Puasa Itu Tidak Demokratis

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/m-aji-surya-5'>M. AJI SURYA</a>
OLEH: M. AJI SURYA
  • Rabu, 10 Juli 2013, 13:16 WIB
Puasa Itu Tidak Demokratis
M.AJI SURYA/NET
BENARKAH puasa terkait dengan persatuan? Atau, waktu puasa harus bersamaan?

Tahun ini, perbedaan itu kembali tiba di negeri ini. Sejak awal bulan Juli 2013, was wis wus tentang kapan awal puasa menjadi isu yang santer. Kadangkala bisa lebih nyaring dibandingkan peristiwa politik, termasuk pencalonan capres dari Hanura. Seolah, dunia Indonesia akan kembali terguncang dan perpecahan itu bisa menjadi sebuah kenyataan bila awal puasa tidak dimanage dengan baik.

Lihatlah, perhelatan sidang itsbat di Kementerian Agama yang langsung dipimpin oleh Menteri Agama, Suryadharma Ali. Lebih dari sepuluh ormas Islam ramai-ramai sepakat untuk memulai puasa hari Rabu (10/7) dan menghimbau terjadinya persatuan permulaan puasa agar muncul kerukunan antar umat Islam yang akan menyumbang stabilitas nasional. Uniknya, yang disindir alias Muhammadiyah, merasa lebih nyaman tidak hadir daripada harus berhadapan dengan mayoritas.

Permasalahannya jelas. Muhammadiyah dengan metode pendekatannya sudah yakin akan berbeda hasil dengan lainnya. Dengan keyakinannya pula maka Muhammadiyah sudah memproklamirkan awal puasa jauh hari sebelum sidang itsbat dilaksanakan. Baginya, perbedaan itu tidak bisa dijembatani lagi untuk tahun ini dan mendatang. Mungkin dalam lima tahun mendatang, akan bertemu lagi persamaan awal puasa antara Muhammadiyah dengan ormas Islam lainnya.

Di luar negeri, awal puasa juga mengalami perbedaan. Di Malaysia misalnya, awal puasa ditetapkan pada hari Rabu, sedangkan di Amerika pada hari Selasa. Bosnia mengawali puasa pada hari Rabu sedangkan beberapa negara di Eropa hari sebelumnya. Akhirnya, perbedaan metode pendekatan memberikan hasil yang nyata-nyata berbeda dan tidak mungkin disatukan.

Jadi, apakah ini soal kerukunan ataukan soal perbedaan biasa. Bagi yang menganggap hal ini bisa menjadi sumber perpecahan yang dapat memperlemah keutuhan bangsa, maka mengajak Muhammadiyah menjadi penting artinya. Di tahun-tahun mendatang, Muhammadiyah akan dibujuk untuk ikut mengamini mayoritas dan bersama-sama membangun kebersamaan. Akan indah dirasakan apabila puasa dimulai bersama dan lebaran juga dalam waktu yang sama. Terasa sebuah persatuan. Itu sesuatu yang tidak bisa dipungkiri.

Masalahnya, atas dasar apa "memaksa" Muhammadiyah untuk bisa ngumpul bersama dan mengajak kebersamaan diatas asas demokrasi (suara mayoritas)? Pastilah tidak ada. Sebagaimana dimafhumi, soal agama adalah soal keyakinan yang tergolong dalam area hak asasi manusia. Setiap individu atupun kelompok masyarakat pastilah tidak bisa dipaksa untuk mengikuti golongan lainnya, atau mengamini kebenaran yang lain.

Ilustrasi yang paling mudah dalam hal ini adalah salat. Ketika ada individu dan kelompok yang menggerak-gerakkan ujung telunjuknya ketika tahiyat, maka orang lain tidak bisa menyalahkan. Ada juga sebagian umat Islam yang melakukan Shalat Subuh dengan doa qunut, sedangkan lainnya tidak. Atau bahkan, Shalat Tarawih ada yang 11 rakaat ada pula yang 23 rakaat. Perbedaan yang demikian sejauh ini tidak ada masalah dan bahkan tidak lagi menjadi perdebatan tentang sah dan tidaknya.

Padahal, pada tahun 1960-an, masalah yang terkait dengan soal cabang, atau sering disebut furuiyyah tersebut, bisa membuat pertengkaran. Berbeda cara berwudlu, bertakbir, hingga jumlah Shalat Tarawih merupakan perdebatan yang hebat dalam dunia fiqih Islam yang mengimbas pada pertengkaran umat. Memperdebatkan soal keyakinan akan sulit mendapatkan persamaan, kecuali dipaksakan.

Namun seiring dengan berjalannya waktu dan majunya cara berpikir umat Islam Indonesia, saat ini hal-hal yang dulu diperdebatkan itu sudah hilang dengan sendirinya. Nyaris jarang terdengar mengapa seseorang menggerak-gerakkan jarinya sementara yang lain tidak. Tidak jadi persoalan lagi, Anda Shalat Tarawih sebelas rakaat atau lebih. Semua kembali kepada keyakinan masing-masing.

Repotnya, saat ini kita semua masih dalam era senang diskusi soal perbedaan awal puasa dan dikait-kaitkan dengan persatuan dan kerukunan. Seolah, kebersamaan dalam hal ini sangat penting dan harus ditegakkan. Bahkan, media masa juga ikut-ikutan menggemborkan soal ini sehingga menjadi topik hangat yang kemudian didiskusikan dalam twitter, facebook, sms dan lainnya. Padahal hal ini boleh dibilang sama saja dengan soal menggerakkan telunjuk saat tahiyat.

Bisakah dibayangkan, Islam sendiri mengajarkan bagaimana memulai puasa dengan berbagai metode. Dengan demikian, metode yang satu bisa jadi memberikan hasil yang berbeda dengan metode lainnya. Bahkan, masyarakat muslim di beberapa negara seperti Prancis, mereka sudah menetapkan untuk menggunakan metode modern, yang notabene lebih mengedepankan metode hisab. Melihat bulan dengan mata telanjang atau dengan teleskop sudah mulai ditinggalkan.

Di sisi lain, bukan berarti, yang menggunakan metode hisab dan ru’yah itu salah. Mereka yang mengedepankan kehati-hatian dan menggunakan semua metode yang ada semaksimal mungkin lalu mengambil kesimpulan. Mereka baru yakin manakala semua metode dipakai sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad.

Berbagai pendekatan yang berbeda inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya perbedaan keyakinan atas kebenaran. Jangan lupa, di Indonesia saja awal puasa bukan hanya dua, tapi bisa tiga atau lebih. Itu akan terlihat dengan jelas, adanya beberapa kelompok yang melakukan salat Idul Fitri yang berbeda-beda.

Ada saatnya nanti, pasti, soal awal puasa ini tidak menjadi masalah lagi. Yakni pada waktu semua umat Islam memahami bahwa hal ini adalah soal keyakinan dan siapapun berhak mengklaim kebenaran. Ketika semua sadar bahwa memaksakan kebenaran kepada pihak lain adalah hal yang mustahil dan melanggar kebebasan individu.

Diatas itu semua, Tuhan yang ada di atas sana, pastilah tidak akan mempermasalahkan seorang muslim yang memulai puasa hari selasa atau rabu karena pada dasarnya telah mematuhi perintahNya. Bahkan kepada mereka  dijanjikan ampunan dan surga. Tuhan hanya akan murka dan memberikan "ganjaran" yang setimpal kepada muslim yang tidak menjalankan puasa.[***]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA