Pengusutan kasus mafia atau maling pulsa mandeg. Berkas perkara tiga tersangka perkara ini tidak kunjung lengkap. Padahal, mereka telah ditetapkan sebagai tersangka sejak awal Maret 2012.
Menurut Kepala Pusat PeneÂraÂngan dan Hukum Kejaksaan Agung M Adi Toegarisman, jaksa penuntut umum (JPU) belum bisa melakukan proses penuntutan terhadap para tersangka kasus ini, sebab berkas perkara mereka masih belum lengkap.
“Untuk dua tersangka, sudah enam kali jaksa peneliti meÂngemÂbalikan berkasnya ke penyidik keÂpolisian. Sedangkan, tersangka yang satu lagi sudah tiga kali dikembalikan. Banyak petunjuk yang belum dilengkapi,†ujar Adi di Gedung Kejaksaan Agung, JaÂlan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan pada Selasa, 6 November.
Adi menjelaskan, dua tersangÂka yang berkasnya enam kali diÂkembalikan ke kepolisian adalah atas nama NHB (Nirmal Hiro BarÂwani) selaku Direktur Utama PT Colibri Network dan KP (KrisÂnawan Pribadi) selaku Wakil DiÂrektur PT Telkomsel. “PeÂngemÂbalian berkas untuk keenam kalinya kepada penyidik kepoliÂsian, telah kami lakukan pada 9 Oktober lalu,†katanya.
Berkas yang dikembalikan itu, lanjut Adi, juga masih berisi seÂjumlah petunjuk dari jaksa peÂneliti yang mesti dilengkapi peÂnyidik kepolisian. “Kami akan tunggu sampai petunjuk itu diÂlengÂkapi,†ujar bekas Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ini.
Untuk berkas tersangka yang ketiga, atas nama WMH (Windra Mai Harianto) selaku Direktur UtaÂma PT Media Play dikemÂbalikan untuk ketiga kalinya pada hari yang sama. “Untuk berkas WMH, dikembalikan juga, yang ketiga kalinya,†ucapnya.
Berkas ketiga tersangka itu diÂbuat secara terpisah. Petunjuk yang diberikan jaksa peneliti pun diÂsampaikan secara terpisah. “BerÂkas berbeda dengan tersangÂka yang berbeda, displit,†ujar beÂkas Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau ini.
ÂKetika ditanya, mengapa peÂnangaÂnan kasus ini begitu lama, Adi menyatakan bahwa pihaknya tetap menunggu kelengkapan berkas dari penyidik kepolisian. “Kami tetap berpegang pada keÂtentuan dan mekanisme hukum. Jika petunjuk yang diberikan jaksa belum lengkap, tentu belum bisa naik ke penuntutan. Jadi, masih di kepolisian,†katanya.
Sebagai latar, kepolisian meneÂtapkan tiga tersangka kasus penÂcurian pulsa. Ketiganya disangka punya peran penting dalam kasus penyedotan pulsa konsumen.
Seperti pernah dijelaskan Boy Rafli Amar saat menjabat Kepala Bagian Penerangan Umum Polri, tiga tersangka itu adalah KP selaÂku Vice Presiden Digital Music Content Management PT TelÂkomsel. Tersangka kedua adalah NHB selaku Direktur PT Colibri Network. Tersangka ketiga berÂinisial WMH sebagai Direktur PT Mediaplay.
Ketiga tersangka itu adalah penandatangan perjanjian kerjaÂsama antara Telkomsel deÂngan peÂrusahaan penyedia layÂaÂnan content provider.
Boy menambahkan, KP diteÂtapÂkan sebagai tersangka pada 8 Maret 2012. Sedangkan status dua tersangka lainnya ditetapkan penyidik pada 6 Maret 2012.
Dia menjelaskan, ketiga terÂsangÂka diduga melanggar PaÂsal 62 juncto Pasal 9 Undang UnÂdang Nomor 8 Tahun 1999 tenÂtang Perlindungan KonÂsuÂmen, PaÂsal 28 juncto Pasal 45 Undang UnÂdang Nomor 11 taÂhun 2008 tenÂtang ITE, serta PaÂsal 362 dan 378 KUHP. “Masuk kategori peÂlangÂgaran berlapis,†tandas Boy yang saat itu masih berpangkat Kombes.
Kabareskrim Komjen SutarÂman juga pernah menjadi korban pencurian pulsa. Ia mengaku perÂnah mendapat ringtone dangdut, tanpa memesan. “Saya pernah diÂhubungi kok ringtone saya dangÂdutan, padahal saya cek sendiri saya tidak pernah mendaftar. Itu kalau sebulan tidak di unreg akan terus diperpanjang,†keluhnya.
Menurutnya, masyarakat tidak akan menyadari pencurian pulsa. Sementara pulsanya terus terÂpotong. “Walaupun sebulan haÂnya Rp 6 ribu, tapi kalau yang langÂganan 10 juta, itu banyak sekali. Itu baru ringtone, belum yang ingin mendapatkan jodoh,†ujar Sutarman.
Reka Ulang
“Maaf, Sistem Sedang Bermasalahâ€
Kepala Bareskrim Polri KomÂjen Sutarman mengaku, kasus pencurian pulsa konsumen ini, masih ditangani pihaknya.
Tapi, dia beralasan, jajarannya butuh waktu untuk menjelaskan kepada jaksa, sehingga jaksa yakin bahwa para tersangka melakukan tindak pidana. “Kalau jaksa sudah yakin, hakim akan yakin,†katanya di Gedung DPR, Jakarta, awal Juni 2012.
Hal itu disampaikan Sutarman unÂtuk menanggapi kecurigaan, apakah perkara yang merebak sejak Oktober 2011 ini, diam-diam dihentikan penangananÂnyaÂ. Saat itu, Sutarman juga meÂnamÂpik bahwa penanganan kasus ini lambat.
“Kasus ini, barang bukÂtinya adalah elektronik. Tempat dan waktu terjadinya tindak pidaÂna ada di server besar itu. Saya perÂnah ibaratkan, seperti meÂnangÂkap lalat di hutan Amazon. Saya tidak boleh keliru, kalau keliru, saya bisa mengambil data seseorang atau perusahaan,†ujarnya.
Pada kesempatan yang berÂbeda, Sutarman menanggapi poÂsitif semua petunjuk jaksa peÂneÂliti. Namun, dia menolak memÂbeÂberkan substansi petunjuk jakÂsa yang belum dipenuhi penyidik Bareskrim. Hanya, Sutarman mengakui, banyak substansi yang harus dipenuhi polisi.
Selain berupaya memenuhi peÂtunjuk kejaksaan, Sutarman meÂnambahkan, jajarannya juga meÂngembangkan kemungkinan keterÂlibatan operator lain. Seperti dikeÂtahui, kepolisian telah meÂnetapkan tiga tersangka kasus ini. Tapi, beÂlum ada tersangka dari operator telepon seluler selain Telkomsel.
Kasus pencurian pulsa antara lain dilaporkan konsumen berÂnama Feri Kuntoro. Dia mengadu ke Markas Polda Metro Jaya pada 4 Oktober 2011.
Feri merasa dirugikan karena harus membayar tagihan pasca bayar hingga ratusan ribu rupiah setelah registrasi undian berÂhaÂdiah melalui SMS premium ke noÂmor 9133. Registrasi itu diduÂga menjerat Feri. Dia sering meÂnerima SMS berupa informasi seÂputar artis dan nada dering. Setiap kali menerima SMS dari nomor itu, pulsa Feri terpotong tanpa persetujuan.
Feri mengaku telah berusaha menghentikan layanan SMS deÂngan mengetik unreg dan mengiÂrimkannya ke nomor tersebut. Namun, usahanya itu selalu gagal dan ia hanya mendapat jawaban “Maaf, sistem sedang berÂmaÂsaÂlah, silakan ulangi lagiâ€.
Lantaran terus-menerus menÂdaÂpatkan jawaban senada, Feri kemudian mengadukan masalah ini ke Grapari Telkomsel di GamÂbir, Jakarta Pusat. Namun, kata dia, jawaban petugas di sana kuÂrang memuaskan. Akhirnya, Feri melaporkan kasus tersebut ke MarÂkas Polda Metro Jaya.
Kasus tersebut kemudian diÂambil alih Mabes Polri. Soalnya, laporan mengenai penyedotan pulsa terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. “Kasus ini buÂkan hanya terjadi di lingkup Polda Metro, tapi juga di daerah lain, sehingga kami ingin penyeÂliÂdikannya satu pintu, dilakukan Mabes Polri,†ujar Kabidhumas Polda Metro Jaya saat itu, KomÂbes Baharudin Djafar.
Penanganan oleh Mabes Polri, diharapkan mampu menekan beda argumen antar penyidik polÂda-polda, sehingga langkah peÂnyiÂdikan, penerapan pasal, duÂgaÂan kerugian konsumen serta peÂnunÂtasan kasus ini bisa berjalan searah.
Pelimpahan perkara ini ke MaÂbes juga untuk memudahkan koorÂdinasi Polri dengan lembaga tinggi negara lain seperti KemenÂterian Komunikasi dan InforÂmaÂtika serta Panja Mafia Pulsa DPR. Kendati begitu, kasus ini mandeg. Soalnya, para tersangka kasus ini tak kunjung naik ke penuntutan.
Mesti Ada Kepastian Proses Hukum
Alvon Kurnia Palma, Direktur YLBHI
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma menyampaikan, para tersangka kasus pencurian pulsa bisa seÂgeÂra dibawa ke proses peÂnunÂtutan bila penyidik kepolisian serius memenuhi petunjuk jaksa peneliti.
Bila berlama-lama atau tidak mampu melengkapi petunjuk terÂsebut, kepolisian bisa dinilai tidak kuat dalam melakukan penyidikan terhadap para terÂsangka kasus mafia pulsa. BahÂkan, masyarakat bisa curiga, ada apa di balik mandeknya peÂnanganan kasus ini.
“Ini sangat tergantung legal annotation dari kejaksaan. Apa saja yang diminta dalam legal annotation tersebut, ya harus diÂlengkapi kepolisian,†katanya.
Proses bolak-balik berkas dari kejaksaan kepada kepoliÂsan ini disebut P19, tapi tidak ada batasan waktu dan kuantitas tentang berapa kali harus diÂperÂbaiki. Kendati begitu, menurut Alvon, harus ada kepastian daÂlam proses hukum.
“Ini mÂeÂrupakan suatu keleÂmahan dalam KUHAP kita, jaÂdiÂnya bisa berlindung pada keÂlemahan itu,†katanya.
Sebaliknya, Alvon juga meÂngingatkan, apabila penyidik keÂpolisian telah melengkapi bukÂti-bukti dan saksi yang diÂdapat secara sah untuk meÂruÂmuskan dakwaan dan pasal untuk penuntutan, maka wajib bagi kejaksaan untuk segera meÂnerima pelimpahan ini. “Dan, melanjutkannya ke peÂnunÂtutan,†tandas dia.
Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah, para tersangka kasus maling pulsa ini tidak ditahan. Padahal, kasus ini ditengarai merugikan masyarakat luas. Tidak adanya penahanan itu, menurut Alvon, menimbulkan persoalan.
“Itu masalah serius, mengapa tidak ditahan. Lantaran itu, peÂnanganan kasus ini patut diÂcurigai,†ujarnya.
Masyarakat Curiga Kenapa Mandek
Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menilai, proses pelengkapan berkas terÂsangka agar segera P21, buÂkanÂlah hal yang sangat sulit. SoalÂnya, penyidik sudah memiliki bukti dalam melakukan peneÂtaÂpan tersangka.
Jika petunjuk itu tidak kunÂjung dipenuhi, maka kinerja peÂnyidik dan para pimpinannya daÂpat dipertanyakan. Bahkan, masyarakat akan curiga, kenapa kasus tersebut mandek. “Saya meÂnyampaikan prihatin atas kinerja kepolisian dalam menaÂngani kasus ini,†ujarnya.
Makanya, Eva meminta keÂpoÂlisian melakukan peÂngaÂwaÂsan internal dan mengevaluasi kinerja mereka dalam peÂnaÂngaÂnan perkara seperti ini. “SeÂpaÂtutÂnya, Bareskrim melakukan evaluasi, kenapa berkas para tersangka kasus ini tak kunjung lengkap,†saran politisi PDIP ini.
Apabila tidak ada langkah maju, menurut Eva, maka KoÂmisi Hukum DPR akan meÂlaÂkuÂkan fungsinya memanggil dan mengawasi aparat hukum, termasuk para pimpinan keÂpoÂlisian. “Jika tetap berlarut-larut, maka Komisi III bisa meminta Polri untuk melakukan gelar perÂkara dalam rapat kerja deÂngan kami. Ini sebagai bagian dari pengawasan,†tandasnya.
Eva juga melontarkan kecuÂriÂgaannya, mengapa Bareskrim Polri tidak bisa cekatan melengÂkapi berkas para tersangka kaÂsus mafia pulsa.
“Tidak seÂhaÂrusÂnya berlama-lama dalam melengkapi berkas itu, karena petunjuknya sudah spesifik,†katanya.
Peneliti Konsorsium ReforÂmasi Hukum Nasional Arifin Firmansyah juga meÂngiÂngatÂkan, penanganan perkara mafia pulsa hendaknya tak sekadar boÂlak-balik kepolisian-kejakÂsaÂan, tapi mesti bergulir ke pengadilan.
Hal lain yang menjadi perhaÂtianÂnya adalah keterbukaan. Jika materi berkas perkara diÂanggap masih kurang, henÂdakÂnya kepolisian dan kejaksaan mau membukanya secara gamÂblang. Dari keterbukaan itu, kata Arifin, masyarakat akan mendapatkan gambaran, belum lengkapnya perkara tersebut seperti apa. Soalnya, ketertuÂtuÂpan membuat publik kerap cuÂriga dan sinis. “Jangan salahkan publik jika ada penilaian miring seperti yang terjadi selama ini,†ucapnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: