"Ada indikasi terjadinya inefisiensi dalam produksi elpiji Pertamina. Untuk diketahui bahwa BPP elpiji di Indonesia sangatlah rendah sebelum UU Migas diberlakukan. Bahkan jauh lebih murah dibanding harga Internasional," ujar Kurtubi, (Sabtu, 4/1).
Kurtubi menerangkan, peluang inefisiensi terjadi di berbagai bidang. Pertama adalah kecurigaan penggunaan trader dalam impor elpiji. Bila Pertamina benar menggunakan trader (pihak ketiga) maka otomatis biaya yang dikeluarkan menjadi lebih tinggi. Kedua adalah inefisiensi di sektor hulu penghasil gas bahan baku elpiji (C3 dan C4). Kurtubi menerangkan bahwa Pertamina telah membeli elpiji dari kontraktor dengan standar harga elpiji pasar internasional (CP ARAMCO).
Lebih jauh Kurtubi mengatakan, inefisiensi yang ketiga adalah inefisiensi kilang elpiji Pertamina dan yang keempat adalah inefisiensi di bidang pembangunan infrastruktur distribusi elpiji (terminal LPG, SPBLPG, dsb). Selanjutnya dia menjelaskan, keadaan ini diperparah oleh auditor yang tidak mengerti migas. "Saya yakin jika BPP dihitung secara benar, BPP tidaklah setinggi yang diklaim Pertamina," terangnya.
Dia mengimbau agar kenaikan harga elpiji ini ditinjau ulang dan mengembalikan peran pemerintah sebagai regulator semua produk bahan bakar yang berkaitan dengan hajat hidup masyarakat. "Penentu kebijakan harga elpiji haruslah pemerintah, tidak boleh harga elpiji diserahkan kepada pelaku usaha (Pertamina)," tandasnya.
Per 1 Januari kemarin, PT. Pertamina menaikkan harga Elpiji (LPG) non subsidi kemasan 12 kilogram (kg) menyusul tingginya harga pokok LPG di pasar dan turunnya nilai tukar rupiah.
Menurut Vice President Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir, harga elpiji tersebut dinaikkan seiring konsumsi elpiji non subsidi kemasan 12 kg tahun 2013 yang mencapai 977.000 ton, sementara di sisi lain harga pokok perolehan elpiji rata-rata meningkat menjadi US$ 873, serta nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar. Menurutnya, hal itu membuat kerugian Pertamina sepanjang tahun 2013 yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp 5,7 triliun.
“Kerugian tersebut timbul sebagai akibat dari harga jual elpiji non subsidi 12 kg yang masih jauh di bawah harga pokok perolehan. Harga yang berlaku saat ini merupakan harga yang ditetapkan pada Oktober 2009 yaitu Rp 5.850 per kg, sedangkan harga pokok perolehan kini telah mencapai Rp 10.785 per kg. Dengan kondisi ini maka Pertamina selama ini telah "jual rugi" dan menanggung selisihnya sehingga akumulasi nilai kerugian mencapai Rp 22 triliun dalam 6 tahun terakhir.†paparnya.
[zul]
BERITA TERKAIT: