Akhir September lalu, saat berbicara di Sidang Umum PBB, Menteri Luar Negeri China Yang Jiechi mengecam keras pemerintah Jepang karena membeli tiga dari lima pulau kecil di Kepulauan Diaoyu atau Kepulauan Senkaku di Laut China Timur. Tindakan Jepang dinilai tidak pada tempatnya karena sejak 1970an klaim atas kepulauan tersebut masih diperebutkan kedua negara.
Dua hari sebelum itu, Menlu Yang Jiechi menggelar pertemuan empat mata dengan Menteri Luar Negeri Jepang Koichiro Gemba. Namun pertemuan berakhir sia-sia. Menlu Gemba tetap bersikukuh Senkaku adalah milik Jepang.
"China sangat mendesak Jepang untuk segera menghentikan semua aktivitas yang melanggar kedaulatan wilayah China, melakukan aksi konkret untuk mengoreksi kesalahan dan kembali ke jalur penyelesaian sengketa wilayah tersebut melalui negoisasi," ujar Yang.
"Langkah Jepang benar-benar ilegal dan tidak sah. Mereka tidak bisa mengubah sejarah (yang memperlihatkan) bahwa Jepang mencuri Diaoyu dan kepulauan sekitarnya dari China dengan cara apapun, dan fakta bahwa China memiliki kedaulatan atas kepulauan tersebut," sambungnya.
Senkaku pertama kali dikuasai Jepang pada 1884. Ketika itu Jepang sedang berada di puncak keinginan menjadi penguasa Asia Timur. Jepang berusaha keras mengurangi pengaruh China di kawasan itu serta di saat bersamaan menyiapkan kuda-kuda untuk menyambut Rusia di utara yang mulai melebarkan pengaruh hingga ke Semenanjung Korea.
Menurut Jepang, penelitian mereka di tahun di tahun 1884 itu memperlihatkan bahwa Senkaku adalah terra nullius atau wilayah yang tidak dimiliki oleh siapapun, dan karenanya dapat dikuasai. Jepang menempatkan Senkaku di bawah Prefektur Okinawa serta menjadikannya sebagai titik batas antara kekuasaan Meiji dan Dinasti Qing di China.
Prefektur Okinawa sebelumnya adalah Kerajaan Ryukyu yang ditaklukkan Jepang pada 1875. Invasi Jepang di Ryukyu dimulai pada 1609 oleh keluarga Shimazu yang berkuasa di Satsuma dan merupakan salah satu aktor penting pada masa Restorasi Meiji. Di bawah kekuasaan Shimazu, Ryukyu menjadi semacam negara semi independen, sampai benar-benar dikuasai Jepang dan menjadi salah satu wilayah penting di negeri sakura itu hingga kini.
Dinasti Qing di China tentu saja tidak bisa menerima aksi unilateral Jepang mencaplok Diaoyu. China juga sadar, Jepang yang bangkit dalam masa Restorasi Meiji sedang berusaha menjadi dominator baru di timur Asia dengan merebut satu per satu pulau dan daratan yang ada di sekitar China.
Buntut dari ketegangan kedua negara itu adalah perang terbuka pada Agustus 1884 hingga April 1885. Sejarah mencatat Dinasti Qing kalan dalam peperangan ini dan terpaksa menandatangani Perjanjian Shimonoseki.
Di dalam perjanjian itu antara lain disebutkan bahwa China bersedia menyerahkan "Pulau Formosa dan semua pulau yang menjadi bagian atau dimiliki oleh apa yang dinamakan Pulau Formosa" (all islands appertaining or belonging to said island of Formosa).
Selain Senkaku dan Formosa, wilayah lain yang diperebutkan dan menjadi pemicu Perang China-Jepang Pertama adalah Semenanjung Korea yang di saat bersamaan juga sedang diincar Rusia. Kelak dalam peperangan yang berlangsung antara 1904 hingga 1905 Jepang pun berhasil menakulukkan Rusia. Dalam Perjanjian Portsmouth yang dimediasi Presiden AS Theodore Roosevelt, Rusia akhirnya bertekuk lutut dan mengakui kontrol Jepang atas Semenanjung Korea.
Bagi bangsa-bangsa Asia lain, terutama di sekitar Kepulauan Nusantara, kemenangan Jepang atas Rusia dianggap sebagai titik balik kebangkitan bangsa Asia. Kemenangan sang saudara tua itu sedikit banyak mempengaruhi kelahiran gerakan nasionalisme di kalangan bangsa-bangsa Asia yang dijajah atau hidup dalam tekanan bangsa Eropa sejak ratusan tahun sebelumnya.
Di tahun 1945 giliran Jepang menderita kekalahan dalam Perang Dunia Kedua. Perlawanan Jepang terhenti setelah Hiroshima dan Nagasaki dihancurkan bom atom Amerika Serikat. Kaisar Hiroito dengan berat hati mengakui kekalahan negaranya. Dalam Perjanjian San Francisco yang ditandatangani dengan pihak Sekutu, Jepang secara sukarela melepaskan kontrol atas Senkaku atau Diaoyu dan Formosa. Baik China maupun Jepang setuju wilayah-wilayah tersebut diletakkan di bawah kontrol Amerika Serikat.
Kontrol Amerika Serikat berakhir pada 1972. Sejak itu, Ryukyu atau Okinawa "kembali" ke Jepang, dan Formosa menjadi Taiwan. Adapun Senkaku masih menjadi sengketa antara China dan Jepang dan Taiwan yang belakangan secara sepihak menyatakan berpisah dari China.
Jika bagi Jepang keplauan yang sedang diperebutkan itu adalah Senkaku dan bagi China adalah Diaoyu, maka bagi Taiwan kepulauan itu adalah Tiaoyutai.
Sejak kontrol AS berakhir, China secara konsisten mempersoalkan kepemilikan atas Diaoyu atau Senkaku. China juga tak segan memprotes sikap komunitas internasional yang terlihat tidak adil dalam hal kepemilikan Diaoyu.
Di dalam sepucuk surat yang dikirimkan kepada Sekjen PBB tanggal 27 Desember 1996, misalnya, Perwakilan Tetap China di PBB, Duta Besar Qin Huasun, mempersoalkan laporan Sekjen PBB Boutros Boutros-Ghali mengenai hukum laut bernomor A/51/645.
Menurut Dubes Qinada tiga kesalahan fatal dalam laporan itu yang berkaitan dengan kepemilikan Diaoyu. Dia menegaskan bahwa China memiliki Diaoyu sejak dahulu kala (ancient times). Hal itu dijustifikasi fakta sejarah dan hukum internasional. Dubes Qin juga menjelaskan bahwa Diaoyu berada 92 mil dari Kota Jilong di Provinsi Taiwan. Sementara dalam laporan Sekjen PBB disebutkan bahwa Diaoyu berada 220 mil laut dari pantai daratan China. Pernyataan ini secara implisit juga berarti PBB tidak menganggap Taiwan sebagai bagian dari teritori China.
China juga keberatan dengan isi laporan yang mengatakan bahwa klaim China atas Diaoyu disampaikan setelah ada riset yang menemukan potensi kandungan minyak di kepulauan itu. Menurut China, klaim tersebut mereka sampaikan sebagai jawaban atas provokasi yang dilakukan kelompok kanan Jepang yang mendirikan mercu suar dan mengibarkan bendera Jepang di kepulauan itu.
Nah, dua pekan sebelum Menlu Yang mengecam Jepang di depan Sidang Umum PBB, 28 September 2012 lalu, pemerintah Jepang kembali memprovokasi dengan membeli tiga pulau lain di Kepulauan Senkaku dari keluarga Kurihara yang "memiliki" ketiga pulau itu sejak kontrol Amerika Serikat berakhir.
Keputusan pemerintah Jepang membeli ketiga pulau di Diaoyu disambut gelombang protes rakyat China yang tiada habis-habisnya. Pemerintah China yang biasanya bertindak ekstra hati-hati terhadap protes dan demonstrasi kali ini memperlihatkan sikap berbeda. Demonstran dibebaskan menumpahkan kekesalan dan kecaman pada Jepang. Kantor dan pertokoan milik Jepang di Beijing dengan mudah dimasuki demonstran.
Produsen mobil Jepang, Nissan, Toyota dan Honda pun, misalnya, terpaksa menghentikan produksi mobil mereka di China. Penghentian produksi itu tenatu berbuah kerugian besar. Bagaimanapun bagi ketiga produsen mobil Jepang ini, China adalah pasar yang sebetulnya sangat menjanjikan.
***
Hal yang kurang lebih sama terjadi antara Jepang dan Korea Selatan.
Dua pulau karang itu berdiri tegak di tengah samudera Asia Timur. Sekitar 35 karang dalam ukuran yang lebih kecil tersebar di sekitar mereka. Gugusan karang itu kini tengah diperebutkan dua raksasa ekonomi Asia, Korea Selatan dan Jepang.
Library of Congress di Amerika Serikat mencatatnya sebagai Karang Liancourt, merujuk sebuah peristiwa di tahun 1894 ketika kapal pemburu hiu milik Prancis, Le Liancourt, menabrak gugusan karang itu.
Korea Selatan menamai gugusan karang ini sebagai Dokdo atau Tokto yang berarti Solitary Island atau Kepulauan (yang) Menyendiri. Kedua karang utama di gugusan Dokdo atau Tokto itu diberi nama sederhana; Seodo dan Dongdo, atau Barat dan Timur.
Sementara Jepang menyebut gugusan seluas 187 meter persegi ini denga nama Takeshima atau Pulau Bambu. Jepang juga punya nama sendiri untuk kedua karang utama, Otokajima dan Onnajima, atau Lelaki dan Perempuan.
Titik tertinggi Dokdo atau Takeshima berada di karang sebelah barat (156 meter). Selain memiliki titik tertinggi, Seodo atau Otokajima, juga memiliki ukuran yang lebih besar yakni 88 meter persegi, dari karang di sebelah timur, Dongdo atau Onnajima, yang berukuran 73 meter persegi. Keduanya dipisahkan jarak 159 meter.
Diperkirakan gugusan karang yang dipenuhi gua alami dan bekas kawah ini terbentuk sekitar 4,5 juta tahun lalu. Para ahli juga menyebut Karang Liancourt, Dokdo atau Takeshima kini sedang mengalami pengikisan dengan skala kecepatan yang cukup tinggi.
Secara tradisional dan turun temurun sejak ratusan lalu, Dokdo berada di bawah kekuasaan Choson atau Korea kuno.
Kepemilikan Korea atas Dokdo pun pernah diakui Jepang tahun 1696 silam. Tetapi di tahun 1905 Jepang merebut Dokdo dari tangan Korea sebelum akhirnya menguasai seluruh Semenanjung Korea setelah memenangkan perang melawan Rusia.
Dokdo kembali berada di bawah kekuasan Korea (Selatan) sejak 15 Agustus 1948. Adalah Armada Amerika Serikat ke-14 yang berada di Semenanjung Korea kala itu yang mengembalikan Dokdo kepada Republik Korea yang baru berdiri.
Selain itu, Dokdo juga lebih dekat ke Korea Selatan daripada ke Jepang. Ia hanya berjarak sekitar 87 kilometer dari Ulleungdo milik Korea Selatan, dan sekitar 157 kilometer dari Pulau Oki milik Jepang. Ketika cuaca cerah, Dokdo dapat dengan mudah dilihat dari Ulleungdo.
Sejumlah catatan menyebutkan bahwa bangsa Korea mendiami Pulau Ulleungdo sejak zaman prasejarah. Sampai saat ini di Ulleungdo ditemukan tiga dolmen atau kuburan batu dari akhir zaman perunggu dan awal zaman besi bergaya Korea dalam keadaan baik. Diperkirakan dolmen tersebut diproduksi pada masa antara 300 tahun Sebelum Masehi hingga abad pertama Masehi.
Sekitar 40 persen dolmen yang ditemukan di seluruh dunia berada di Semenanjung Korea, sementara sisanya berada di Manchuria yang pada masa Gojoseon juga merupakan bagian dari Korea kuno.
Referensi tertulis pertama mengenai Dokdo berasal dari tahun 1145 dalam buku Samguk Sagi atau Sejarah Tiga Negara. Dalam catatan itu disebutkan bahwa Jenderal Isabu dari Kerajaan Shila yang merupakan kerajaan kuno di Korea menaklukkan Usan-guk yang merujuk pada Pulau Ulleungdo dan Dokdo.
Catatan lain, Sejong Shilok Jiriji yang dipublikasikan tahun 1454, menyebutkan bahwa dua pulau, Mulleung dan Usan, terpisah oleh jarak yang cukup jauh. Namun begitu keduanya dapat saling terlihat dengan jelas bila udara cukup cerah. Hanya Ulleungdo dan Dokdo pulau di Laut Timur yang memenuhi kriteria itu.
Sementara laporan tahunan Raja Seongjong mencatat ekspedisi ke Dokdo yang dilakukan pada 1476. Dalam catatan ini, Dokdo disebut sebagai Sambongdo. Ekspedisi berawal dari Dokdo, lalu menelusuri pantai timur Semenanjung Korea ke utara hingga Gyeongseong, Buryeong, Garingoji dan Maleungdae sebelum akhinya kembali ke Laut Timur menuju Dokdo atau Sambongdo.
Bukti historikal lain berasal dari buku-buku sejarah Korea yang berasal dari abad ke-18. Di dalam buku-buku itu dengan jelas disebutkan bahwa yang disebut sebagai Pulau Usan adalah Pulau Dokdo. Misalnya dalam Sejarah Perbatasan yang ditulis Gyeong-Jun Shin tahun 1756. Buku sejarah lain yang menegaskan hal itu adalah Mangi Yoram (1808), History of the East (1823), dan Revised Encyclopedia of Records (1907).
Beberapa catatan sejarah pihak Jepang pun menyebut bahwa Dokdo adalah milik Korea. Misalnya, perintah Daijokan, semacam majelis nasional, di tahun 1877 menyebutkan bahwa Ulleungdo dan Dokdo tidak punya hubungan dengan Jepang. Atau dengan kata lain, Dokdo adalah bagian dari teritori Korea. Dokumen ini juga dikenal sebagai Dokumen Resmi 1877.
Peta Jepang yang berasal dari abad ke-18 pun juga memperlihatkan bahwa Dokdo adalah bagian dari Korea dan berada di luar teritori Jepang. Begitu juga dengan peta yang dibuat pada masa pemerintahan kolonial Jepang (1905-1945) tepatnya tahun 1936 memperlihatakan bahwa pada awalnya Dokdo adalah bagian dari Korea.
Bagi Korea, sengketa atas Kepulauan Dokdo ini hanya salah satu dari sekian isu yang diwariskan sejarah penjajahan Jepang di Korea. Presiden Korea Selatan, Lee Myung-bak, baru-baru ini mengakui bahwa hubungan kedua raksasa ekonomi itu sering kali terganggu oleh sejumlah isu di masa lalu. Hal itu disampaikan Lee dalam pidato tahunan untuk memperingati kemerdekaan Korea dari penjajahan Jepang tanggal 15 Agustus lalu.
"Jepang adalah tetangga dekat kami, sahabat yang memiliki nilai-nilai dasar yang sama dan partner kerjasama yang penting untuk membuka masa depan. Tetapi bagaimanapun juga kita harus mengatakan bahwa hubungan Jepang dan Korea di masa lalu menghambat upaya bersama untuk menggapai masa depan yang lebih baik di kawasan Asia Timurlaut, dan (menghambat) hubungan bilateral," ujar Lee.
Hal lain yang juga kerap mengganggu hubungan kedua negara, sebut Lee, adalah isu jugun ianfu atau wanita pemuas kebutuhan seksual balatentara Jepang selama Perang Pasifik. Sampai sejauh ini Jepang tidak pernah memperlihatkan penyesalan dan memberikan kompensasi pada wanita-wanita Korea juga wanita dari negeri-negeri lain yang dipaksa menjadi budak seks balatentara Jepang.
Di saat yang kurang lebih bersamaan dengan pidato Presiden Lee, dua pejabat tinggi Jepang, yakni Ketua Komisi Nasional Keselamatan Publik Jin Matsubara dan Menteri Pertahanan dan Transportasi Yuichiro Hata, serta beberapa anggora parlemen Jepang, memperingati akhir Perang Dunia Kedua dengan mengunjungi Kuil Yasukuni.
Kuil yang terletak di Chiyoda, Tokyo, itu dibangun untuk menghormati sekitar 2,5 juta balatentara Jepang yang gugur dalam berbagai perang termasuk Perang Dunia Kedua. Bagi masyarakat Jepang jiwa balatentara tewas dalam perang pantas dihormati dan disucikan. Sementara bagi negara-negara tetangga yang sempat merasakan penjajahan Jepang, terutama pada masa Perang Dunia Kedua, Kuil Yasukuni adalah monumen kekejaman perang.
Kunjungan kedua politisi itu dianggap sejalan dengan keengganan Jepang meminta maaf dan memberikan kompensasi bagi pihak-pihak yang mengalami kekejaman Jepang di masa perang, termasuk comfort women atau jugun ianfu tadi. Jepang dinilai tidak memiliki itikad yang baik untuk sungguh-sungguh mengakhiri memori perang perang yang sampai kini masih meninggalkan trauma bagi bangsa-bangsa yang pernah dijajahnya, terutama di Korea dan China.
Banyak kalangan yang membandingkan sikap Jepang itu dengan sikap Jerman yang juga melakukan kekejaman luar biasa selama Perang Dunia Kedua. Bedanya, Jerman bersedia meminta maaf atas kekejaman yang mereka lakukan selama Perang Dunia Kedua. Permintaan maaf ini diikuti dengan pengadilan terhadap petinggi militer Nazi dan perubahan sikap politik Jerman yang sangat drastis.
Sikap pemimpin Jepang terlihat begitu berbeda dengan sikap Kanselir Jerman Willy Brandt yang berkuasa di negara itu antara 1969 dan 1974. Kanselir Brandt bekerja keras untuk memperlihatkan kemauan Jerman memperbaiki citra di antara negara-negara tentangga yang menjadi kekejaman Nazi di masa Perang Dunia Kedua. Upaya keras kanselir Brandt ini berbuah Nobel Perdamaian tahun 1971. Karena ketulusan ini pula, Jerman akhirnya dapat memainkan peran sentral dalam mempersatukan komunitas Eropa.
Di saat bersamaan, Jepang yang seperti Jerman mampu bangkit menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia pasca Perang Dunia Kedua terlihat begitu angkuh di hadapan negara-negara tetangganya. Sengketa perebutan pulau terpencil dengan China dan Korea memperlihatkan ketidakmauan Jepang mengobati luka yang diderita negeri-negeri tetangga akibat kekejaman balatentara Jepang selama Perang Dunia Kedua. [***]
Penulis adalah jurnalis dan pemerhati masalah-masalah internasional.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: