JPU Minta Duit Kasus Alkes Dikembalikan Ke Negara

Rustam Pakaya Dituntut Lima Tahun Penjara

Rabu, 07 November 2012, 09:10 WIB
JPU Minta Duit Kasus Alkes Dikembalikan Ke Negara
Rustam Syarifuddin
rmol news logo Jaksa penuntut umum (JPU) meminta orang-orang yang terkait perkara Rustam Syarifuddin Pakaya mengembalikan dana yang pernah diterima. Jaksa tak segan-segan mengeksekusi paksa aset yang diperoleh dari hasil korupsi proyek alat kesehatan di Kementerian Kesehatan itu.

Ketegasan jaksa disam­pai­kan saat pembacaan tuntutan un­tuk terdakwa bekas Kepala Pusat Penanggulangan Krisis (KPPK) Kementerian Kesehatan (Kemen­kes) Rustam Syarifuddin Pakaya, kemarin, di Pengadilan Tindak Pi­dana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Jaksa Iskandar Marwanto me­nya­takan, nama-nama yang me­ne­ri­ma aliran dana korupsi ini, ter­can­tum dalam surat dakwaan Rustam.

Dalam dakwaan, jaksa me­nyinggung adanya aliran dana ke be­kas Menteri Kesehatan Siti Fa­dilah Supari Rp 1,275 miliar, ELS Mangundap Rp 850 juta, Amir Syamsuddin Ishak Rp 100 juta, Mediana Hutomo dan Gunadi Soe­kemi Rp 100 juta, Tan Suhar­tono Rp 150 juta, Tengku Luck­man Sinar Rp 25 juta, PT Ind­o­farma Global Medika Rp 1,763 miliar dan PT Graha Ismaya Rp 15,226 miliar.

Nama-nama tersebut, sam­bung­nya, diminta segera me­ngem­balikan dana yang terkait per­kara Rustam Pakaya. “Meme­rintahkan perampasan terhadap ke­kayaan atau uang yang diper­oleh dari hasil kejahatan tindak pi­dana korupsi untuk dikem­ba­li­kan ke kas negara,” ujar Iskandar.

Jaksa memasang target pe­ngembalian uang tersebut satu bu­lan setelah putusan terhadap Rustam berkekuatan hukum te­tap. Jika tidak mematuhi hal ini, jaksa tidak segan menyita harta benda mereka.

Jaksa Kiki Yani menambahkan, keputusan penyitaan tersebut, berdasarkan keyakinan bahwa aset itu diperoleh terkait perkara Rustam. Apalagi pada tuntutan­nya, jaksa menyatakan bahwa tin­dakan terdakwa dilakukan secara sengaja untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain.

Rustam didakwa memperkaya diri sendiri sebesar Rp 2,47 mi­liar. Usaha memperoleh dana tersebut, kata jaksa diperoleh de­ngan cara tidak sah. Bekas Di­rek­tur Rumah Sakit Kanker Dhar­mais ini, didakwa sengaja me­nga­tur proses pengadaan alat pe­nanggulangan krisis di Kemenkes dengan me­nga­rahkan pada merk tertentu.

“Perbuatan terdakwa dilakukan dengan mengajukan beberapa usul revisi paket, sehingga waktu pe­ngerjaan sempit dan proses pengerjaan jadi tidak efisien,” katanya.

Akibat tenggat waktu yang sempit tersebut, perusahaan lain tidak mendapatkan kesempatan mengikuti tender pengadaan pro­yek tersebut. Jaksa me­nyim­pul­kan, sejak awal tender di­lak­sa­na­kan, terdakwa sudah punya niat menyimpang. Alasan itu didasari analisa yuridis jaksa berikut hasil pemeriksaan saksi-saksi.

Dari seluruh rangkaian analisa yuridis itu, jaksa berkeyakinan Rustam terbukti melanggar Pasal 2 Ayat 1 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi. Karena itu, jaksa menuntut Rustam lima tahun penjara. Selain hukuman penjara, jaksa juga menuntut terdakwa membayar denda Rp 250 juta subsider kurungan enam bulan penjara, berikut membayar uang pengganti Rp 2,4 miliar.

“Jika terdakwa tidak sanggup membayar denda, kami meminta hakim agar menambah masa hu­ku­man terdakwa tiga tahun pen­jara,” imbuhnya.

Menanggapi tuntutan jaksa ini, terdakwa Rustam sempat ter­ce­ngang. Dia tampak menghela na­fas panjang. Kendati begitu, Rus­tam tidak mau menyampaikan apa saja keberatan yang bakal dia ajukan pada sidang berikutnya. “Saya pasrahkan putusan pada ha­kim. Kita lihat perkembangan nan­ti saja,” ujarnya.

Reka Ulang

Tercantum Dalam Surat Dakwaan Rustam

Kuasa hukum bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Yusril Ihza Mahendra me­nya­ta­kan, karena telah menyebut se­jum­lah orang menerima uang da­lam kasus korupsi alat kesehatan, maka jaksa penuntut umum (JPU) harus membuktikannya.

“Buktikan saja, benar atau ti­dak. Kalau tidak bisa dibuk­ti­kan, mereka bisa dituntut balik,” kata­nya dalam suatu kesempatan ke­pada Rakyat Merdeka.

Nama Siti sebagai salah satu pe­nerima uang kasus alkes, ter­tulis dalam dakwaan JPU terha­dap bekas Kepala Pusat Pe­nang­gulangan Krisis Kementerian Kesehatan Rustam Syarifuddin Pakaya. Rustam menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Ka­mis, 9 Agustus lalu.

Rustam didakwa memperkaya diri sendiri, suatu perusahaan dan orang lain, sehingga me­nim­bulkan kerugian negara sekitar Rp 22 miliar dalam pengadaan alat kesehatan untuk Pusat Pe­nanggulangan Krisis pada tahun anggaran 2007. Persisnya, nilai ke­rugian negara itu Rp 22,051 miliar.

Dalam dakwaan, JPU Agus Sa­lim dkk menyebut Rustam memperkaya diri sendiri sebesar Rp 2,47 miliar, bekas Menteri Ke­sehatan Siti Fadilah Supari Rp 1,275 miliar. Selanjutnya, ELS Mangundap Rp 850 juta, Amir Syamsuddin Ishak Rp 100 juta, Mediana Hutomo dan Guna­di Soekemi Rp 100 juta, Tan Su­har­tono Rp 150 juta, Tengku Luck­man Sinar Rp 25 juta, PT In­dofarma Global Medika Rp 1,763 miliar dan PT Graha Ismaya Rp 15,226 miliar.

Saat dikonfirmasi, bekas Men­teri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengaku tidak pernah menerima uang terkait kasus itu. “JPU mendakwa Rustam dengan me­nye­but memberi uang ke saya sejumlah itu. Saya tidak mengerti itu. Saya tidak pernah terima uang,” ujarnya ketika dihubungi Rakyat Merdeka.

Selanjutnya, Siti meminta agar dakwaan yang dialamatkan ke­pada Rustam tidak dikait-kaitkan kepada dirinya. “Saya mem­ban­tah dakwaan bahwa saya m­e­ne­rima uang itu. Saya tidak tahu me­nahu soal aliran dana itu,” ujar anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini.

Yang pasti, menurut jaksa KPK, Rustam melanggar Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 Undang Un­dang Pemberantasan Tindak Pi­dana Korupsi. Ancaman hu­ku­man maksimalnya 20 tahun pen­jara dan denda Rp 1 miliar. Ken­dati begitu, dalam sidang ke­ma­rin, JPU hanya menuntut Rustam lima tahun penjara.

Sebelumnya, Siti sudah ber­kali-kali diperiksa penyidik KPK sebagai saksi kasus alkes yang berbeda-beda, dengan tersangka yang berbeda-beda pula. Tapi, para tersangka itu adalah bekas anak buahnya. Setidaknya, Siti su­dah enam kali dimintai ke­te­ra­ngan sebagai saksi di Gedung KPK.

“Pemeriksaan hari ini sebagai saksi untuk Ibu Ratna Umar ter­kait APBNP 2007. Sebelumnya, saya menjadi saksi bagi beliau dari kasus APBN 2006. Memang saya menterinya waktu itu, dan harus ada yang diterangkan,” ujar Siti setibanya di Gedung KPK pada pagi hari, 7 Februari lalu.

Ratna Dewi Umar adalah bekas Direktur Bina Pelayanan Medik yang menjadi tersangka kasus pengadaan alat kesehatan tahun 2006 dan 2007.

Siti mengaku rela memberikan penjelasan berkali-kali kepada penyidik, mengenai perkara-per­kara korupsi yang telah menyeret sejumlah bekas anak buahnya men­jadi tersangka itu. Bekas anak buah Siti itu berasal dari ese­lon dua dan eselon tiga Ke­men­kes.

“Saya datang ke sini berkali-kali, kasusnya berbeda-beda. Kira-kira tujuh kasus. Satu-satu saya harus memberikan konfir­masi dan kla­rifikasi,” ujarnya.

Dukung Pengembalian Kerugian Negara

Syarifuddin Suding, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Suding meminta pengusutan perkara korupsi pe­ngadaan alat kesehatan (alkes) dilakukan secara hati-hati. Soal­nya, silang sengketa keterangan saksi maupun terdakwa masih terjadi dalam sidang kasus ini.

Namun, dia meyakini, para ha­kim kasus ini memiliki stan­dar penilaian dalam me­nye­le­sai­kan rangkaian persidangan. Baik yang meliputi analisa ke­te­rangan terdakwa, saksi sam­pai pada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). “Mereka memi­li­ki kemampuan menggali fak­ta-fakta dan bukti-bukti yang di­perlukan,” kata anggota DPR dari Partai Hanura ini, kemarin.

Karena itu, dia meminta se­mua pihak menyerahkan sep­e­nuh­nya putusan kepada majelis hakim. Cara yang paling ideal dalam mendukung kinerja dan obyektifitas hakim, katanya, bisa dilakukan dengan mem­be­rikan keterangan yang benar. “Bukan malah menciptakan alibi-alibi yang menyesatkan,” tandasnya.

Syarifuddin menambahkan, tuntutan jaksa juga harus men­da­patkan dukungan, selama tun­tutan itu ditujukan untuk ke­pentingan mengembalikan ke­rugian keuangan negara. “Hal itu memang harus dike­de­pan­kan,” ucapnya.

Kendati begitu, dia me­ngi­ngatkan, tuntutan agar orang-orang tertentu mengembalikan uang yang diduga terkait kasus alkes, harus dilaksanakan se­cara hati-hati. Dia bilang, untuk menyikapi hal ini, jaksa harus me­mastikan apa kapasitas orang-orang yang disebut mem­peroleh uang tersebut dalam kasus ini.

Apabila, jaksa tidak berhasil menunjukkan bukti-bukti keter­li­batan orang-orang yang di­minta mengembalikan uang itu, tentu penyitaan aset juga akan menemukan kendala. “Mereka pasti bertahan. Berusaha me­mas­tikan dirinya tidak terlibat per­kara korupsi, sehingga me­reka juga mempertahankan aset mereka,” tandasnya.

Jangan Timbulkan Persoalan Baru

Neta S Pane, Koordinator Presidium IPW

Koordinator Presidium LSM Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane meminta ha­­kim cermat menyikapi tuntu­tan jaksa.

Penegak hukum, lanjut Neta, hendaknya mampu menetapkan status hukum seseorang se­hing­ga bisa melakukan tindakan hu­kum secara proporsional. Me­nurutnya, janggal apabila pe­nyi­taan aset dilakukan dari ta­ngan orang-orang yang hanya berstatus saksi kasus alkes ini.

“Penyitaan aset itu idealnya dari para pelaku atau terpidana sebuah kasus. Itu pun harus di­da­sari pedoman eksekusi. An­tara lain, status hukum sudah incraht atau seseorang sudah di­jatuhi vonis yang bekekuatan hu­kum tetap,” katanya.

Jadi, menurut Neta, penegak hukum idealnya terlebih dahulu memproses sangkaan keterli­batan orang-orang yang diduga mendapat kucuran dana dari terdakwa Rustam Pakaya.  

“Te­tap­kan mereka sebagai tersang­ka, lalu proses hukum sesuai pro­sedur yang ada ter­lebih da­hulu,” tandasnya.

Apabila telah resmi menyan­dang status terpidana, penyitaan aset baru bisa dilakukan. Jika penegak hukum, takut atau kha­watir mereka menghilangkan atau menyembunyikan asetnya, langkah yang paling ampuh adalah memblokir aset.

“Pem­blokiran aset ini juga sebagai upaya agar orang-orang yang diduga terkait sebuah ke­jahatan, tidak bisa mengakses aset yang dimilikinya.”

Umumnya, tambah dia, pemblokiran aset dilakukan manakala seseorang berstatus tersangka. Oleh sebab itu, dia menyarankan agar usaha pemblokiran dan penyitaan aset di­lakukan sesuai ketentuan hu­kum yang ada. Hal itu di­lak­sa­nakan agar tidak menimbulkan persoalan baru, seperti gugatan dari pihak yang asetnya disita.

Dia menggarisbawahi, per­soa­­lan penyitaan aset hen­dak­nya dil­akukan secara terpadu. De­ngan pengawasan yang ke­tat, dia mengharapkan, kerugian negara tidak semakin besar. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA