Setelah dua hari berputar-putar di kota apel, badan ini terasa amat pegel. Di dalam pesawat yang meluncur 500 km perjam itu, mata ini terasa sangat ingin terpejam. Lumayan bisa saving energy sebelum menghadapi kota Jakarta yang lebih sangar dan tidak ramah. Sayangnya, dua penumpang di belakang saya bener-bener berisik. Mereka mengobrol dengan suara yang amat keras dan seolah satu pesawat tidak mendengarnya. Atau sebenarnya sengaja berbicara begitu agar ceritanya didengarkan dari kokpit hingga buritan. Sayapun hanya bisa melek merem.
Dan benar juga, saya jadi tahu persis apa yang diperbincangkan dua orang di bangku A dan B itu. Semua sangat terkait dengan pekerjaan mereka. Yang satu suaranya lebih lantang dan mengucurkan aneka informasi pekerjaan yang sedang dilakoninya, sedangkan yang lainnya lebih inferior dan banyak mengiyakan. Diperkirakan keduanya adalah pegawai di daerah yang sedang menikmati berjibunnya proyek sebagai dampak dari otonomi daerah.
“Saya sudah bilang, pekerjaan semacam itu mestinya saya yang menangani. Kalau orang lain, bisa bermasalah. Tapi, karena atasan saya tidak mau mendengar, akhirnya berantakan semuanya. Itulah pelajaran penting bagaimana atasan menyerap aspirasi bawahan,†ujar penumpang bangku A.
“Kalau sudah soal proyek memang begitu. Mana ada yang mau melepaskan. Merasa pinter sendiri dan benar sendiri. Sama Bang, di tempat saya juga seperti itu,†jawab penumpang bangku B.
“Ya sudahlah, kalau memang itu soal proyek, ya bagi-bagilah sesuai dengan aturannya. Jangan dimakan sendiri. Kita harus adil kepada yang lainnya.â€
“Saya ini Bang. Sudah 25 tahun bekerja, tapi berdasarkan pengamatan saya, bila mentok soal duit, ya mana ada orang mau berbagi.â€
“Tapi kan semua di kantor tahu, akulah jagonya. Kalau tidak mau mendengarkan apa kata-kataku, ya tunggu saja hasilnya jeblok. Aku angkat tangan saja sambil terbahak-bahak,†sergah penumpang bangku A.
Rupanya dua orang tersebut adalah penumpang yang baru berkenalan di bandara Malang. Keduanya memiliki karakter yang sama: meledak-ledak dan sangat suka membicarakan urusan pekerjaan. Sambil tertawa getir, saya jadi teringat tetangga saya yang suka menelepon sangat suara keras soal pekerjaannya agar saya dan seluruh keluarga mendengar betapa bonafidnya dia dalam mencari rejeki.
Siapa yang tidak menganggap penting pekerjaan? Hampir semua orang pasti mengiyakan. Bahkan sejak anak lahir, sang ibu sudah menyebut pekerjaan tertentu yang semestinya menjadi cita-cita anak tersebut. Ada yang menginginkan jadi dokter, guru, insinyur, diplomat dan pengusaha kaya. Sukses dalam ukuran sekarang adalah memiliki pekerjaan yang dapat menghasilkan banyak uang, baik itu dollar, rupiah atau euro.
Tidak heran, orang tua juga sangat bersemangat untuk membicarakan pekerjaan anak-anaknya yang dapat menghasilkan uang banyak. Kemanapun pergi, cerita anaknya tersebut diulang-ulang walaupun pendengarnya sudah merasa bosan. Biasanya, setelah topik pekerjaan habis, dilanjutkan dengan soal rumah, mobil dan hal-hal lain yang dianggap “wah†oleh masyarakat umum. Sangat jarang, dua orang ibu ngerumpi betapa saleh anak-anak mereka, rajin ke masjid atau ke gereja. Ibu di masa kini juga sudah enggan menceritakan anaknya yang cerdas dan bermoral tinggi. Mereka diam-diam sudah teracuni oleh pragmatisme dan hedonisme yang berlebihan.
Seorang bapak berprofesi sebagai dokter yang bangga dengan pekerjaanya juga bisa berjam-jam bercerita kepada kolega SMA-nya bagaimana ia meraup uang dari melalukan anestesi hingga operasi. Kepada pembantu rumah tangga disampaikan bahwa gaji yang diberikannya berasal dari pekerjaannya sebagai dokter. Kepada anaknya diingatkan agar kelak kalau sudah besar menjadi dokter seperti dirinya. Bahkan ketika mengisi ceramah di RW, pekerjaan sebagai dokter diangkat sebagai tamsil yang menginspirasi.
Fenomena pekerjaan, uang dan kemewahan merupakan hal yang jamak di masa kini. Kalau dihitung-hitung, sebagian besar waktu yang kita miliki selalu terkait dengan pekerjaan dalam arti yang sempit: mencari uang. Banyak orang terjebak dalam fenomena ini sehingga sangat sulit untuk melepaskannya. Pagi, siang, malam dilalui dengan urusan pekerjaan. Bahkan kalau memungkinkan, mimpi-mimpinya pun diisi dengan yang ada kaitannya dengan pekerjaan. Akhirnya, arti hidup yang sesungguhnya begitu mudah lenyap.
Dalam kenyataannya, Tuhan hanya dipanggil ketika kesulitan atas pekerjaan itu datang. Saat pasien sudah mulai sepi, ibadah mulai ditingkatkan. Saat usaha mulai terpuruk, berkeluh kesah di tengah malam. Saat mau datang masa pensiun, maka Tuhan didekati dan diminta menurunkan keajaibannya.
Tuhan di masa kini memang bukan yang nomor satu. Bisa jadi nomor tujuh atau sepuluh setelah pekerjaan, hobby, kemewahan, anak-anak dan lainnya. Pengakuan terjadap Tuhan yang serba maha besar dan maha bisa hanya berhenti pada hiasan bibir dan sangat sulit diejawantahkan dalam kehidupan keseharian.
Saya sangat khawatir, Tuhan akan tersinggung atas semua kelakuan kita semua. Tuhan bisa saja tidak berkenan dan lalu menurunkan aneka bencana dalam kehidupan sosial. Bukan hanya gunung meletus atau banjir bandang, namun juga konflik sosial dan proses demokrasi yang termehek-mehek. Tuhan juga bisa marah dengan membuat sepakbola kita selalu kalah.
Maklumlah, ketidakpatuhan kepada Tuhan pada dasarnya adalah pengingkaran kepada ketertiban dan alam semesta. Menghabiskan waktu untuk satu hal saja tanpa mengindahkan ciptaan lainnya sebenarnya penghiatan terhadap lingkungan. Hukum alam adalah hukum Tuhan.
[***]