Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pembantu dan Sang Kolonel (Bagian 3)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dwi-digmansyah-5'>DWI DIGMANSYAH</a>
OLEH: DWI DIGMANSYAH
  • Senin, 24 Desember 2012, 20:16 WIB
SEPERTINYA Raden Mas Cokro bakal menjadi lelaki paling bahagia sedunia. Pasalnya, lima hari setelah itu, Raden Mas Cokro benar-benar memenuhi janjinya menikahi Ijah. Pesta akbar bakal digelar secara besar-besaran. Berita pernikahan pembantu dan kolonel ini serta merta menyebar ke seluruh Surabaya. Media massa tak henti-hentinya memberitakan pernikahan sensasional masa itu. Perhatian publik segera tertuju padanya.

Raden Mas Cokro dan Ijah segera menjadi bulan-bulan para kuli tinta. Menjelang hari H, Raden Mas Cokro dan Ijah segera mengungsi dari rumah. Diam-diam mereka pergi ke Jombang, dan menikahlah mereka di sana. Rupanya pernikahan yang digelar tidak semeriah dugaan orang. Justru pernikahan keduanya berlangsung sangat sederhana. Tiada resepsi maupun undangan. Pernikahan hanya dihadiri penghulu, saksi, dan kedua mempelai. Sebab mereka sadar pernikahan itu adalah sakral. Bukan sesuatu yang patut digembar-gemborkan, apalagi sampai dikenalkan ke publik. Selain itu, ada sesuatu yang lain yang mengganjal di hati, yakni adanya perbedaan yang mencolok terhadap keduanya. Inilah yang dirasa mereka bakal menjadi kendala bila kelak pernikahannya diketahui publik.

“Saat Raden Mas Cokro melamar ke rumah didampingi petugas kelurahan dari Surabaya yang mengurus surat-surat, keluarga saya dan orang kampung mengira yang akan menikah justru petugas kelurahan bernama Mas Bambang yang usianya sepantaran dengan saya. Malahan Raden Mas Cokro dikira orang tua dari Mas Bambang. Ayah sempat kaget. Dan bilang pada saya apa saya tidak salah pilih. Maklum, masa menantu dan mertua lebih tua menantu. Usia ayah dan Raden Mas Cokro terpaut hampir separo. Tapi kekagetan itu tidak bertahan lama. Sebab ayah sadar bahwa anaknya memang sedang jatuh hati. Dan hal itu tidak bisa dipaksakan. Akhirnya kami pun dinikahkan.”

Pada saat itu seluruh biaya pernikahan ditanggung Raden Mas Cokro. Lebih dari itu, Raden Mas Cokro malah berencana membangun rumah Ijah yang tampak reot itu. Tapi kemudian dilarang oleh sang mertua dan Ijah. Katanya demikian:

“Saya menikahi Raden bukan lantaran harta,” setelah menikah Ijah mulai memanggil suaminya dengan kata Raden, “saya rasa bapak dan ibu sudah cukup memiliki rumah seperti ini. Raden tidak perlu repot-repot memberikan apa-apa pada kami.”

“Tapi saya kan suami kamu. Apakah itu salah!”

“Raden tidak salah. Justru kami sangat bersyukur karena Raden bersedia menikah dengan saya yang hanya anak desa ini. Ini sudah merupakan kehormatan bagi kami sekeluarga.”

“Lalu, apa yang bisa saya berikan bagi keluarga?” Raden Mas Cokro bertanya.

“Kata bapak, tetaplah mencintai anaknya sampai akhir hayat.”

Sejak itu perasaan sayang Raden Mas Cokro terhadap isterinya kian tak terbendung. Raden Mas Cokro memandang mata isterinya itu untuk sesaat, lalu, dengan senyum mengejek yang lebih tampak di matanya daripada di bibirnya, ia menjawab, “Tidak salah aku memilihmu sebagai isteri.”

Secara spiritual mereka telah jatuh dalam getir-getir asmara. Mereka saling jatuh cinta. Pertama-tama, lelaki tua itu melontarkan pertanyaan-pertanyaan singkat dan tidak jelas, kemudian dibarengi pujian setinggi langit terhadap isterinya.

“Kau cantik!”

“Ah, Raden ini bisa saja…”

“Hatimu juga cantik!”

Ijah memang cantik, pun rambutnya yang agak kasar dan tipis serta digerai itu tampak kontras dan aneh jika dipadukan dengan warna kulitnya yang bercahaya. Raden Mas Cokro kehabisan kata-kata, bagaimana dia mengatakan pujian-pujian kepada isterinya bila pujian itu telah mengalahkan semua kecantikan isterinya? Dan kenapa juga dia harus mengatakannya, toh dia bisa melihat langsung pemandangan indah itu di depan matanya? Saat itulah Raden Mas Cokro dibuat keliyeng-keliyeng.

“Matamu?”

“Ya…ada apa dengan mata Ijah, Raden?”

Mata itu coklat, tapi sayu, melankolis dan penuh kegembiraan. Terlalu dalam di bawah kening yang menonjol, melankolis, dan mengesankan kesungguhan. Lagi-lagi Raden Mas Cokro dibuat keliyeng-keliyeng oleh kecantikan Ijah. Terlebih pada saat itu merupakan malam pertama mereka. Dan bagaimana dia harus mengatakan kepada isterinya?

Memang wajah itu tampak biasa-biasa, tapi tubuhnya sangat anggun, langsing, dan serasi. Suara dan dan kedua tangannya amat indah, benar-benar indah. Terutama suaranya. Sebuah keindahan yang tak terucapkan, berlawanan dengan ekspresi wajahnya yang pilu, anggun dan melankolis. Seketika itu, jelas Raden Mas Cokro dapat mengatakan milik siapa!

Sebuah suara yang indah tiada tara muncul di hadapannya, seperti sebuah cahaya yang lembut, lalu cahaya yang lembut itu tampak jelas dalam kegelapan yang berlipat ganda. Dan seluruh jiwanya seketika lenyap dalam kehampaan yang kian tak terjangkau.
Ijah tahu bagaimana Raden Mas Cokro melihat dirinya dari pesona dan dari setiap kata malu-malu yang diterima olehnya atas pujian-pujian yang mendesak dan tak kenal ampun. Dan pada saat itu, suaranya tidak lagi dilontarkan dari kedua bibirnya, pun pesona mata serta wajahnya selalu dibuangnya jauh-jauh. Dan jika ia tertawa, ia tiba-tiba mendiamkannya karena takut suaminya semakin memasukkan pujian-pujian terhadapnya.

Ia merasa bahwa sudah waktunya menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri. Awalnya, Ijah seperti berada dalam siksaan yang kelu, yang benar-benar membuatnya bingung. Ia tak tahu apa yang harus diperbuat. Tapi kemudian cinta telah mengalahkan keragu-raguannya. Hanya cinta? Ia tak lagi mampu untuk menghindarkan tangannya dari tangan Raden Mas Cokro, kala suaminya menyentuh dan menariknya amat dekat.

“Setelah malam itu tidak ada yang bisa saya ceritakan lagi. Malam itu benar-benar menjadi malam paling bahagia bagi kami, pasangan beda jaman. Raden Mas Cokro benar-benar suami yang pengertian.”
(bersambung) [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA