Pedekate

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/m-aji-surya-5'>M. AJI SURYA</a>
OLEH: M. AJI SURYA
  • Selasa, 03 September 2013, 10:57 WIB
<i>Pedekate</i>
aji surya/net
BANYAK yang terjebak pada sebuah trend yang salah, mengira bahwa dengan memasang foto diri di pohon dapat diraup kepercayaan publik.

Menjelang lebaran tahun ini, muncul pemandangan baru di jalan-jalan antar propinsi yang dilewati oleh para pemudik. Banyak foto calon wakil rakyat bergelantungan di pohon-pohon sepanjang jalan. Hampir semua pohon yang berdirinya di lokasi strategis seolah sudah dibooking oleh para calon wakil rakyat. Mau di jalan lurus ataupun tikungan. Banyak diantara mereka juga menyapa para pemudik didampingi pimpinan parpolnya. Semuanya mengembangkan senyumnya yang merekah sambil mengucapkan selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin.

Terlihat pula beberapa spanduk yang meminta restu para pemudik untuk ikut serta dalam perhelatan konvensi hingga pemilu presiden. Di Pantura, bahkan sang calon seorang berani muncul dalam sebuah baleho besar yang tanpa ada rasa sungkan memperlihatkan pakaiannya yang berkelas, jam tangan mahal dan juga cincin-cincinnya yang bergelimang permata. Mungkin dikiranya inilah simbol bonafiditas.

Sebenarnya sedih juga melihat gambar para calon wakil rakyat bergelantungan di aneka pepohonan dan tempat-tempat yang banyak debu jalanan. Rasanya kok kurang terhormat. Ada yang terpasang miring, bahkan sudah terjungkal. Bisa jadi, kalau pohon itu bisa bicara juga akan protes karena dirinya tidak cantik lagi. Apalagi, banyak diantara foto-foto itu sudah tersobek, kemudian dibuat penutup warung dadakan. Ada juga yang dipakai sebagai alas duduk-duduk para pemudik tatkala mereka merasa penat setelah seharian berjuang diatas jok motor dan dibakar terik matahari.

Ternyata, bukan hanya di dalam kota atau jalur-jalur sibuk yang dibooking oleh calon wakil rakyat. Di desa-desa, mereka juga memasang foto diri dan terus menyapa penduduk. Bahkan, di daerah terpencil seperti pulau Wangi-Wangi di sebelah tenggara pulau Sulawesi yang sangat jarang penduduknya, beberapa foto wakil rakyat dalam ukuran besar terpampang di tikungan, pinggir hutan.

Inilah sebuah trend diseminasi informasi (kampanye) yang terus berkembang setelah Indonesia memasuki era keterbukaan demokrasi. Para calon wakil rakyat hingga para petinggi partai hobi sekali menyesaki pinggiran jalan untuk unjuk gigi kepada rakyat. Jadilah pinggir jalan sebagai media promosi diri kepada masyarakat umum. Sebuah ruang bebas untuk merayu rakyat agar memilih dirinya dalam pemilu yang akan dilaksanakan.

Bagi mereka yang punya uang melimpah, fotonya tidak perlu dipajang di jalanan yang berdebu dan penuh polusi. Mereka bisa setiap saat menyapa penduduk seluruh Indonesia melalui teve yang secara visual menyampaikan betapa hebatnya dirinya plus janji-janji manisnya bila terpilih. Sedangkan, bagi mereka yang uangnya agak terbatas, cukup pasang iklan di koran baik yang bertiras nasional maupun lokal.

Jujur saja, itu semua sebenarnya merupakan sebuah fenomena yang cukup unik, walaupun tidak bisa dibilang salah total. Mereka ingin dipilih oleh rakyat tapi belum dikenal oleh rakyat. Atau bahkan merekapun juga tidak mengenal rakyat. Dan cara perkenalan dan pedekate yang dipilih adalah dengan mengiklankan diri di jalanan. Pertanyaan yang timbul, apakah masyarakat akan memilih dirinya kalau sudah pernah melihat wajahnya di jalanan Pantura? Atau hati rakyat bisa terbeli dengan hanya melihat dan mendengar janji-janjinya?

Inilah masalah yang paling besar yang dihadapi oleh demokrasi Indonesia. Banyak calon wakil rakyat yang ingin membangun kesan keberpihakan kepada masyarakat hanya dengan cara muncul di depan publik dalam bentuk publikasi. Mereka mungkin berpikir --karena hal ini sedang ngetrend-- keputusannya untuk memasang foto di pepohonan setidaknya menjadi public relation (PR) yang baik untuk meraih hati dan pikiran rakyat dalam pemilu yang akan segera diselenggarakan.

Menurut Thomas Coulsin (2002), definisi public relation adalah usaha yang direncanakan secara terus-menerus dengan sengaja, guna membangun dan mempertahankan pengertian timbal balik antara organisasi dan masyarakatnya. Pendapat ini menunjukkan bahwa PR dianggap sebuah proses atau aktivitas yang bertujuan untuk menjalin komunikasi antara organisasi dan pihak luar organisasi.

Adapun pengertian public relation adalah sebuah interaksi dan menciptakan opini publik sebagai input yang menguntungkan untuk kedua belah pihak demi kelangsungan hidup organisasi yang bersangkutan. Hal ini didukung oleh pendapat Alma yang mengatakan bahwa “Public relation adalah kegiatan komunikasi yang dimaksudkan untuk membangun citra yang baik terhadap perusahaan”.

Sedangkan Marston mengatakan “PR adalah suatu perencanaan dengan menggunakan komunikasi persuasif untuk mempengaruhi persepsi masyarakat”. Hampir mirip, Scholz (1999) mengatakan bahwa “Public relation adalah suatu perencanaan yang mendorong untuk mempengaruhi persepsi masyarakat melalui pelaksanaan tanggung jawab sosial berdasarkan suatu komunikasi timbal balik untuk mencapai keuntungan pada kedua belah pihak”.

Bila mendasarkan pada aneka pengertian tentang PR diatas, lalu apa yang salah dengan memasang aneka foto calon wakil rakyat di pinggiran jalan termasuk di pepohonan? Bukankah itu juga merupakan sebuah proses untuk mempengaruhi persepsi masyarakat yang nantinya hasilnya sangat dibutuhkan oleh para pemasang foto.

Tidak sepenuhnya salah tentunya. Cuma juga tidak benar-benar amat. Dalam konsep PR, ada dua aspek yang tidak boleh ditinggalkan, yakni “kesinambungan” dan “keuntungan kedua belah pihak”. Dalam hal ini, pemasangan foto secara dadakan menjelang pemilu jelas bukan sebuah proses kesinambungan. Apalagi antara rakyat dengan calonnya belum memiliki hubungan yang intens atau bahkan belum kenal sama sekali. Terjun bebas dengan cara Bandung Bondowoso membangun candi dalam semalam bukanlah strategi yang tepat untuk meraup kepercayaan publik di era demokrasi.

Kata “kesinambungan” disini memberi arti bahwa antara keduanya sudah terjadi saling bekerjasama di masa sebelumnya dan bermaksud untuk melanjutkannya di masa datang. Diatas itu, semua bermuara pada satu hal: adanya keuntungan di kedua belah pihak. Pemilih beruntung karena calon wakilnya akan memperjuangkan kepentingannya dan sang calon sendiri akhirnya dapat meraih cita-cita mulianya menjadi seorang pemimpin.

Memasang foto di pinggir jalan tanpa sebelumnya dikenal atau bekerjasa dengan publik sama dengan seorang cowok memasang fotonya di pojokan kampus dengan harapan ada banyak wanita cantik yang jatuh cinta kepadanya. Sebuah kegiatan yang cukup naif dan malah menjadi bahan tertawaan masyarakat. Karena pada dasarnya siapapun bisa suka atau bahkan jatuh cinta bukan karena foto belaka, namun pasti dibarengi oleh adanya prestasi yang mendahuluinya.

Dalam berbagai jajag pendapat untuk pilpres tahun depan misalnya, terdapat sebuah kesimpulan awal bahwa rakyat sudah bosan dengan perilaku tebar pesona namun kurang kinerja. Tidak tertarik lagi dengan simbol-simbol wah dan modernitas. Sangat mendambakan pemimpin yang telah terbukti bekerja nyata dan berpihak kepada rakyat, walaupun perawakannya tergolong 'ndeso' dan 'katrok'.

Bila sinyalemen diatas dianggap benar, maka iklan terbaik bagi para calon wakil rakyat adalah terjun langsung kerja nyata untuk daerah pemilihannya dalam waktu yang masih tersisa. Tidak perlu repot-repot memanjat pohon untuk pasang foto diri sambil menahan sakitnya gigitan semut hitam. [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA