Pemilih Cerdas Tidak Sekadar Coba-coba, Apalagi Memilih Kutu Loncat

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Jumat, 07 September 2012, 12:58 WIB
rmol news logo Pemilih yang cerdas adalah mereka yang tak menggunakan haknya bagai membeli kucing dalam karung. Selain itu, masyarakat cerdas pasti memilih calon pemimpin yang bukan kutu loncat.

Pengamat LIPI, Siti Zuhro, mengingatkan, secara etika politik, para pemangku jabatan pemerintahan seharusnya menyelesaikan amanah yang diembannya terlebih dulu sebelum memutuskan rencana pindah ke jabatan baru. Dirinya menilai Jakarta akan sangat mengerikan jika dipimpin oleh sosok kutu loncat.

"Soal Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), ada informasi yang tidak lengkap. Dia itu tiga kali kutu loncat. Mengerikan sekali kalau kita dipimpin seorang kutu loncat. Yang akan datang, demokrasi kita tidak boleh kekerabatan. Ini aktornya tunggal, lompat-lompat terus. Oportunis. Tidak sah juga kalau loncat menjadi kepala daerah," ujar Siti dalam rilis yang diterima redaksi (Jumat, 7/9).

"Jokowi mestinya juga tidak ikut karena sudah disumpah lima tahun di Solo. Mestinya seperti itu menurut etika politik," sambungnya.

Dia sama sekali tak setuju cara berpikir yang mengaitkan maraknya bencana kebakaran di Jakarta atau terorisme di Solo, dengan Pilgub Jakarta.

"Ada pilkada atau tidak ya kebakaran tetap ada di DKI, terorisme tetap ada di Solo. Bodoh saja kalau Foke membakar hanya karena mau menang atau menggal kepala orang hanya karena mau menang.," paparnya. Siti mengingatkan jangan sampai pemimpin mendatang membuat terobosan liar dan menjerumuskan.

Sedangkan pengamat ekonomi politik dari STEKPI, Agung Nur Fajar mengungkapkan, calon incumbent (Gubernur Fauzi Bowo) harus diakui lebih diketahui publik dalam hal kapasitas memimpinnya.

"Bagaimana mau dibilang pemilih cerdas kalau kita sendiri coba-coba? Bagaimana intelektual mau dibilang bagus tapi alasan memilihnya sama seperti beli kucing dalam karung?" ungkap Agung.

Diakuinya, saat ini ada semacam dikotomi, bahwa di media sosial memang Jokowi tak tertandingi dengan dukungan anak muda. Sementara, kaum ibu dan kelompok-kelompok masyarakat cenderung memilih Foke.

"Adanya isu SARA tetap tidak ada yang mempengaruhi. Tim sukses selama ini memang cerdas tapi tidak mencerdaskan. Masih primitif primordial," imbuhnya. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA