Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sang Pawang

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/hujan-tarigan-5'>HUJAN TARIGAN</a>
OLEH: HUJAN TARIGAN
  • Kamis, 24 Januari 2013, 11:27 WIB
Sang Pawang
(Untuk Papa dan Tafta: Dirgahayu)

TIGA tahun sudah sejak orang-orang di Karta Jaya mengumpat dan mengutuk hujan. Maka, sejak itu pula lah, hujan sama sekali tak singgah dan membasahi tanah yang merindukan. Batu-batu kering. Aspal meleleh seperti lilin. Pepohonan layu dan mati diam-diam. Udara semakin sesak menyemak ditingkahi asap knalpot dan timbal dari pantat mobil mewah yang dikendarai orang-orang yang nyaris putus asa. Hujan benar-benar menghilang dari kota itu.

Sudah sejuta pemuka agama dan sejuta pawang diturunkan. Mereka menggelar upacara dan ritual yang sakral. Sesajen dan aneka pengorbanan pun dipersembahkan. Nihil. Dan nihil. Jangankan hujan, awan pun tak kunjung tebal menghitam. Warga kian galau oleh kemarau.

Memang pernah juga sekali waktu awan menggumpal pekat rendah menyelubungi puncak-puncak gedung tinggi di kota itu. Namun seperti bocah yang terlanjur sakit hati, keadaan hanya memamerkan kerinduan. Hujan yang diharap tetap tak kunjung menghadap. Angin seakan ikut membantu hujan membalaskan sakit hatinya.

Tiga tahun ini, warga di kota Karta Jaya semakin kehilangan cinta. Angin yang menyengat turut merayakan kegelisahan warga. Keramahan hanya ada di dalam mimpi orang-orang yang merindukan kehadiran hujan. Dan ketika mimpi itu berpendar, maka keramahan pun ikut memudar.

Maka sebagai bagian dari mimpi yang ditawarkan, Foker dan Jokiwil, calon penguasa kota itu berlomba meraih simpati warga dengan cara menghadirkan hujan. Kedua kandidat yang tengah berjuang menduduki posisi teratas di Karta Jaya itu awalnya tak melihat hujan sebagai barang dagangan. Namun ketika warga yang tengah dilipat cuaca panas yang ganas menuntut kepada calon penguasa agar bisa mendatangkan hujan, kedua politisi itu pun memutar otak agar hujan dapat singgah walau sebentar.

“Kita membutuhkan darah perawan sebagai pengorbanan!” usul Ki Joko Bego, dukun sakti yang berhasil dirangkul Jokiwil dengan mahar yang cukup fantastis.

“Perawan yang bagaimana? Ini kota metropolitan! Lebih mudah mencari jarum patah daripada perawan dengan ciri-ciri seperti yang sampeyan sebutkan!” maki Jokiwil ketika Ki Joko Bego yang mengajukan syarat persembahan memanggil hujan.

“Sampeyan ini bagaimana sih? Kalau mau terpilih jangan tanggung-tanggung berkorban,”

“Gila! Membayar mahal mahar Sampeyan itu sudah pengorbanan yang luar biasa besar, tahu…”

“Ah, apa sampeyan tidak baca? Di bawah kontrak tersebutkan: mahar belum termasuk penyediaan persembahan,”

“Saya sudah baca itu, tapi saya tak pernah mengira kalau syarat persembahannya begini susah,”

“Sampeyan mau hujannya turun atau tidak?”

“....”

Warga sudah muak dengan janji-janji yang ditebar di kala cuaca panas membakar.

Mereka sudah tak peduli lagi mengenai program kerja yang disusun tim sukses kedua kandidat. Mereka tak mau tau apakah kelak mereka akan menemukan bukti itu atau tidak. Yang mereka mau tahu adalah, siapakah dari kedua kandidat yang berhasil mendatangkan hujan ke Karta Jaya.

“Kita membutuhkan 40 anak yatim piatu yang masih perawan,” usul Rohiman, pemimpin pemuka agama sekaligus artis dangdut ibukota yang berdiri mendukung jagoan incumbent Foker.

“Ente bagaimana sih? Ini metropolitan, jangankan 40, mencari satu saja adalah hal yang mustahil,” sengit Foker.

“Doa anak yatim piatu itu makbul, dan cepat diijabah Tuhan. Apalagi yang perawan,”

“Ane kagak mau tau. Ane sudah libatkan Antum dalam proyek ini. Antum harus bantu Ane. Turunkan hujan. Turunkan...!”

“....”

Kerinduan warga terhadap sapa mesra sang hujan tak terbendung lagi. Mereka tak peduli dengan mimpi dan ilusi yang bertebaran di masa suksesi. Meski segepok uang sudah teronggok di hadapan, meski harapan keamanan dari kebakaran berserakan dan janji menggratiskan air bersih ditumpahkan, warga hanya mau hujan segera turun dan membasahi tanah-tanah tandus serta mengaliri selokan yang sudah kering kerontang.

Angin menerpa, menghantam kaca-kaca gedung pencakar langit. Menggetarkan tiang-tiang jalan layang. Sepotong pamflet bertuliskan janji politik milik Foker melayang, jatuh ke aspal, terseret beberapa meter. Pamflet yang juga memajang wajah sang incumbent itu kemudian terlindas ban mobil dan kembali melayang.

Siang menjadi begitu asing, tatkala hujan yang dinantikan tak kunjung datang. Sementara kedua kubu kandidat terus menjanjikan hujan kepada pendukungnya masing-masing.

“Masalah kita hari ini, selain kemiskinan dan kesemrawutan, adalah air,” teriak Jokiwil dari atas podium. Sementara pendukungnya semakin larut di dalam terik cuaca yang kisut.

“Selain telah membebaskan sejumlah mata air dari tangan sekelompok pengusaha dan membagikannya gratis kepada saudara sekalian, kami juga telah berhasil menciptakan mesin suling air limbah. Maka itu, saudaraku senasib sepenanggungan, mulai dari ini, berdirilah bersama kami. Kita wujudkan kota yang madani!”

Segenap pendukung yang hadir dalam kampanye terakhir Jokiwil itu menyambut pidato dengan berteriak memanggil hujan.

“Hujan!”

“Kami hanya mau hujan!”

“Kirim hujan sekarang juga!”

Keadaan sempat tak terkendali sebelum pada akhirnya Ki Joko Bego, paranormal serba bisa muncul disertai awan gelap dan angin kencang. Pendukung Jokiwil yang merindukan hujan mendadak senyap oleh fenomena alam itu. Mereka yakin sekali kalau hujan yang dinanti selama ini akan jatuh saat itu juga.

“Sampeyan semua harap tenang. Hujan akan datang! Hujan akan datang!”

Awan berderak di angkasa. Mega diselubungi awan hitam. Semakin gelap menggumpal menjuntai. Angin terus meradang membawakan pesan hujan. Pendukung Jokiwil bersorak menyambut kepastian yang sudah di depan mata.

“Ya Tuhan, bila memang hujanmu tak bisa datang dalam waktu dekat ini, maka biarkanlah tanah di bumi tetap kering,” doa Rohiman sesaat setelah mendapat kabar kalau semua perawan di ibukota sudah berhasil dipilin dalam barisan Jokiwil.

“Bagaimana ini? Hari semakin mendung,” kata Foker galau. “Kita sudah gagal mendapatkan 40 yatim piatu yang perawan untuk membantu Antum mendoakan agar turun hujan,”

“Tenang, Pak Foker. Meski tidak dibantu doa oleh 40 yatim piatu yang perawan, saya tetap berdoa agar kiranya hujan yang akan turun ini adalah hujan milik Pak Foker,”

“Muke gile! Gimana orang bisa tahu kalau hujan yang akan turun ini adalah hujan yang saya undang?” sengit Foker.

Sementara Foker semakin resah oleh langit yang kian gelap. Popularitasnya menurun secara drastis. Sidang redaktur sejumlah media dan hasil polling Lembaga Survei Indielable menyimpulkan tak ada harapan baginya untuk memenangkan pilkada putaran kedua. Sedangkan Rohiman sang pemuka agama, terus melempar senyum sambil memutar tali tasbihnya.

Di Bundaran Hotel Indielable, pendukung Jokiwil telah berbaur bersama warga yang diantaranya terlihat mengenakan kaos bergambar Foker lengkap dengan kumis garang melintang di atas daun bibirnya. Kandidat kuat penumbang kekuatan lama itu sudah merasa di atas angin. Ribuan pendukungnya yang siang itu numpleg di Bundaran HI mengelu-elukan namanya karena sudah berhasil mengundang awan hitam.

“Hari ini, anda semua akan menjadi saksi janji kami,” ujar Ki Joko Bego. “Sesaat lagi, hujan akan turun dan sampeyan sekalian akan tahu kalau Jokiwil tak sembarang berjanji,”

Gemuruh membelah cakrawala. Angin bertiup kencang, menerbangkan flyer dan pamflet yang bertumpukan menutupi jalan Sudirman. Awan bergerak cepat. Berhembus kilat membersihkan langit dari gumpalan awan. Ki Joko Bego menengadah ke langit. Senyum sumringahnya perlahan berubah muram. Langit bersih! Pesan hujan terhapus. Awan hitam menghilang. Seketika langit Karta Jaya cerah dan memantulkan sinar panas yang meranggas. Ribuan pendukung Jokiwil terperangah, mereka tak menyangka angin begitu cepat berubah memupus segala harapan yang siap berbuah.

Di lapangan Monas, sekelompok orang berbaju putih-putih telah berdiri mengatur barisan. Sedianya, tatkala langit menghitam, mereka sempat mengurungkan niatnya untuk melaksanakan istighosah. Iman terbelah. Keyakinan berbelok pada janji Jokiwil. Namun ketika langit kembali cerah, sang Imam, Rohiman kembali berdiri untuk mengajak ribuan jamaahnya. Sambil terus menggerak-gerakkan kumisnya, Foker memberikan aba-aba kepada Rohiman untuk segera menggelar upacara meminta hujan.

Siang semakin terik. Panasnya kian besar membakar. Jutaan orang menangis dalam doanya. Mereka merindukan hujan dan menyesali perbuatan mereka yang mengutuk hujan tiga tahun silam. Sambil diiringi irama padang pasir dan musikalisasi puisi oleh sejumlah seniman dan artis ibukota, para pendukung Foker khusu berdoa sambil bersenandung. Kemudian meraung. Kemudian meratap. Tak sedikit dari mereka mulai ekstasi. Merebahkan diri ke atas aspal yang meleleh. Kemudian berguling-gulingan, dan membentur-benturkan kepala sebagai bentuk kepasrahan dan keputusasaan.

Keadaan makin tak terkendalikan ketika serombongan orang yang merasa kecewa berhamburan dari arah Bundaran HI menuju Monas. Para korban janji Jokiwil itu mulai masuk menerabas barisan pendukung Foker yang tengah istighosah dengan caranya masing-masing. Segerombolan manusia berpakaian kota-kotak itu menerabas kawalan polisi. Dari atas mobil komandonya, Jokiwil dan Ki Joko Bego mencoba menahan arus pendukungnya yang bergerak menuju Monas.

“Tahan Saudara-saudara! Ritualnya belum dimulai!” ujar Ki Joko Bego lewat pengeras suara.

Menjelang sore, jutaan orang sudah berguling-gulingan di Monas. Mereka sudah berbaur menjadi satu. Monas dikepung orang-orang berbaju putih dan kotak-kotak. Mereka semakin enerjik menukar airmatanya. Namun sia-sia. Hujan tetap tak datang. Langit biru tetap berselubung polusi. Tak ada awan, tak ada angin kencang.

Di Monas, Foker dan Jokiwil saling berhadapan. Mereka tak kuasa mengontrol keadaan dari jutaan orang yang tengah merindukan hujan. Rohiman dan Ki Joko Bego pun tak bisa memenuhi keinginan banyak orang.

Seorang lelaki meraih pamflet lecek bertuliskan janji politik Foker. Tangannya yang coklat masai meremas pamflet yang lecek itu dan memasukkannya ke dalam kantong jeansnya.

Sambil berlari kecil dia terobos kerumunan orang yang sedang berdoa.

“Foker! Foker! Aku ingin bicara pada Foker!”

Namun langkahnya tak mulus untuk mendekati podium tempat Foker dan tim suksesnya berada. Lelaki itu kemudian berbalik menuju mobil komando yang ditumpangi Jokiwil.

“Jokiwil! Jokiwil! Biarkan aku berkata pada Jokiwil!”

Namun bodyguard Jokiwil dengan tangkas menghalau lelaki asing yang tak menggunakan atribut apapun itu.

“Hati-hati provokator!” teriak seorang pengikut Jokiwil dari atas mobil komando.

Dan kekhusukan orang-orang yang sedang berdoa mengharap hujan kemudian terganggu oleh teriakan itu. Lantas dengan penuh gemas mereka melihat Saiman yang ngacir menerabas barisan.

“Provokator!” tunjuk mereka.

"Provokator!” tunjuk Foker dan Jokiwil nyaris bersamaan.

Sebarisan polisi kemudian masuk ke barisan dan bergerak cepat menangkap lelaki kurus itu.

“Povokator!” umpat seorang polisi sambil melayangkan tinju ke dada kering Saiman.

Seketika peserta istighosah yang geram akan kehadiran provokator berhamburan menyerang Saiman. Mereka berupaya menggapai lelaki itu, meraihnya, mencengramnya, membantingnya ke tanah dan melumatnya sampai rata dengan permukaan tanah. Massa kian beringas seiring cuaca yang semakin panas.

“Sabar Saudara-saudara. Jangan main hakim sendiri! Please dech!” seru Komandan Polisi mencoba membubarkan kerumunan orang. Demikian pula Foker dan Jokiwil. Mereka kerepotan menenangkan massanya masing-masing yang tengah terluka oleh janji yang tak kunjung nyata.

Dengan darah segar mengucur dari kepala, Saiman kemudian digeret menuju mobil. Wajahnya lebam. Sekelompok pemburu berita mencoba mengabadikan penderitaannya. Blitz berhamburan, pertanyaan dan interogasi tajam pun dilayangkan.

“Tolong Pak, lepaskan saya” pinta Saiman kepada Komandan Polisi yang susah payah menariknya dari kerumunan orang-orang kalap.

“Sudah, jangan ribut, kamu mau saya serahkan ke mereka? Sudah baik, saya menyelamatkanmu, tahu!” kata Komandan Polisi.

“Tapi Pak, saya membawa pesan...” ujar Saiman sambil menanhan nyeri luka di kepalanya.

“Sudah nanti saja ngobrolnya! Kamu harus ke pos!”

“Sebentar Pak, ini penting, jangan bawa saya ke pos. Saya harus bicara kepada mereka semua!”

“Edan! Kamu mau mati konyol?”

“Barangkali mereka memang tak menginginkan saya, tapi mereka menginginkan hujan,”

“Berisik!”

“Tunggu Pak!” Saiman menghempaskan rangkulan tangan Komandan Polisi. Kalau Bapak terus menyeret saya, saya akan adukan bapak kepada Tuhan!”

“Gelo! Apa-apaan kamu?”

“Saya harus menyampaikan pesan dari Tuhan!”

Sejumlah wartawan yang dengan sabar mengikuti langkah Komandan Polisi yang menyeret Saiman kemudian berteriak. Memohon Komandan Polisi memberikan jeda untuk kesempatan bicara.

“Komandan, lepaskan dia!”

“Lepaskan,”

"Berhentilah mencekiknya!” rengek seorang wartawan.

Senja mulai merah oleh marah. Jutaan orang bergerak mengikuti langkah Komandan Polisi, mereka tetap berupaya merebut Saiman. Wajah mereka penuh kebencian. Saiman dilindungi para pewarta dan sejumlah aktivis hak asasi manusia.

“Ini pesan penting Pak. Penting”

“Sakit jiwa, kamu mau orang-orang yang kalap itu menangkapmu?

“Tidak mengapa Pak, mereka harus dengar pesan ini,”

“Kamu bikin pekerjaan polisi jadi repot dua kali! Sekarang ikut saja ke pos!”

“Jangan Pak. Foker dan Jokiwil harus tahu. Mereka harus mendengar pesan ini langsung,”

Rohiman yang diikuti barisan pedangdut ibukota langsung menemui Komandan Polisi. Langkah itu pun diikuti Ki Joko Bego dari kubu Jokiwil. Kedua selebritis yang menjadi pawang hujan ini pun terlibat pertengkaran ketika akhirnya tiba di pos pengamanan.

“Susah payah kami memanggil hujan, mengapa kalian mendoakannya untuk tak jadi datang?” semprot Ki Joko Bego. “Hujan ini kan untuk semua, bahkan kubu kalian juga!”

“Antum jangan main klaim sembarangan ya, jelas-jelas Tuhan mendengarkan doa kami. Justru karena pengorbanan yang Antum berikan, hujan jadi ogah datang!” balas Rohiman.

Kedua pawang hujan itu berdebat hebat di kantor pos pengamanan. Pewarta yang hadir pun tak mau kehilangan momen. Mereka sodorkan tape recorder untuk mengabadikan pembicaraan kedua orang itu. Sementara di sudut lain, Komandan Polisi yang kebingungan dengan keadaan terlihat hanyut dalam perdebatan mereka.

“Begini sajalah,” akhirnya Rohiman berkata. “Kita juga intelektual. Sebenarnya malu untuk perdebatan yang tak masuk akal ini. Coba ditanyakan kepada Komandan Polisi mengapa memberi ijin kepada kubu Antum menggelar ritual pada jam yang sama dengan jadwal kampanye Foker,”

“Pembagian jadwal ini pekerjaan KPU. Kami hanya mengamankan, kenapa jadi memojokkan kami? Lagian jelas-jelas massa Jokiwil yang merangsek ke Monas. Kami juga sudah bekerja maksimal, jangan disudutkanlah,” potong Komandan Polisi. Wartawan kemudian menggeser tapenya untuk merekam pernyataan Komandan Polisi.

“Loh, ini kan jadwal sudah disepakati. Lagian siapa yang bisa mengontrol kemarahan pendukung kami?” kilah Ki Joko Bego.

“Nah jelas kan, siapa yang memulai kisruh,” ujar Rohiman tenang.

“Sampeyan yang mendoakan agar pekerjaan kami gagal. Buktinya tadi awan sudah tebal dan hujan sudah bersiap datang, sekarang, hujan tak jadi turun. Sampeyan yang memperkeruh keadaan. Sampeyan provokatornya!” serang Ki Joko Bego diikuti gelombang teriakan dari pendukungnya.

“Tangkap Rohiman!”

“Tenang-tenang. Ini apa-apaan sih? Sebetulnya siapa provokatornya? Rohiman atau orang ini?” tanya Komandan Polisi sambil menunjuk Saiman yang duduk di pojok sambil memegangi wajahnya yang lebam.

“Orang itu” tunjuk Rohiman.

“Sampeyan!” kata Ki Joko Bego menunjuk Rohiman.

“Ki Joko Bego!” tuding pendukung Rohiman.

“Pak Polisi!” ujar salah seorang yang tak jelas identitasnya.

Sementara di dalam pos pengamanan Rohiman dan Ki Joko Bego sibuk tuding-tudingan, di lapangan Monas keadaan semakin tak terkendalikan. Kedua kubu yang menjagokan calon yang berbeda tampak bersatu padu menggelar ritual memanggil hujan. Mereka sudah tak memikirkan kalau baju yang mereka kenakan berbeda corak dan warna. Mereka sudah tak pusingkan tata cara upacara yang berbeda. Mereka terus berdoa, munajat, mandi bunga, kelojotan di tengah jalanan. Mereka juga qasidahan, dangdutan dan nge-punk.

Jutaan pendukung dari dua hulu yang berlainan tampak mesra merayakan kerinduan terhadap hujan. Mereka berpelukan, saling bertangisan. Seperti pemandangan lebaran, mereka bersalaman, sungkem, berangkulan sambil mengucurkan air mata. Tak ada Foker, tak ada Jokiwil. Yang ada hanya kepasrahan terhadap dahaga dan kekeringan. Jutaan orang menemukan cinta justru ketika panas membakar kulit. Di tengah pemandangan mengharu biru itu, kameraku menangkap fenomena yang tak akan masuk di akal orang-orang yang tengah menemukan cinta. Foker dan Jokiwil berpelukan. Mereka berdansa, sambil menyanyikan lagu Waktu Hujan Sore-sore.

“Pukul Tifa toto buang
kata balimbing dikareta
sio nyong hati tuang
jangan geser tinggal beta

e . . . manari sambil goyang badan e
manari lombo, pegang lenso manisse
la rasa rame, jangan pulang dolo e . ..”

Di pos pengamanan, Rohiman dan Ki Joko Bego terus memperdebatkan awan yang tak jadi membawa hujan. Mereka saling tunjuk hidung. Mengeluarkan ayat Tuhan dan memamerkan kesaktian kanuragan. Keadaan makin parah tatkala Komandan Polisi diseret-seret masuk ke dalam kancah perdebatan. Keduanya saling membuka front dan meneror. Tiga pihak. Ketiganya saling bertahan dan menyerang.

Di saat itulah, Saiman mengambil kesempatan untuk meloloskan diri dan kembali berteriak menuju lapangan Monas yang dipadati perindu hujan. Sambil terus mengingatkan kepada orang-orang yang tengah ekstasi, Saiman menerobos barisan ke atas panggung tempat Jokiwil dan Foker berdansa.

“Akan datang masanya, di mana kalian akan membenci hujan!” teriaknya. Foke dan Jokiwil terkesima dan menghentikan dansanya. Orang-orang yang mendengar sumpah Saiman kemudian memburunya. Saiman telah merusak kerinduan orang-orang kepada hujan. Lelaki itu sudah mencabik-cabik cinta yang jutaan orang baru temukan. Tanpa komando, jutaan orang bergerak ke satu titik. Mereka memburu dengan beringas. Namun Saiman tak didapat. Dia moksa menjadi awan. Hanya kaos oblongnya yang tertinggal di atas panggung.

Awan menggumpal di atas Monas. Semua tercengang. Satu per satu air tumpah dari langit. Kilat menampar, angin mengejar. Hujan datang! Hujan datang!

Di Pos Pengamanan, Ki Joko Bego menang sebenang!

Jakarta 18/9/12 - Semayang 22/1/13

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA