Anak Buah Hartati Bertemu Bupati Buol Di Lima Lokasi

Dakwaan Direktur Operasional PT Hardaya Inti Plantations

Senin, 10 September 2012, 09:02 WIB
Anak Buah Hartati Bertemu Bupati Buol Di Lima Lokasi
ilustrasi/ist
rmol news logo Pengusaha Hartati Murdaya disangka KPK menyuap Bupati Buol Amran Batalipu. Salah satu yang terlibat penyuapan itu adalah anak buah Hartati, Direktur Operasional PT Hardaya Inti Plantation (HIP), Gondo Sudjono Notohadi Susilo.

Bahkan, Gondo telah menjadi terdakwa kasus ini. Dalam surat dakwaan terhadapnya, Gondo terlibat pertemuan membahas dan melaksanakan suap, sekurang-ku­rangnya di lima lokasi.

Per­te­mu­an Gondo dengan Am­ran, ma­sing-masing dilaku­kan di Gedung Pusat Niaga Pekan Raya Jakarta (PRJ) Kemayoran, lounge Hotel Grand Hyatt Jakarta, kantor PT Har­daya Inti Plantations di Ge­­dung MMC, Cikini Raya no­mor 78, rumah Amran Batalipu dan Villa Amran di Leok, Buol, Sulteng.

Dalam nota dakwaan, jaksa me­nyebutkan, Gondo aktif me­ran­cang suap Rp 3 miliar kepada Bu­pati Buol Amran Batalipu. Maksud pemberian suap agar Bu­pati Buol menerbitkan izin lokasi, membuat surat kepada Gubernur Sulteng agar memberi reko­men­dasi penerbitan izin usaha per­kebunan (IUP).

Selain itu, ditujukan agar gu­bernur mengizinkan Bupati Buol me­ngajukan surat rekomendasi ke­pada Kepala Badan Pertanahan Na­sional (BPN). Rekomendasi itu ter­kait pengurusan Hak Guna Usa­ha (HGU) PT Sebuku Inti Pla­n­t­a­tions atau PT Cipta Cakra Mur­da­ya atau PT Hardaya Inti Plan­tat­i­ons atas lahan 4.500 hektar di Buol.

Serta, pengurusan HGU sisa la­han di lahan izin lokasi seluas 70.090 hektar dari PT Cipta Cak­ra Murdaya yang belum punya HGU kepada PT Sonokeling Buana yang dikelola anak Artalita Suryani alias Ayin.

Jaksa menguraikan, sebelum berniat mengurusi surat-surat ter­sebut, PT Hardaya Inti Plan­ta­tions dan PT Sebuku Inti Plan­ta­tions, perusahaan yang tergabung dalam PT Cipta Cakra Murdaya te­lah mendapat izin lokasi perke­bunan kelapa sawit di Buol seluas 75.090 hektar.

Pada 1997, PT Cipta Cakra Mur­­daya mengalihkan hak pada PT Hardaya Inti Plantations. Pada 1998 PT Hardaya Inti Plantations memperoleh HGU seluas 22.780,866 hektar. Tapi PT Har­da­ya Inti Plantations kembali me­ngajukan permohonan HGU se­luas 33.083,30 hektar. Per­mo­ho­nan ini belum disetujui karena ada ke­ten­tuan pembatasan lahan per­ke­bunan sawit seluas 20 ribu hektar.

Karena terbentur ketentuan ter­sebut, terdakwa mengajukan per­mohonan izin lokasi atas nama PT Sebuku Inti Plantations atas lahan seluas 4.500 hektar. Lahan ter­sebut telah ditanami kelapa sa­wit. Lahan itu juga merupakan ba­gian dari lahan seluas 33.083,30 hektar.

Atas rencana tersebut, pada 15 April 2012, terdakwa mengikuti per­temuan di Gedung Pusat Nia­ga Kemayoran. Pertemuan diikuti Amran Batalipu, Siti Hartati Mur­daya, Totok Lestiyo dan Arim. Da­lam pertemuan, sebut jaksa, Siti Hartati meminta bantuan Am­ran agar menerbitkan surat izin lokasi dan mengurusi surat hak guna usaha atas lahan seluas 4.500 hektar yang dikelola PT Har­daya Inti Plantations di Buol.  

Siti juga memohon Bupati membantu membuatkan surat pada Kepala BPN. Surat itu ter­kait dengan pengurusan HGU atas sisa lahan yang berada dalam izin lokasi seluas 75.090 hektar un­tuk  PT Hardaya Inti Plan­ta­tions. Tujuannya, kata jaksa, agar BPN tak menerbitkan HGU untuk PT Sonokeling Buana ka­rena izin lokasi PT Sonokeling be­rada di dalam izin lokasi PT Har­daya Inti Plantations.

Untuk keperluan itu, PT Har­daya berjanji membantu Amran Batalipu dengan meminta ban­tuan Saiful Mujani, reseach and con­sulting untuk melakukan sur­vei pen­calonan kembali Amran seba­gai Bupati Buol. Amran pun me­nanggapi akan membantu Hartati.

Lalu pada pertemuan 11 Juni 2012 di tempat yang sama, dise­pakati Siti Hartati akan mem­be­rikan dana Rp 3 miliar kepada Amran. Pada malam harinya, per­­temuan berlanjut di Hotel Grand Hyatt Jakarta.

Pertemuan dilakukan oleh Har­tati, Amran Batalipu, Totok Les­tiyo dan Arim. Pada pertemuan ter­sebut, Hartati memastikan, uang Rp 1 miliar akan diberikan me­lalu Arim. Sisanya, Rp  2 mi­liar akan disampaikan melalui ter­dakwa Gondo.

Lalu pada 12 Juni, pukul 16.30 WIB, Gondo dan Arim menemui Amran di showroom Metro Tiga Ber­lian, Jalan Yos Sudarso, Ja­karta. Ketika itu, Amran kembali menyatakan, akan membantu se­telah menerima uang yang di­jan­jikan. Selanjutnya, untuk me­leng­kapi janji memberi uang Rp 3 miliar, Gondo ditemani Arim, pada 20 Juni 2012 mendapat pe­rintah mengantar uang Rp 2 mi­liar kepada Amran.

Uang Rp 2 miliar tersebut di­pecah jadi tujuh bagian. Rin­cian­nya, Rp 500 juta ditransfer atas nama Gondo via Bank Mandiri, Rp 500 juta lainnya ditransfer atas nama manajer keuangan PT Hardaya Inti Plantation Dede Kurniawan via Bank Mandiri.

Sisanya, masing-masing Rp 250 juta ditranfer atas nama Seri Shiriton via Bank BNI, Rp 250 juta berikutnya dikirim oleh Ben­h­ard Rudolf Galenta via Bank BNI. Selanjutnya, uang sisa Rp 500 juta, dibawa tunai oleh Gondo sebanyak Rp 250 juta dan Rp 250 juta lainnya dibawa Dede Kur­niawan.

Reka Ulang

“Urusan Saya Masalah Pabrik Yang Terancam Keamanannya”

Jaksa penuntut pada KPK men­dakwa Gondo Sudjono Notohadi Susilo, Direktur Operasional PT Har­daya Inti Plantations (HIP) terlibat penyuapan terhadap Bu­pati Buol Amran Batalipu. “Am­ran diminta membuat surat ke­pada BPN terkait pengurusan HGU PT Hardaya dan tidak me­nerbitkan HGU PT Sonokeling,” kata jaksa Edy Hartoyo.

PT Sonokeling adalah peru­sa­ha­an anak Artalitha Suryani, be­kas terpidana kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan, yang sempat ber­saksi dalam kasus ini. Sama hal­nya dengan PT Hardaya, PT So­nokeling juga bergerak di bi­dang perkebunan kelapa sawit.

Menurut jaksa Edy, duit suap dari pengusaha Hartati Mur­daya melalui dua anak buah­nya, yakni Yani Ansori dan Gon­do. Karo Hu­mas KPK Johan Budi sebe­lum­nya mengatakan, p­e­m­e­rik­saan Hartari pada Jumat (27/7) adalah sebagai saksi untuk anak buah­nya, Gondo Sudjono.

KPK menetapkan Gondo dan petinggi PT HIP lainnya, yakni Yani Anshori, sebagai tersangka. Ke­duanya tertangkap sesaat sete­lah diduga menyuap Bupati Buol Amran Batalipu dengan uang Rp 3 miliar.

Suap diduga berkai­tan de­ngan kepengurusan pener­bitan HGU baru perkebunan ke­lapa sawit PT HIP dan PT CCM di Buol. KPK pun menetapkan Amran se±bagai tersangka.

Namun usai diperiksa selama 12 jam, Hartati mengaku, per­usa­haannya diminta Rp 3 miliar oleh Amran. Dari Rp 3 miliar yang di­minta, hanya Rp 1 miliar yang di­berikan ke Amran. Hartati juga mem­bantah disebut memberi bantuan pilkada ke Amran.

Menurut Hartati, pemberian ke Amran tersebut bukan untuk ban­tuan pilkada, melainkan terkait keamanan PT HIP dan PT CCM di Buol yang tidak kunjung kon­dusif. “Urusan saya itu masalah pab­rik yang terancam keama­nannya terus-menerus seperti ini,” ujarnya.

Atas sinyalemen keterlibatan Hartati, KPK meminta Imigrasi mencegah Hartati bepergian ke luar negeri. Selain itu, KPK men­cegah enam anak buah Hartati, yak­ni Direktur PT HIP Totok Les­tiyo, karyawan PT HIP, Soe­kar­no, Benhard, Seri Sirithorn, dan Arim, serta Direktur PT CCM Ki­rana Wijaya.

Pengacara Amran, Amat Ente­daim, sebelumnya mengakui klien­nya pernah mendapat dana ban­tuan dari PT HIP untuk meng­hadapi Pilkada 2012. Kon­sultan politik, Saiful Mujani, se­usai di­periksa KPK sebagai saksi dalam kasus ini me­ngung­kapkan, PT HIP mem­bantu Amran mem­e­nang­kan Pilkada 2012.

Peru­sa­haan tersebut mem­ba­yar­kan sur­vei terkait pemenangan Amran se­bagai calon bupati. Uang untuk biaya survei ke lem­baga survei mi­lik Saiful itu di­sam­paikan melalui Direktur PT HIP Totok Lestiyo.

Sebelumnya, penyidik KPK memeriksa putra pengusaha Artalyta Suryani, Rommy Dhar­ma Satiyawan, dan Direktur Uta­ma PT Sonokeling Buana Saiful Rizal. Ketiganya diperiksa dalam kapasitas sebagai pewakilan PT Sonokeling Buana.

Mesti Jelas Siapa Otaknya

M Taslim, Anggota Komisi III DPR

Politisi PAN M Taslim Cha­niago menyatakan, persidangan kasus dugaan suap Bupati Buol sebesar Rp 3 miliar harus dita­ngani secara teliti.

Maksudnya, rangkaian fakta-fakta yang terungkap di per­sidangan hendaknya ditelusuri secara intensif. Sebab dari situ, rangkaian peristiwa maupun keterkaitan para pihak bisa ter­lihat secara utuh. “Persidangan kasus ini harus benar-benar di­cermati,” katanya.

Dari persidangan kedua ter­dakwa, dia yakin peran-peran pihak lain yang belum tersentuh bakal terdeteksi. Dia menduga, suap terhadap Bupati Buol ini di­rancang dan dilaksanakan oleh beberapa pihak. Jadi rang­kaian peran terdakwa satu de­ngan terdakwa lain maupun dengan tersangka lainnya akan terlihat.  “Ini saling mengkait satu dengan lainnya,” tuturnya.

Karena itu, dia meng­ha­rap­kan, hakim dan jaksa jeli me­li­hat perkembangan atau hasil per­sidangan. Kejelian ini di­perlukan agar apa-apa yang ma­sih tersembunyi di kasus ini dapat terbongkar. Dia meminta, KPK selaku penyidik kasus ini cermat dalam mengatasi per­soalan yang ada.

Dia berpesan, jika ada pihak yang disuap dan perantara suap, maka idealnya pihak yang merancang suap juga harus ada. Menurutnya, akan aneh apabila dalam kasus suap, tidak ada pihak yang ditetapkan sebagai penyuap.

Lebih lanjut, dia menge­mu­ka­kan, bila KPK saat ini sudah menetapkan pihak yang dituduh sebagai penyuap, hendaknya ber­kas perkara kasus ini tidak ter­tahan di tangan penyidik ter­lalu lama. Dia mengatakan, pe­kerjaan KPK menyibak siapa da­­lang penyuap tentu akan sa­ngat terbantu dengan pe­lak­sa­na­an sidang perkara ini. Para ter­dakwa dengan sendirinya, akan membuka siapa pihak yang me­nyuruh melakukan suap.

“Apalagi dua terdakwa, Yani Ansori dan Gondo Sudjono su­dah mengaku sebagai orang su­ruhan. Tentu sangat mudah me­nentukan pihak yang menjadi otak kasus penyuapan Bupati Buol ini,” katanya.

Dengan begitu, KPK sam­bungnya, tidak punya alasan untuk berlama-lama dalam me­nuntaskan berkas perkara orang yang dituduh sebagai pe­nyan­dang dana alias penyuap di ka­sus ini.

Kasus Ini Tidak Rumit

Asfinawati, Bekas Direktur YLBHI

Peneliti dan praktisi hukum Asfinawati menilai, persoalan suap kepada Bupati Buol ada­lah tindak pidana yang tidak ru­mit. Artinya, pengusutan ka­sus ini tidak perlu waktu pan­jang serta me­nguras energi yang besar. “Ka­­sus ini be­rangkat dari ter­tangkap tangannya pi­hak pe­ne­rima suap dan pe­ran­tara suap,” katanya.

Peristiwa tangkap tangan inilah yang menurut dia, me­mu­dahkan penyidik membongkar mata rantai kasus penyuapan ter­sebut. Apalagi, sejak pe­nyi­di­kan awal, tersangka yang kini menjadi terdakwa kasus ter­se­but sudah mengaku men­ja­lan­kan perintah atasannya. Jadi, ti­dak ada alasan bagi penyidik KPK untuk tidak cepat dalam menyelesaikan perkara ini.

“Jika saat ini pihak pe­ng­gagas suap sudah ditetapkan se­bagai tersangka, maka pe­ker­jaan KPK tinggal selangkah lagi. Yaitu, melimpahkan berkas perkara tersangka ke tingkat penuntutan dan pengadilan. Biar segera disidangkan dan mendapatkan kepastian hukum yang jelas.”

Selanjutnya, Asfinawati me­nyayangkan dugaan keter­li­batan elit politik seperti Hartati Murdaya dalam kasus ini. Tapi, katanya, mau tak mau, hal ter­sebut harus di­per­tang­gun­g­ja­wab­kan secara hukum.

Digarisbawahi, tak hadirnya tersangka Hartati dari panggilan KPK pada Jumat (7/9), me­ng­in­dikasikan masih adanya sikap perlawanan kepada hukum. Ala­san sakit sehingga tak me­ng­hadiri panggilan penyidik itu, hendaknya bisa diper­tang­gung­ja­wabkan yang bersangkutan.

Dia pun meminta agar KPK le­bih responsif menanggapi ala­san tersangka tersebut. Mak­sud­nya, jangan sampai kete­ga­san KPK dalam mengusut per­kara ini justru loyo manakala berhadapan dengan tersangka yang dikategorikan sebagai tokoh elit. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA