Kebetulan Akil Mochtar sebelumnya memang anggota Komisi III DPR dari Partai Golkar.
"Ini bukan soal lembaga atau institusi partai politik. Ini lebih pada persoalan integritas moral personal. Karena itu, darimana pun asal-usulnya, kalau integritasnya tidak baik, kemungkinan terjadinya korupsi selalu terbuka," ujar Ketua Umum PP. Pemuda Muhammadiyah Saleh P. Daulay (Sabtu, 5/10).
Saleh mengungkapkan, mantan Ketua MK Mahfud MD sebelumnya adalah anggota Komisi III DPR dari PKB. Tapi ternyata berhasil menorehkan prestasi yang baik ketika memimpin MK. Walau seorang politikus, tetapi sejauh Mahfud belum pernah terdengar tersangkut kasus kasus korupsi.
Bahkan dalam banyak kesempatan, Mahfud MD terkesan sangat membenci praktik korupsi. Karena itu, sangat tidak adil jika partai politik dan institusi DPR secara kelembagaan dinilai paling bertanggung jawab atas terjeratnya Akil Mochtar tersebut.
"Kemarin dalam kasus suap SKK Migas, (Prof. Rudi Rubiandini,
red), yang tertangkap bukan politisi, tetapi akademisi. Sangat terang, politisi, akademisi, dan siapa pun yang tidak memiliki integritas berpeluang melakukan tindak pidana korupsi," jelas Saleh.
Selain itu, keberadaan tiga orang hakim perwakilan DPR di MK adalah representasi kekuasaan legislatif di dalam lembaga peradilan tersebut. Posisi mereka diperlukan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan enam orang perwakilan eksekutif dan yudikatif. "Kalau perwakilan legistatif ditiadakan, sama artinya melumpuhkan salah satu pilar kekuasaan di dalam MK," ungkapnya.
Walau demikian, ke depan partai-partai politik harus lebih selektif dalam memilih kadernya yang mau ditempatkan di lembaga-lembaga strategis seperti MK. "Bagaimanapun juga, partai politik memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan bermartabat," demikian Saleh yang juga dosen FISIP UIN Jakarta ini.
[zul]
BERITA TERKAIT: