Ketua Dewan Syuro Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) '98 Syahganda Nainggolan mengungkapkan itu dalam perbincangan dengan
Rakyat Merdeka Online pagi ini (Rabu, 1/5).
"Beda dengan masyarakat industri. Itu 60 persen buruh. Kita sebagai negara agraris, masih mayoritas petani. Kedua, buruh kita juga 70 persen bekerja di sektor informal. Kalau di luar negeri, sektor formal. Jadi yang mau libur siapa. Yang mau libur ini lebih sedikit jumlahnya," ujar Syahganda.
Di negara-negara Eropa saja, sambung Syahganda, pemerintah setempat tidak menetapkan hari buruh sebagai hari libur nasional. Meski pemerintahannya dikuasai Partai Buruh. "Seperti di Belanda, Partai Buruh sering berkuasa di sana, mereka nggak buat libur," jelasnya.
Menurutnya, yang paling penting pemerintah memberikan hak cuti kepada buruh pada 1 Mei. Sehingga, untuk buruh-buruh yang ingin bekerja, karena penghasilannya takut dipotong, tetap bisa bekerja.
"Kalau diliburkan, mungkin dia akan kehilangan uang Rp 50 ribu satu hari. Padahal dia mungkin makan dari Rp 50 ribu itu. Jadi libur itu keputusan yang kurang benar. Kalau menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh nggak masalah," tandasnya.
[zul]
BERITA TERKAIT: