Sebaliknya Ijah, perempuan ini sangat ulet. Semua urusan rumah tangga tak ada yang tak diselesaikannya. Dan ia melakukannya tanpa mengeluh. Begitu pula ketika mengurus Raden Mas Cokro, perempuan ini begitu tabah. Di saat majikannya ngomel-ngomel, ia sabar. Di saat majikannya marah, ia justru menenangkannya. Di saat majikannya tertimpa musibah di tempat kerja, Ijah dengan setia menemani bahkan menghibur. Apapun yang dikatakan dan diperintahkan majikan selalu dilaksanakan Ijah.
Memang, meski Raden Mas Cokro sudah pensiun dari jabatannya sebagai Kolonel Angkatan Laut, tapi oleh negara, dia tetap diberdayakan untuk membantu di PN (Perusahaan Negara) Iglass, sekarang sudah menjadi PT Iglass (Perusahaan Swasta).
Mengingat usianya yang tak lagi muda, pantas jika Raden Mas Cokro mulai sering sakit-sakitan. Rupanya pekerjaan menumpuk telah membuatnya rapuh. Rapuh dalam berpikir, rapuh dalam bertindak.
Dalam hal ini, Ijah-lah yang bertugas mengurusi kehidupan Raden Mas Cokro. Sementara keempat anak-anak Raden Mas Cokro rata-rata sudah menjadi orang besar. Mereka menikah dan kemudian hidup bahagia bersama keluarga masing-masing. Ada yang menjadi dokter, Perwira Angkatan Darat, Perwira Angkatan Laut, dan Perwira Angkatan Udara.
Seiring perjalanan waktu, anak-anak Raden Mas Cokro telah menghilang dari pandangan mata. Mereka jarang berkunjung. Sesekali mereka meluangkan waktu berkunjung, tapi kemudian menghilang lagi. Paling tidak, waktu berkunjung mereka ke rumah ayahnya mulai berkurang. Yang tampak di hadapan Raden Mas Cokro hanyalah kesedihan, kehilangan, serta kesepian.
Dia kini sendiri. Tanpa sanak, tanpa teman. Hanya perawan muda asal Jombang, Ijah yang dengan setia menemani.
Memang selama 25 tahun menyendiri, bukanlah sesuatu yang mudah bagi Raden Mas Cokro. Beruntung kesendiriannya itu terobati dengan keberhasilan seluruh anak-anaknya menjadi orang besar. Tidak sia-sia dia membesarkan mereka.
Hanya saja, yah, lelaki tua tersebut harus menerima kenyataan pahit bahwa suatu hari apa yang dicita-citakan tidak selamanya abadi. Pada saatnya nanti anak-anaknya akan menghilang dari peraduan; menghilang dari dekapan ayahanda. Pergi entah kemana, mungkin sibuk melanjutkan jejak orang tuanya membela negara: berbakti kepada nusa dan bangsa.
Nah, di tengah kesendiriannya itu, Raden Mas Cokro melihat sosok Ijah sebagai satu-satunya orang yang peduli padanya.
Ijah, selain perempuan ini memiliki sifat yang welas asih, ia juga seorang berjiwa besar: pengertian, sabar, dan setia, Dari sini Raden Mas Cokro merasa telah menemukan tambatan hati. Hidupnya yang kosong serasa terobati. Jiwanya yang telah mati seolah-olah hidup kembali. Setelah 25 tahun menduda, kini sudah sepantasnya ia memiliki isteri lagi–seorang ibu yang muda belia serta masih perawan untuk anak-anaknya yang usianya justru lebih tua darinya.
Tidak butuh waktu lama bagi Ijah untuk menjawab permintaan majikannya. Namun justru yang dipertanyakan Ijah adalah garis keturunan yang membentang jauh di antara mereka. Raden Mas Cokro berasal dari darah ningrat. Apakah ini adil bagi gadis desa seperti Ijah untuk menerima pinangan dari seorang berdarah biru? Apakah nanti tidak akan timbul konflik di keluarga? Apa jawaban Ijah…
“Apa yang kamu takutkan Ijah?†Raden Mas Cokro bertanya.
“Saya takut nanti keluarga Tuan marah pada saya. Ijah kan cuma gadis desa. Apalah arti gadis desa bersanding dengan seorang ningrat seperti Tuan.â€
“Mengapa kamu masih memikirkan hal itu. Biarlah itu menjadi urusan saya.â€
“Tapi Tuan…!â€
“Sudahlah Ijah, hapus semua pikiran kotormu itu.â€
“Tapi Tuan…!â€
“Apa kamu mau menikah dengan saya? Apa kamu cinta dengan saya?â€
“Ijah suka dengan Tuan karena Ijah memang suka. Sampai mati pun Ijah akan tetap setia.â€
“Cuma itu yang ingin saya tahu. Saya tidak ingin memaksa kamu untuk menyukai saya.â€
“Tuan tidak memaksa saya.â€
“Berarti kamu menerima pinangan saya?â€
Ijah tidak menjawab, cuma mengangguk.
Rupanya bagi Raden Mas Cokro tidak ada kebangsawanan maskulin ataupun keindahan feminin yang dapat melepaskan diri dari imajinasi cinta manusia. Semakin halus dan semakin ideal kehadiran seorang wanita baginya, atau semakin seorang pria menaruh suasana yang penuh keagungan, bayangan kebahagiaan itu kian bangkit dalam dirinya dengan tidak sangka-sangka.
Oleh karenanya, demi kebahagiaan, demi keabadian jiwanya yang kosong, demi cinta, Raden Mas Cokro rela melepaskan jubah kebangsawanan.
Sekarang, dengan pikirannya yang seperti ini, bayangan Raden Mas Cokro semakin jauh menembus batas-batas yang ada. Dan jatuh cintalah pria kesepian itu pada perempuan desa.
Dia tidak lagi berpikir tentang apa pun, dia tahunya hanya jatuh cinta. Saat dia jatuh cinta; dia segera menjadi seseorang yang lain, menjadi Raden Mas Cokro yang diinginkan orang lain. Padahal dia termasuk jenis orang yang tidak hanya membuat dirinya jatuh ke tangan wanita yang ingin mengubahnya, tapi juga termasuk jenis orang yang membiarkan calon-calon ayah mertuanya, calon-calon iparnya, dan bahkan teman-teman dari keluarga pengantin wanitanya mengubah dirinya.
Kapan saja keinginan kuatnya itu memuncak akan membuatnya dalam keadaan lebur. Dan kemudian, ketika dikatakan menjadi mulai berkurang, dia lambat laun mulai mengental ke dalam bentuknya yang biasa dan kesadaran dirinya menjadi pulih.
“Saya takut jika menikah dengan Raden Mas Cokro, maka banyak orang akan melempari kami dengan kotoran. Maklum, derajat kami memang jauh berbeda. Kami ibarat langit dan bumi. Yang paling saya takutkan justru posisi saya. Apa kata orang, seorang perawan dinikahi kakek-kakek, meski dia seorang pensiunan kolonel. Orang akan menganggap saya cuma wanita matre, mata duitan yang akan mengeruk hartanya. Padahal kalau dipikir, pikiran sesat semacam itu tidak pernah terbesit dalam benak saya. Menikah gara-gara harta, jauh dari pikiran saya. Saya bersedia menikahi Raden Mas Cokro karena murni: cinta.†(bersambung)
[***]
BERITA TERKAIT: