Sementara, waktu yang tersedia bagi administrasi pemerintahan SBY sudah tidak cukup untuk menuntaskan masalah ini, mengingat waktu yang terbuang selama lima tahun periode pemerintahan ini tidak berhasil menciptakan momentum positif bagi bangkitnya reformasi birokrasi.
Demikian disampaikan Ketua-bersama Pusat Studi Antikorupsi dan Good Governance, UKSW Salatiga, Theofransus Litaay, dalam siaran persnya pagi ini (Senin, 16/12) menanggapi berbagai pandangan terkait dengan kemampuan Indonesia untuk keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah (middle income trap) dan "naik kelas" menjadi negara berpendapatan tinggi yang mengemuka belakangan ini.
Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah baru hasil Pemilu 2014 diharapkan melakukan pembaruan terhadap kondisi birokrasi pemerintahan, khususnya melalui pelaksanaan pelayanan publik berbasis kepada bukti, bukan pencitraan dan bukan janji atau slogan, dan membersihkan korupsi birokrasi.
"Sehingga birokrasi terbebas dari korupsi dan dapat menciptakan momentum bagi pertumbuhan ekonomi menjadi negara berpendapatan tinggi dan menghindarkan diri dari jebakan negara berpendapatan menengah," jelasnya.
Lebih jauh dia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2014 diperkirakan tetap dinamis. Makanya, pemberantasan korupsi harus terus diperkuat jika Indonesia ingin menghindar dari ancaman middle income trap yang menjebak negara berpendapatan menengah (middle income trap) sehingga tidak akan bisa bertumbuh menjadi negara berpendapatan tinggi.
"Hanya melalui pemberantasan korupsi politik dan pemberantasan korupsi birokrasi maka cita-cita Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi dapat tercapai. Berbagai studi menunjukkan bahwa korupsi dan bad governance turut menghambat pertumbuhan ekonomi akibat hambatan terhadap investasi dan penerimaan negara," ungkapnya.
Dia samping itu, dia menambahkan, maraknya korupsi menunjukkan rendahnya akuntabilitas publik dan menyebabkan potensi pertumbuhan ekonomi negara menjadi melemah dan pada akhirnya menyebabkan negara kehilangan momentum untuk menikmati penerimaan yang lebih besar dalam rangka pembangunan. "Pihak yang paling merasakan kerugiannya tentu adalah masyarakat miskin," tandasnya.
[zul]
BERITA TERKAIT: