Gotong Royong Ala Jepang

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/m-aji-surya-5'>M. AJI SURYA</a>
OLEH: M. AJI SURYA
  • Senin, 29 April 2013, 09:18 WIB
Gotong Royong Ala Jepang
m aji surya/ist
MUNGKIN, Anda tidak akan pernah kehilangan dompet ketika berkunjung ke Jepang. Laptop yang sempat lupa ditaruh juga akan mudah ditemukan. Kejujuran dan kerjasama menjadikan hidup dimanapun terasa nyaman.

Bulan lalu, seorang diplomat Indonesia yang ditempatkan di Tokyo, Minister Counsellor Bambang Suharto yang sedang melakukan lawatan di negeri gajah putih Thailand, tiba-tiba dipanggil dubesnya untuk segera kembali ke markas. Pada hari itu juga, ia harus pulang karena ada isu dumping yang dapat menganggu hubungan bilateral.

Dengan tergopoh-gopoh, Bambang segera menerbangi awan untuk mengejar pertemuan di ibukota negeri matahari terbit. Ketika tiba di Tokyo pada hari yang sama, ia segera meloncat ke metro bawah tanah dari lapangan terbang Narita yang berjarak 200 km dari kota. Dalam kereta, mini iPadnya segera dibuka untuk melakukan berbagai komunikasi tentang isu dumping yang dituduhkan pada salah sau produk.

Tidak terasa, saking capeknya Bambang tertidur di kereta. Ia terbangun saat kereta tiba tepat di stasiun tujuan. Tak pelak, ia segera lari keluar kereta untuk mengejar pertemuan. Dan malam harinya, saat leyeh-leyeh sambil nyeruput teh di rumahnya, ia baru sadar bahwa iPadnya tertinggal di kereta.

Secepat kilat, ia menelpon pusat informasi metro bawah tanah memberitahu bahwa barang berharganya tertinggal. Dari ujung telepon, hanya ada satu pertanyaan, apa warna cover mini iPad yang Bambang klaim. Setelah dikonfirmasi, maka pembicaraan hanya berkisar bagaimana cara mengirim barang tersebut.

Pagi harinya, saat mata Bambang masih belum dibuka, suara bel di rumahnya berdering-dering. Tanpa disangka-sangka, pak pos menyampaikan iPad di depan pintu rumahnya dengan biaya yang relatif murah. Hari itu, Bambang terkagum-kagum atas kenyataan yang ada, sebuah kejujuran dan kerjasama yang mungkin sulit ada di beberapa belahan dunia.

Seorang WNI lain juga memiliki cerita yang lebih unik. Karena tergesa-gesa, ia meninggalkan dompet diatas mobilnya setelah membeli sesuatu dan mempersilahkan tamunya masuk ke dalam mobil. Begitu sampai rumah, ia baru sadar bahwa dompet yang berisi semua identitasnya telah hilang. Sangat dipastikan terjatuh saat mobilnya melaju kencang atau ketika rem ditekan. Entah dimana.

Untuk menemukan dompet, tidak terlalu sulit. Ia cukup menelpon salah satu polsek dimana diperkirakan barangnya terjatuh. Sang polisi mengaku sangat memahami bahwa dompet yang berisi aneka kartu itu sangat penting. Tanpanya, banyak sisi kehidupan yang tidak bisa dilakukan di Jepang. Karenanya, polisipun berjanji untuk melacak dan berkoordinasi dengan polsek-polsek lainnya.

Teman kita itu tahu persis bahwa jantungnya tidak perlu berdebar-debar menunggu dompetnya datang. Dengan penuh keyakinan ia tahu bahwa hanya soal waktu saja dompet itu akan kembali. Dan ternyata benar, kurang dari satu hari, polisi menelponnya untuk mengambil dompetnya sambil dipersilakan melihat isinya yang ternyata masih komplit.

Uniknya lagi, polisi tidak mau menerima imbalan atas apa yang dilakukannya. Semua itu sudah dianggap sebagai sebuah kewajiban. Dapat membantu seseorang, baik warga sendiri apalagi orang asing di negaranya, merupakan sebuah kehormatan bagi dirinya dan bangsanya. Barangkali yang diharapkan, seperti kebiasaan setempat, seseorang yang telah ditolong itu mengucapkan arigato gozaimasu, terima kasih, dengan hati yang tulus sambil membungkuk-bungkukkan badannya.

Bukan hanya itu, seorang sopir taksi dan para pelayan restoran dan hotel tidak pernah berharap aneka tips dari pelanggan. Transaksi, kalau sudah sesuai dengan ketentuan, maka harus berjalan tanpa harus ada embel-embel yang tidak jelas. Cukup membayar dengan benar dan tepat waktu sesuai dengan kesepakatan. Itu sudah sangat mencukupi.

Mungkin banyak yang berpikir bahwa itu semua bisa terjadi karena kemakmuran yang sudah demikian merata sehingga kejujuran dan kerjasama bisa ditegakkan. Itu akibat gaji yang sudah cukup sehingga manusia tidak rakus. Welfare state sudah berjalan sesuai dengan teori-teori buku.

Kalau itu yang menjadi asumsi, mungkin pertanyaan lain akan segera muncul, mengapa di negara-negara yang juga sangat maju dengan kemakmuran yang tinggi, ternyata kriminalitas relatif tinggi. Copet-copet berkeliaran di metro bawah tanah yang berjejalan para komuter. Para pramusaji mewajibkan pelanggannya membayar sekian persen dari konsumsinya sebagai fee. Atau bahkan, ketika terjadi kecelakaan, sang korban yang sudah tidak berdaya masih dijarah harta bendanya.

Sudah berapa banyak warga Indonesia kecopetan dibawah menara Eiffel? Dan berapa banyak pula yang kehilangan dompet di metro kota Moskow atau New York? Atau malah ketika dompetnya ditemukan, yang kembali hanya ktp saja, sedangkan uangnya sudah raib entah kemana. Pemerataan kemakmuran kadangkala bukan sebuah jawaban.

Kebiasaan membantu orang lain adalah salah satu tradisi orang Jepang yang terus dipelihara. Anak-anak Sekolah Dasar disana setiap hari harus membawa beban berat yang ditaruh di tasnya yang harganya super mahal. Kalau anak itu keceplung kali, maka tasnya akan menjadi pelampung. Kalau ia terjengkang akan menjadi bantal sehingga tidak terluka fatal.

Uniknya lagi,  anak SD harus melewati jalur khusus menuju ke sekolahan dan tidak boleh pindah-pindah. Sebab di jalur tersebut sudah ada "orang tua asuh" yag ditunjuk manakala ia mendapatkan kesulitan. Anak tersebut cukup menekan tombol di tasnya dan orang tua asuh akan membantunnya.

Orang tua yang hidup sendirian di rumah akan disediakan sebuah termos yang ada tombol alarmnya yang terhubung dengan komputer di kecamatan. Ketika ada kesulitan, tinggal tekan tombol dan petugas akan datang. Bahkan, bila dua hari termos tidak dipakai maka petugas kecamatan akan tiba untuk menanyakan apa yang terjadi.

Arus modernitas, rupanya, tidak selalu harus menggusur nilai-nilai tradisi yang telah berlangsung ribuan tahun. Keduanya dapat bersinergi bak suami istri dan menjadikan kualitas hidup masyarakat semakin baik dan bermakna. Hanya diperlukan sebuah kesadaran: mengejar modernitas diatas nilai-nilai tradisi.

Modernitas juga tidak harus dimaknai mengusung nilai-nilai individu dalam arti egepe terhadap urusan orang lain. Menjadi warga metropolitan bukan berarti tidak perlu kenal dengan tetangga. Dalam keadaan kekurangan juga tidak membebaskan manusia untuk melukai nilai-nilai kejujuran dan kerjasama.

Dua hari sebelum balik ke Jakarta, dalam sebuah percakaan dengan seorang profesor dari Meiji University Tokyo, pipi saya benar-benar dibuatnya merah merona. Dengan halus ia membisikkan: "Ajisan, model kerjasama yang ada di masyarakat Jepang itu sebenarnya berasal dari konsep gotong royong di Indonesia." Mulut ini langsung monyong. Saya tidak menjawab secara verbal namun batin saya berteriak kencang, "Sontoloyo. Profesor nyindir ni ye." [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA