"Saya berpendapat meski direalisasikan hukuman mati tidak akan menghentikan kejahatan korupsi," ujar pengamat hukum dari The indonesian Reform Martimus Amin (Jumat, 4/10).
Pasalnya, dia beralasan, korupsi bukan sekedar produk budaya, tetapi pada sistem hukum yang meliputi UU, lembaga, dan aparaturnya, sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Jadi mendiskusikan wacana hukum mati hanya soal teknis. Utamanya sistem hukumnya dikaji dahulu.
"Lihatlah UU Korupsi demikian dasyat mengatur ancaman berat sampai hukum mati terhadap koruptor dan negara memilik lembaga antikorupsi superbody 'KPK'. Hasilnya nol besar. Tetap saja kejahatan korupsi marak. Yang ditindak kelas teri, belum ada menyentuh level top leader," beber Martimus.
Tak hanya itu, bila dibandingkan aset koruptor yang disita, malah jauh lebih besar biaya operasional yang dikeluarkan negara untuk KPK. "WaJar saja jawabannya, untuk apa menindak perkara korupsi, justru membuat negara lebih buntung," ungkapnya.
Menurutnya, sistem hukum negara kita tidak efektif dan efisien. Bertaburan lembaga hukum, aparat bobrok, substansi dan hukum acaranya bertele-tele dan
jelimet."Celakanya lagi kalau sampai dilaksanakan hukuman mati, apakah tidak menjadi beban baru lagi. Presiden, keluarga, kroni, aparaturnya pasti kena dampak hukuman mati kalau terbelit kasus korupsi. Semua tahu, lembaga negara dan aparatnya dari tingkat tertinggi sampai pegawai terendah terjangkit virus korupsi. Kita pun akan menyaksikan banyak anak Indonesia menjadi yatim piatu kehilangan bapak-ibunya," demikian Martimus.
[zul]
BERITA TERKAIT: