Suburlah Tanahnya, Suburlah jiwanya, Bangsanya, Rakyatnya semuanya. Sadarlah hatinya, Sadarlah budinya. Untuk Indonesia Raya"
Tidak banyak di antara kita mengetahui bahwa kalimat di atas berasal dari bait ke dua lagu Indonesia Raya karya W.R Supratman yang sebenarnya terdiri dari tiga bait.
Bait pertama menekankan pentingnya persatuan. Sedangkan bait ke dua adalah tercapainya masyarakat Indonesia yang sejahtera dan bahagia. Sementara bait ketiga tentang Indonesia abadi.
Sayangnya yang ditetapkan dan dinyanyikan sebagai lagu kebangsaan hanya bait pertama, yaitu persatuan. Padahal W.R. Supratman telah menyampaikan visinya tentang Indonesia Indonesia Raya, yaitu selain Indonesia bersatu, Indonesia harus bahagia dan abadi.
Mungkin karena hanya fokus kepada bait pertama, kita tidak menindak lanjuti kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 dengan mewujudkan terciptanya masyarakat Indonesia yang bahagia dan abadi.
Kalau kita simak laporan Global Policy Forum, hingga tahun 2012 Indonesia masih diperingkat 63 negara gagal. Indikator yang digunakan antara lain di bidang sosial, politik, ekonomi, hukum dan kependudukan. Dengan indikator yang sama, peringkat Indonesia jauh di bawah negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia dan Singapura.
Sementara laporan Bank Dunia tentang Government Effectiveness Index tahun 2010 menempatkan Indonesia berada pada posisi 80. Masih di bawah Singapore, Malaysia, Thailand dan Phillipina. Adapun indikator yang digunakan antara lain kualitas pelayanan publik, kualitas pegawai negeri sipil dan independensinya terhadap tekanan partai politik, kualitas kebijakan publik dan implementasinya, serta komitmen pemerintah terhadap cita-cita negara.
Terlepas kita sepakat atau tidak sepakat terhadap penilaian kedua lembaga internasional tersebut, kita harus menyadari bahwa tujuan mencapai Indonesia bahagia dan abadi masih sangat jauh.
Beberapa tantangan yang kita hadapi antara lain pertumbuhan ekonomi, yang apabila bertahan di sekitar 6-7 persen per tahun, jumlah masyarakat miskin di Indonesia diperkirakan masih sangat besar pada tahun 2045. Bahkan anak-anak yang kekurangan gizi dan tingkat pendidikan rendahpun masih cukup besar di saat 100 tahun Indonesia merdeka. Karena itu banyak pengamat yang mengharapkan agar pemerintah kerja lebih keras dan cerdas agar pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai angka dua digit.
Yang paling menyedihkan tentu saja menyangkut tingginya tingkat korupsi dan merosotnya kewibawaan hukum. Apalagi institusi-institusi yang mestinya mengawal dan menegakkan hukum di Indonesia, seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman seringkali malah melakukan pelecehan terhadap keputusan hukum yang sudah pasti. Contohnya adalah upaya kejaksaan yang gagal melakukan eksekusi putusan kasasi Susno Duadji yang ditolak MA, ternyata malah mendapat perlindungan dari institusi kepolisian.
Mestinya Susno Duadji meniru langkah filsuf Yunani Socrates seperti yang ditulis oleh Plato dalam karyanya Apologia. Socrates dinyatakan bersalah, dan dihukum mati karena metode berfilsafat dengan cara seperti seorang bidan dianggap merusak moral generasi muda. Sahabat Socrates membujuknya untuk lari dari penjara, tetapi Socrates secara jantan menolak dan menerima hukuman tersebut. Socrates beranggapan hal itu merupakan bagian dari kontrak hidup dia sebagai warga kota Athena.
Harapan tentu saja masih ada. Siklus lima tahunan pemilihan umum dan pemilihan presiden akan berlangsung di negeri ini pada tahun 2014. Mekanisme politik tersebutlah salah satu harapan kita agar para wakil rakyat dan pemimpin Indonesia yang terpilih mendatang dapat mewujudkan visi Indonesia Raya, yaitu tetap sebagai NKRI, rakyat hidup bahagia dan sejahtera, serta negara Indonesia akan abadi sepanjang masa.
Namun apabila mekanisme politik tersebut menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin yang hanya mementingkan kelompok mereka sendiri, saya yakin semangat rakyat Indonesia seperti saat merebut kemerdekaan dari Jepang dan Belanda tahun 1945 akan muncul lagi. Bedanya, rakyat akan merebut kemerdekaan bukan dari penjajah negara asing melainkan dari negara sendiri yang diwakili oleh partai politik yang korup. Tentu saja kita tidak berharap ini akan terjadi.
[***]
*Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta .
BERITA TERKAIT: