Sementara di dalam pikirannya, muncul bayangan-bayangan yang sangat menyakitkan, kilasan-kilasan visi yang riang dan tak terkatakan. Bahkan semakin lama kilasan tersebut membentuk iring-iringan masa lalu yang tak terbantahkan. Kemudian di dalam dirinya terungkap analogi-analogi tertentu yang tersembunyi, atau dengan tak terduga memperlihatkan perbedaan-perbedaan tertentu yang sangat fantastik dan kocak. Apalagi bila dia mengingat kenangan masa lalu bersama anak-anak serta cucunya. Saat itulah dia akan meledakkan tawa yang tak terkendali.
Kendati demikian, dia sudah tidak memiliki tenaga yang cukup. Untuk mengangkat benda-benda berat atau berjalan saja, otot-ototnya sudah kaku, tak lagi perkasa. Dulu, dia memang seorang yang kuat. Terlebih ketika tugas-tugas negara dibebankan padanya, yang ada hanya: Yes, Sir! Siap, Sir! Ready, Sir! Tapi kini, jangankan menerima perintah, membalas lewat omongan saja sulit. Maka, dia, terpaksa duduk di buritan kursi roda yang menopang hidupnya.
Sementara matanya nampak cekung. Bukti kalau dia kurang tidur. Rupanya peristiwa masa lalu sering menghinggapi dirinya. Sampai-sampai dia sendiri harus merelakan kepentingannya hangus tergerus oleh waktu. Saat pandangannya semakin kabur, banyak orang yang mengatakan itu akibat beban hidup yang terlalu berat menimpanya. Setiap kali melihat masa lalu, dia sendiri tiba-tiba mencucurkan air mata. Saat ditanya, “Mengapa?â€
Dia akan menjawab, “Tidak ada apa-apa. Aku tidak akan mengatakannya.†Semua beban dan kesalahan masa lalu seolah memang harus ditanggungnya.
Dan baru kemarin pensiunan Kolonel Angkatan Laut itu pulang dari dokter. Kata dokter, Raden Mas Cokro terkena diabetes. Tidak parah sih, tapi hal itu tetap mengganggu. Dokter bilang, jantung lelaki tersebut sangat beresiko. Sedikit saja kejadian mengejutkan, dipastikan hidupnya takkan lama. Ini, adalah imbas dari kebiasaan buruknya semasa muda.
Yah, dulu Raden Mas Cokro termasuk perokok berat. Apalagi sepeninggal isteri tercinta, Roro Cipta Soendari, kehidupan Raden Mas Cokro kian tak menentu. Dalam sehari dia bisa menghabiskan berbatang-batang rokok. Anak-anaknya sudah mencoba menghentikan kebiasaan buruk ayahnya, tetap saja dia bergeming. Dan sekarang lihat, dia sendiri yang harus menanggung akibatnya.
“Ijah,†Raden Mas Cokro tiba-tiba berteriak memanggil.
“Injih, Tuan!†Dari dalam terdengar suara langkah kaki terseok-seok menghampiri.
Seorang perempuan keluar. Ia, Ijah. Wajahnya begitu polos. Sederhana dan bersahaja. Parasnya ayu. Lelaki manapun pasti akan menyukai sosoknya yang lembut itu. Dan suasana hati perempuan itu akan menjadi sentimental setiap kali melihat para pria sombong yang diliputi penipuan diri. Tentu ini akan menjadi sebuah bencana.
Dan dengan segera perasaan perempuan tersebut akan melompat ke dalam pikiran Tuannya yang seketika itu menjadi bayangan intim dan kebutuhan-kebutuhan alamiah yang tak pantas, yang juga harus ia patuhi dalam kesehariannya. Saat ia melihat sikapnya sendiri, maka ia pun akan meledakkan tawa nyaring yang tak kenal ampun.
“Ada yang bisa dibantu, Tuan!†Ijah menawarkan diri.
“Ijah, tolong bawa aku jalan-jalan. Aku bosan di rumah.†Raden Mas Cokro membalas dengan renyah.
“Baik, Tuan. Sebentar Ijah ambilkan syal Tuan, biar Tuan tidak kedinginan di luar sana.†Ijah lari masuk ke dalam rumah dan kembali sambil membawa syal berwarna biru tua.
Perempuan muda tersebut kemudian memapah majikannya menuruni anak tangga. Setelah itu, kursi roda baru diturunkan. Sebelum melangkah keluar rumah, Ijah tak lupa membawa sandalnya. Tapi sandal itu telah hilang entah kemana. Mungkin Ijah lupa meletakkannya.
“Hei, sandal, kemana perginya kamu. Pergi kok tidak bilang-bilang?†Ijah bingung.
“Ijah, ayo. Nanti keburu sore.†Di luar sana Raden Mas Cokro memanggil-manggil tidak sabar.
“Maaf, Tuan, anu, Tuan, eh, ini sandal Ijah hilang.â€
“Ya, sudah tidak perlu pake sandal. Begitu sudah cantik kok.â€
Seketika raut wajah Ijah memerah. Ia tidak menyangka akan mendapat pujian dari majikannya.
Perempuan itu buru-buru keluar rumah, dan secepat kilat tangannya menyambar pegangan kursi roda. Karena terburu-buru, Ijah tak sempat berganti pakaian. Pakaiannya saat itu sedikit kumal dan basah. Hanya kemben dengan kain jarik yang menutupi tubuhnya. Pun rambutnya nampak berantak tak sempat digelung. Maklum, ketika dipanggil majikannya, Ijah sedang mencuci pakaian. Melihat rambutnya terurai dan panjang sepunggung, buru-buru ia merapikan. Tapi lagi-lagi ditampik oleh Raden Mas Cokro.
“Sudah, gak usah digelung. Sekali-sekali rambutmu digerai saja. Tambah cantik kok. Biar lelaki kesensem padamu.†Lagi-lagi pujian majikannya membuat Ijah semakin melayang-layang di atas awan.
“Injih, Tuan!â€
Tanpa protes Ijah lantas membawa majikannya jalan-jalan ke luar rumah. Nah, setiap kali Ijah keluar rumah, tidak sedikit para lelaki yang tertarik padanya. Kebanyakan dari mereka adalah Satpol PP dari Kelurahan Darmo. Sebab rumah Raden Mas Cokro terletak di Jalan Setail, berdekatan dengan Kebun Binatang (Bonbin) Surabaya.
Biasanya setiap hari para satpol itu bertugas menjaga sekitar Bonbin, dan mata-mata mereka tanpa pernah lepas dari Ijah. Perempuan itu seolah menjadi pemandangan indah setiap harinya. Pengobat kebosanan. Penghilang kejenuhan. Perindu jiwa-jiwa yang kosong. Sakit, stress, penat, akan hilang bila sudah melihat Ijah.
Begitu pula bila hari menjelang sore, seperti sudah menjadi rutinitas para lelaki, mereka menyiapkan tempat duduk di depan rumah Raden Mas Cokro untuk menyambut sang pujaan. Beberapa malah diam-diam menaruh hati padanya, dengan cara mengirim surat cinta.
Begitu banyak surat cinta dan ungkapan kasih dikirimkan ke Ijah, tetapi tak satu pun surat berbalas. Dirinya terlalu muda untuk memulai suatu hubungan serius. Usianya saja masih 17 tahun. Belum lagi ia masih harus memikirkan kehidupan keluarga di Jombang. Ijah sendiri adalah tulang punggung keluarga. Uang gajian setiap bulan tak pernah telat dikirim ke Jombang. Untuk saat ini hidupnya hanya terfokus pada pekerjaan.
Namun, pada hari ini, tepatnya 10 November 1980, merupakan hari yang tidak biasa bagi Ijah. Saat ia mengantar majikannya jalan-jalan, tiba-tiba Raden Mas Cokro berkata padanya:
“Ijah, kamu kan sudah lama ikut bapak!â€
“Inggih, Tuan!â€
“Sudah berapa tahun?†Raden Mas Cokro bertanya memastikan.
“Dua tahun, Tuan!†Ijah menjawab dengan gugup. Jangan-jangan ia akan dipecat karena tidak becus menyelesaikan tugas-tugasnya.
“Selama dua tahun ini apa sudah ada pria di hatimu?â€
“Ah, Tuan ini pertanyaannya aneh.â€
“Ada atau tidak?â€
“Belum, Tuan.â€
“Mengapa belum ada. Bukankah banyak pria yang menaruh hati padamu. Lihat pria-pria itu, setiap hari mereka selalu nongkrong di sini hanya untuk melihatmu.â€
“Saya masih belum siap, Tuan. Saya masih masih ingin bantu-bantu di sini. Lagipula kalau Ijah menikah nanti, lalu siapa yang akan mengurus Tuan.â€
“Mengapa kamu memikirkan saya?â€
“Karena Ijah sudah terlanjur setia pada Tuan.â€
“Kamu tidak memikirkan kebahagiaanmu sendiri!â€
“Itu sudah tanggung jawab saya, Tuan.â€
“Kalau begitu apa kamu mau menjadi isteri saya?â€
“Permintaan Raden Mas Cokro saat itu benar-benar menusuk hati saya. Saya tidak menyangka bakal dipersunting beliau. Padahal usia beliau dengan saya terpaut sangat jauh. Waktu itu saya berusia 17 tahun, sedang beliau 67 tahun. Saya lebih pantas jadi cucunya ketimbang isteri atau anaknya. Jawaban saya…†(bersambung)
[***]
BERITA TERKAIT: