Bekas Sesditjen Pajak Ditahan Karena Kasus Pengadaan Sisinfo

Berkas Bawahannya Dilimpahkan Ke Pengadilan

Selasa, 23 Oktober 2012, 09:10 WIB
Bekas Sesditjen Pajak Ditahan Karena Kasus Pengadaan Sisinfo
ilustrasi/ist
rmol news logo .Perkara korupsi pengadaan Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak yang kerap disebut sebagai kasus Sisinfo atau SIDJP, kembali bergulir.

Berkas tersangka Riza Noor Ka­rim, bekas Direktur IT Ditjen Pa­jak Kanwil Jakarta, sudah di­limpahkan kejaksaan ke Penga­dil­an Tipikor Jakarta. “Berkas per­kara atas nama RNK dilim­pah­kan ke Pengadilan Tipikor pa­da Jumat 19 Oktober,” kata Ke­pala Pusat Penerangan Hukum Ke­­jaksaan Agung Adi Toe­ga­risman, kemarin.

Menurut Adi, RNK akan di­dak­wa melanggar Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 Undang Undang Tin­dak Pidana Korupsi. “Kami se­dang menunggu jadwal per­si­dang­an dari pengadilan,” katanya.

Sementara itu, penyidik pidana khusus Kejaksaan Agung akhir­nya menahan bekas Sekretaris Di­rektorat Jenderal Pajak Ach­mad Syarifuddin Alsjah (ASA) di Rumah Tahanan Salemba cabang Kejaksaan Agung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan.

Sebelum ditahan, bekas pejabat teras Ditjen Pajak itu terlebih da­hulu diperiksa di Gedung Bun­dar, Kejaksaan Agung. “Tersangka ASA diperiksa sebagai tersangka. Se­usai diperiksa, dia langsung dita­han,” kata Adi, Kamis lalu (18/10).

Syarifuddin memenuhi pang­gilan penyidik sejak pukul 10 pagi. “Pada pukul 12.30, seusai pemeriksaan, sesuai saran dan kebutuhan penyidik, ASA ditahan selama 20 hari, terhitung sejak 18 Oktober sampai 6 November 2012,” jelas Adi.

Syarifuddin ditahan berda­sar­kan Surat Penahanan Nomor 37/10/2012 tertanggal 18 Oktober 2012. Dia disangka melanggar Pa­sal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi.

Adi berharap, tersangka ASA segera naik ke tahap penuntutan, mengikuti jejak para tersangka terdahulu dalam kasus ini, seperti RNK. “Mudah-mudahan segera naik ke penuntutan juga,” ujar bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Ke­pulauan Riau ini.

Berkas tersangka RNK di­nya­takan lengkap (P21) dengan No­mor B-46/F.3/Ft.1/09/2012, ter­tang­gal 21 September 2012. “Sudah dilimpahkan pada Senin 8 Oktober lalu. Pelimpahan tahap dua ini, diserahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan,” ujar Adi.

RNK disangka merekayasa le­lang dengan memenangkan PT Berca Hardaya Perkasa (PT BHP) milik Murdaya Poo. Pe­nyidik sudah pernah mengorek ke­terangan suami Hartati Mur­daya itu sebagai saksi. Namun, tidak ada kabar perkem­bang­an­nya. “Belum ada pemeriksaan lan­jutan dari penyidik,” alasan Adi.

Dalam perkembangan penyi­dikan, Kejagung menemukan se­bagian barang dalam pengadaan senilai Rp 43 miliar ini, tidak se­suai spesifikasi yang telah ditentukan. Ada pula yang fiktif. Singkat cerita, menurut sangkaan Kejaksaan Agung, pengadaan itu menyesuaikan dengan penawaran PT BHP.

Penyidikan yang dilakukan Ke­jaksaan Agung ini merupakan tindak lanjut dari laporan Badan Pe­meriksa Keuangan (BPK). Da­lam audit proyek tersebut, BPK menemukan kejanggalan sekitar Rp 12 miliar.

RNK didakwa dengan dak­wa­an primair Pasal 2 Ayat (1) jo Pa­sal 18 Ayat (1) b Undang Undang Tindak Pidana Korupsi, junto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Dakwaan subsidair, Pasal 3 jo Pa­sal 18 Ayat (1) b Undang Undang Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.

Sejauh ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan enam tersang­ka, yakni Ketua Panitia Lelang Ba­har, Pejabat Pembuat Komit­men (PPK) Pulung Soekarno, Direktur PT BHP Lim Wendra Ha­lingkar, Direktur PT BHP Mic­hael Surya Gunawan, bekas Di­rek­tur IT Perpajakan Kanwil Ja­karta Khusus Riza Noor Karim dan bekas Sekretaris Ditjen Pajak Achmad Syarifuddin Alsjah. Para tersangka itu juga dituduh Keja­gung melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 tentang Pe­nga­daan Barang dan Jasa.

Reka Ulang

Vonis Hakim Untuk Bahar Dan Pulung

Majelis hakim Tipikor Jakarta memvonis Ketua Panitia Lelang Bahar dan Pejabat Pembuat Ko­mit­men Pulung Soekarno ber­salah dalam kasus korupsi pe­ngadaan Sistem Informasi (Sisinfo) di Ditjen Pajak.

Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Jumat, 21 Sep­tember lalu, Bahar dijatuhi hu­kuman tiga tahun penjara dan Pu­lung dua tahun penjara di­po­tong masa penahanan. Kedua ter­dakwa juga didenda Rp 50 juta juga sub­sider kurungan tiga bulan.

Dalam putusan, Ketua Majelis Ha­kim Suhartoyo menyatakan, dua terdakwa itu secara sah dan me­yakinkan menguntungkan orang lain, sehingga merugikan ke­uangan negara. Menurutnya, Bahar dan Pulung terbukti me­lakukan tindak pidana korupsi se­bagaimana dakwaan subsider, Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP.

Seperti diketahui, kasus ini ber­mula ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ke­janggalan Rp 12 miliar dalam pro­yek pengadaan sistem infor­ma­si yang menelan anggaran Rp 43 miliar. Dalam proses pelak­sa­na­an proyek, menurut dakwaan, ter­jadi kecurangan berupa pe­ru­bahan spesifikasi teknis. Peru­bah­an itu menyesuaikan pena­war­an dari salah satu peserta lelang, yaitu PT Berca Hardaya Per­kasa (BHP) milik pengusaha Murdaya Poo yang menjadi pe­menang lelang.

Jaksa penuntut umum (JPU) me­nuntut agar majelis hakim me­nyatakan Bahar dan Pulung ter­bukti bersalah melakukan korupsi se­cara bersama-sama. Menurut JPU, Bahar dan Pulung mela­ku­kan perbuatan yang dinyatakan dalam dakwaan ke satu primer, yang menjerat keduanya dengan Pa­sal 2 ayat 1 jo Pasal 18 huruf b jo Undang Undang Tipikor dan Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Tapi, di mata majelis hakim, dakwaan primer itu tidak terbukti. “Atas tun­tutan primer, kedua terdakwa dinyatakan tidak bersalah,” kata Suhartoyo.

Dalam pertimbangannya, ma­jelis hakim tidak menggu­nakan hasil audit BPK sebagaimana yang diajukan JPU, tapi Laporan Pe­meriksaan Tindak Lanjut Ter­hadap Hasil Pemeriksaan BPK Nomor 43/LHP/XV/02/2009 tentang Hasil Pemeriksaan Atas Aset Tetap dan Kegiatan Belanja Tahun Anggaran 2005 dan 2006 pada kantor pusat Ditjen Pajak.

Berdasarkan audit fisik, dite­mu­kan kerugian negara bukan Rp 12 miliar, tapi hanya Rp 256 juta yang disebabkan kelalaian peng­guna dan hilang saat pengiriman. Pihak Ditjen Pajak pun menya­ta­kan sudah menyelesaikan keru­gian negara akibat hilangnya se­jumlah barang itu. Jadi, menurut pi­hak terdakwa, tidak ada ke­rugian negara dalam proyek ini.

Gara-gara kasus ini, penyidik Ke­jaksaan Agung pernah me­me­rik­sa pengusaha Murdaya Wid­yawimarta Poo (MWP) sebagai saksi. “Memang benar, tim pe­nyidik memeriksa MWP dalam rang­kaian pemberkasan perkara tersangka RNK. Tersangka RNK juga ikut diperiksa,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Ke­jaksaan Agung Adi Toegarisman saat dikonfirmasi.

Belakangan diketahui, RNK adalah bekas Direktur IT Ditjen Pajak Kanwil Jakarta Khusus Riza Noor Karim.

Namun, Adi enggan menje­las­kan materi pemeriksaan terhadap para saksi itu, dengan alasan su­dah memasuki materi perkara. “Kami tidak bisa meng­ung­kap­kan materi pemeriksaan, tapi se­ca­ra makro, tentu terkait peran dan tugas masing-masing,” ujarnya.

Menurut sumber di Kejaksaan Agung, pemeriksaan Murdaya terkait dengan penetapan anak buahnya, salah satu direktur PT Berca Hardaya Perkasa, Lim Wen­dra Halingkar sebagai ter­sangka.

Penetapan tersangka terhadap Karim merupakan hasil pengem­bang­an penyidikan terhadap ter­sangka dari Ditjen Pajak Bahar dan Pulung Sukarno, serta ter­sangka dari PT Berca, yakni Lim Wendra Halingkar.

Semua Pelaku Mesti Diproses

Harry Witjaksono, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Harry Witjaksono menyam­pai­kan, setiap penanganan perkara, se­perti kasus korupsi penga­da­an sistem informasi di Di­rek­torat Jenderal Pajak Ke­men­terian Keuangan ini, tidak akan lepas dari pengawasan DPR.

Kejaksaan Agung, kata Har­ry, akan dimintai penjelasan oleh Komisi III DPR, bila me­mang terdapat kejanggalan da­lam penanganan perkara ini. “Kita tidak akan membiarkan apa­rat penegak hukum, ter­ma­suk kejaksaan bekerja asal-asal­an. Penanganan perkara ini pun akan kami tanyakan dalam rapat dengan kejaksaan,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrat ini ber­keyakinan, bila memang da­lam proses pengusutan, terjadi ke­janggalan-kejanggalan, se­perti proses yang berbelit-belit dan lelet, tentu menjadi per­hatian yang harus diselesaikan.

Harry meminta Kejaksaan Agung mengusut sampai tuntas perkara ini. Para pelaku tindak pidana korupsi, baik dari unsur penyelenggara negara maupun pengusaha dan pihak lainnya, termasuk bila ada oknum aparat hukum yang bermain, tidak boleh dibiarkan begitu saja.

“Semua harus diproses. Ja­ngan sampai sebagian sudah ada yang disidang, divonis, tetapi sebagian lagi malah bebas melenggang tidak tersentuh,” ujarnya.

Dia berharap, masyarakat tu­rut serta secara aktif meng­kritisi kinerja aparat hukum, agar pro­ses pengusutan kasus ini tidak dipermainkan. “Pada dasarnya, masyarakat bisa melaporkan ke­janggalan-kejanggalan.

Itu akan menjadi perhatian kami untuk ditindaklanjuti,” ujarnya.

Menurut Harry, semua pe­laku dalam kasus korupsi, baik ka­kap ataupun tidak, harus di­proses dan diberikan sanksi yang setimpal jika terbukti ber­salah. “Makanya, kita meminta per­kara ini harus dituntaskan,” ujarnya.

Publik Semakin Tidak Percaya Jika Pilih Bulu

Agustinus Pohan, Pengajar Ilmu Hukum

Pengajar ilmu hukum pida­na Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menyam­pai­kan, kecurigaan masyarakat mun­cul jika penanganan suatu kasus berjalan lamban. Apalagi, perkara korupsi.

Kendati begitu, dia tetap men­­dorong Kejaksaan Agung agar serius melakukan proses pembuktian, dan juga menyidik semua pihak yang diduga kuat terlibat dalam kasus pengadaan Sistem Informasi (Sisinfo) di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan ini.

“Saya tidak bisa berpra­sang­ka, namun dalam persidangan yang terbuka untuk umum, bisa dilihat apakah masih ada pihak yang terlibat tapi tidak atau be­lum disentuh. Pers bisa ikut mengawal itu,” ujar Agustinus.

Dia mengingatkan, proses yang terjadi akan menunjukkan sejauh mana  profesionalitas pe­nyidik dalam mengusut per­kara. Dalam perkara ini, bila memang ditemukan sejumlah ke­janggalan, namun tak ditangani dengan benar, maka ada baiknya, Komisi Pem­be­ran­tasan Korupsi turun tangan. “Bila Kejagung tidak juga bereaksi, maka KPK bisa dan bahkan harus masuk agar tidak ada korupsi dalam penanganan kasus korupsi,” tandasnya.

Agustinus menyampaikan, jika dalam penanganan perkara ini Kejaksaan Agung terlihat pilih bulu, maka hal itu akan mem­perbesar ketidakpercayaan publik.

“Saya kira, hal-hal se­ma­cam itulah yang menye­bab­kan lahirnya KPK. Sekalipun dari sudut pandang kejaksaan, hal tersebut diakibatkan oleh mi­nimnya anggaran penyi­dik­an. Itu tidak boleh terjadi,” ujar­nya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA