kasih manakala ia menerima kado pada saat perkawinan atau ulang tahunnya, misalnya. Sangat jarang orang berterima kasih pada saat memberikan sesuatu. Inilah paradoks yang dibangun oleh Anas, berterima kasih pada saat ia tidak menerima sesuatu yang menyenangkan.
Paradoks itulah yang dipilih oleh Anas untuk mengungkapkan apa yang ada dalam dirinya. Orang yang tidak terlalu memperhatikan ini pastilah mudah terkecoh seolah dirinya sangat berhutang budi dimasukkan dalam tahanan KPK. Tapi memang dalam sejarah, belum ada orang mengucapkan terima kasih dimasukkan dalam tahanan. Anas bisa jadi menyusun kalimat paradoks tersebut untuk menyatakan yang sebaliknya, bukan seperti yang diucapkannya.
Terlepas dari pilihan kata yang demikian hebat, gesture tubuh Anas menerangkan apa yang sebenarnya terjadi. Dimanapun juga, orang yang berterima kasih selalu ditandai dengan wajah yang segar, senyum yang lebar dan gerakan tangan yang terbuka. Nah, ketika Anas berterima kasih kemarin, semua itu tidak terjadi. Wajahnya kaku seperti biasanya, pembicaraan langsung dan tidak tersungging senyuman sedikitpun. Ini menandakan bahwa ia tidak sedang berterima kasih. Melainkan, ia sedang melakukan sebuah aksi teatrikal yang baru pertama kali terjadi dalam dunia persilatan politik tanah air.
Terakhir, kalimat Anas harus dimaknai dalam kerangka budaya Jawa yang kental dimana semakin tinggi kedudukan seseorang maka ia akan bersikap manis di tengah kemarahannya. Ia sangat berharap orang lain menangkap makna di balik kata-katanya, atau tanggap ing sasmito. Seorang pemimpin Jawa yang cerdas tidak pernah menyuruh stafnya untuk menghabisi lawannya, melainkan ia cukup menggunakan kalimat: tolong diselesaikan. Karenanya, ketika Presiden Soeharto mengatakan “tak gebukâ€, semua berpikir bahwa orang nomor satu saat itu benar-benar sedang murka, emosional dan tidak memiliki toleransi sedikitpun.
Saya menduga, Anas pada dasarnya sedang menembakkan pelurunya tajam saat mengucapkan kata-kata terima kasih. Sebagai orang Jawa, ia melakukannya dengan sangat sinis dan merupakan sebuah ancaman. Pilihan kata ini dinilainya sangat tepat disampaikan pada salah satu puncak kekecewaan yang melanda dirinya (ditahan). Ketidakrelaannya diungkapkan dengan kata yang sangat manis meski artinya sangat pahit.
Itulah mengapa, kemudian pengamat berpendapat bahwa Anas sebenarnya sedang siap-siap membuka lembaran kedua dan seterusnya. Dengan kecerdasan dan kepiawaiannya, Anas bisa jadi menyiapkan sebuah strategi politik untuk sebuah "pertempuran" akhir yang dalam konsep Jawa disebut "tiji tibeh", mati satu mati semua.
Ia tahu persis kalaupun nanti pengadilan dapat membuktikan kebenaran semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya, maka karir politiknya bisa jadi sudah habis. Mengaca pada beberapa jurisprudensi terakhir yang terkait dengan korupsi, maka bisa diperkirakan umur Anas sudah relatif condong ke barat saat keluar dari hotel prodeo. Bila ini yang terjadi, maka konsep "tiji tibeh" akan dimainkan dengan berbagai kartu yang ada di tangannya selama persidangan.
Namun, bila Anas hanya berada di penjara dalam waktu singkat atau malah bebas dari semua tuduhan, maka PPI yang digerakkannya akan diupayakan untuk menjadi besar dalam waktu singkat. Ia akan mengambil komando dan dengan seluruh kepiawaiannya segera kembali ke medan politik untuk "membeli" semua harga dirinya yang sempat "tergadaikan".
Anas bisa jadi lihai, cerdas dan memiliki diksi serta kepiawaian berpolitik, namun yang belum bisa dibuktikan adalah ia licin dalam dunia hukum. Bila nantinya hukum terus dapat memegang supremasinya, maka Anas harus banyak bersabar sampai ia menjadi bebas untuk kemudian dapat berkiprah lagi dalam panggung politik. Masyarakat Indonesia saat ini cukuplah menjadi penonton yang baik: menikmati dan mengambil pelajaran untuk perbaikan diri dan bangsanya.
*Penulis adalah dosen Jurusan Komunikasi Tanri Abeng University (TAU)