Kemakmuran yang Memabukkan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/m-aji-surya-5'>M. AJI SURYA</a>
OLEH: M. AJI SURYA
  • Selasa, 19 Maret 2013, 16:23 WIB
Kemakmuran yang Memabukkan
KEMARIN sore saya baru saja bertemu seorang musisi kawakan yang berkibar di era tahun 1980an yang mengawaki band Krakatau. Perjumpaan yang tak disengaja di sebuah rumah makan bilangan Senayan itu menjadi ajang nostalgia pertemanan lama yang tidak terjalin dengan baik akibat kesibukan masing-masing.

Pria tengah baya itu masih energik dan masih sangat atraktif ketika memainkan keyboard diatas panggung mengiringi Johan Untung dengan lagunya yang melengking. Gayanya memencet tut-tut penuh penghayatan, sambil berdiri dan duduk miring, membuat semua pengunjung restoran terkesima dan tidak segan untuk melemparkan tepukan yang bergemuruh.

Usai manggung, perbincangan antar teman ini dilanjutkan. Tiba-tiba saja saya menanyakan sesuatu yang sudah lama terpendam dalam ingatan, yakni tentang karya musisi yang sering mandeg di usia produktif. Padahal, menurut kebiasaan, orang makin dewasa akan makin pengalaman dan tambah produktif. Kekuatan intelektual seseorang itu baru mulai loyo bisa jadi diatas umur 70an tahun sesuai usianya yang makin senja.

"Itu fenomena normal saja, mas," ujar pria berbadan bagus ini.

"Kok bisa ya. Bukankan orang makin berpengalaman akan makin baik produktifitasnya? Para musisi yang "pensiun" ini kan masih pada usia 50an. Ataukan mereka sudah tidak mampu berkompetisi dengan para musisi muda?"

"Kalau dari sisi kualitas, siapa yang bisa bilang bahwa musik kita lebih buruk dari anak-anak sekarang. Ingat, dulu ketika kitamembuat lagu-lagu hits, selalu saja dengan kualitas musik yang sangat baik. Bukan sekedar gonjrang-gonjreng," tambahnya.

"Lalu apa dong di balik semua itu?" sergahku tidak tahan.

"Semua musik yang bagus itu dilahirkan pada saat kita belum makmur," jawabnya pendek dan menusuk tajam.

Benarkah kekakayaan akan mendorong munculnya kemalasan dan memandegkan kreasi? Sebuah pertanyaan yang sungguh sangat layak untuk disimak bersama. Sayapun kemudian teringat dengan bisikan seorang dosen yang mengatakan bahwa sebuah karya masterpieceumumnya bukan dilahirkan dari dalam istana yang megah, tetapi dari balik terali besi. Begitu banyak novel yang menjulang dan dibaca jutaan orang dibuat ketika seseorang masih papa. Cerita pribadi juga akan sangat "basah" manakala menuturkan tentang kesulitan hidup.

Jadi, inti dari semua itu adalah,kemiskinan adalah sebuah kekuatan. Kepapaan is a  power. Makin terpojok seseorang maka energinya bisa muncul diluar kebiasaan. Karenanya, melawan mereka yang sedang dalam keadaan tidak beruntung harus berhitung lebih njlimet. Kaum marginal mampu melawan apa saja diluar kekuatan rasio. Seperti ketika kakek nenek kita melawan Belanda yang ber-tank dengan senjata bambu runcing.

Kesimpulan lainnya, kemamuran dan kekayaan itu bisa memabukkan dan membutakan. Ketika seseorang dalam keadaan mabuk, maka jangan berharap otaknya dapat digunakan dengan baik. Yang bisa dilakukan hanya tidur, bermalas-malasan dan berhalusinasi. Tidak akan ada produktifitas apalagi yang bersifat masterpiece.

Konon, pernah ada seorang kepala negara di belahan utara dunia dikenal sebagai seorang pemabuk berat. Selain karena negerinya punya tradisi minum minuman keras, masalah bangsa yang mengemuka saat itu memang lagi menumpuk luar biasa. Maklumlah gejolak sosial telah merubah sistem nasional dari komunis sosialis ke demokrasi liberal. Alih-alih menyelesaikan masalah, sang kepala negara malah suka melarikan diri dengan minuman keras. Akibatnya sangat fatal: suatu ketika ia dijebak untuk menandatangani persetujuan pemisahan salah satu wilayah dari negerinya pada saat ia mabuk kepayang.

Dalam beberapa minggu terakhir ini kita juga disuguhi sebuah fenomena yang sangat menarik. Adanya pemberitaan dugaan korupsi seorang jenderal polisi yang memiliki harta, yang menurut istilah salah satu majalah, "dari Sabang sampai Merauke". Berderet-deret dari Jakarta hingga Bali. Bahkan di sebuah kota kecil seperti Kendal. Padalah kalau saja salah satu propertinya itu dijual maka diperkirakan dapat menghidupinya seumur hidup. Dan jika semua harta itu dilego, mungkin ia bisa hidup nyaman untuk reinkarnasi sebanyak tujuh sampai sepuluh kali.

Karena mengikuti hawa nafsunya, maka menumpuk harta tidak ada batasnya. Itulah yang kemudian disebut mabuk harta. Dipikirnya semua bisa dibeli dengan harta, apalagi berada di lingkungan penegak hukum. Kondisi nyaman telah membutakan dan membuat orang tidak dapat berpikir cerdas. Zona aman menghentikan orang untuk berkreasi. Harta menjadi sebuah tujuan utama dalam kehidupan yang akhirnya malah menyengsarakan.

Padahal, kalau saja mau, maka menempatkan kemakmuran pada maqamnya justru akan membuat orang lebih kreatif dan tidak berhenti berkinerja. Caranya gampang saja, bagikan sebagian harta (yang dihasilkan secara halal) tersebut kepada orang-orang di sekitar yang membutuhkan dengan hati yang lapang, ikhlas dan penuh kasih sayang. Bukan untuk mencari nama apalagi pencitraan.

Dijamin, rasa yang jumawa akan kembali kepada hati yang bersih dan pikiranpunberfungsi secara normal. Kesadaran ini juga akan menghentikan cara-cara barbar dalam mencari harta dan sekaligus mendekatkan kepada yang Maha Kuasa dan masyarakat pada umumnya. Akan mendorong tetap aktif berkreasi dan dicintai sesama. [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA