Tapi perubahan sistem yang terlalu cepat dari era terpusat ke era otonomi daerah membuat sumber daya manusia bangsa ini tidak siap.
"Otonomi daerah ternyata menimbulkan ekses dan membuat sistem demokrasi saat ini rawan dengan penyalahgunaan kekuasaan, sepereti melakukan pemerasan dan korupsi. Kepala-kepala daerah seringkali berperilaku seperti raja-raja kecil," kata M Fathir Edison, Direktur Eksekutif Indonesia Center for Thought Leadership (ICTL) di Jakarta, Rabu (19/9).
Lebih lanjut dikatakan, hal seperti itu bisa dicontohakan dalam kasus Siti Hartati Murdaya yang diduga menjadi korban pemerasan oleh oknum bupati.
KPK menjadikan Hartati sebagai tersangka kasus dugaan suap terhadap Bupati Buol Amran Batalipu. Namun Hartati berkali-kali menegaskan dirinya adalah korban pemerasan oleh Amran. Perusahaan perkebunan kelapa sawit milik Hartati di Buol selalu diganggu oleh kelompok massa yang diduga terkait dengan Amran. Bahkan pabrik diduduki sehingga tidak berproduksi. Dengan dalih keamanan, Amran meminta sejumlah dana kepada perusahaan tersebut.
Menurut Fathir, kasus Hartati merupakan gunung es dari fenomena premanisme di daerah.
"Kalau menurut KPK, Hartati menyogok, kalau dari pihak Hartati, mereka mengatakan ini pemerasan. Faktanya adalah ada uang yang harus diberikan kepada pejabat daerah agar bisnis jalan. Hal ini diartikan penegak hukum sebagai penyuapan, tapi pebisnis mengatakan ini pemerasan, karena kalau tidak ada uang, bisnis tidak jalan. Inilah yang sering terjadi di banyak daerah. Ada sesuatu yang salah di sistem otonomi daerah kita," katanya.
Dikatakan, budaya premanisme seperti membayar "uang keamanan" menjadi lumrah di era otonomi daerah saat ini.
"Kalau di Jakarta ada aturan tidak tertulis bahwa pebisnis harus membayar fee pada preman-preman agar bisnisnya tak terganggu, hal seperti itu kini menyebar ke daerah-daerah," kata Fathir.
Ironisnya, justru oknum-oknum pejabat di daerah berperilaku layaknya preman itu, dengan menjadikan pebisnis sebagai perahan.
Imbasnya, berbisnis di daerah menjadi mahal dan rumit. Pebisnis harus memanfaatkan kedekatan pribadi dengan kepala daerah agar bisa mendapatkan proyek. Tidak ada kepastian hukum dalam berbisnis.
"Dalam berbagai kasus, oknum kepala daerah menjadi bagian dari masalah. Misalnya, dia mengerahkan massa dan bahkan memeliharan kerusuhan terjadi di sebuah perusahaan investsi. Aparat polisi tidak bisa berbuat banyak karena mereka kalah banyak disbanding massa. Semua jadi serba salah," tambahnya.
Ke depan, tambah Fathir, perlu ada pembenahan dan kontrol ketat dari pemerintah pusat agar investor mendapat jaminan hukum. Bagaimanapun juga, peranan swasta sangat penting untuk meningkatkan investasi di daerah.
Pasalnya, jika praktek-praktek seperti itu tidak segera diatasi, tegas Fathir, tentu saja yang paling terancam adalah investor, sudah susah payah membangun usaha di daerah, tapi terancam tutup kapan saja jika tidak membayar fee yang diinginkan oleh kepala daerah.
"Hal ini tidak bagus bagi iklim ekonomi. Negara seharusnya melindungi investor, bukan menjadikan mereka sapi perah, apalagi kemudian dikriminalisasi," pungkas Fathir.
[dem]
BERITA TERKAIT: