"Warga terkelabui dengan simbol-simbol seperti itu, meskipun tanpa harus memiliki program-program kerja," kata Pengamat Ekonomi Politik yang juga Dosen Sekolah Tinggi Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia (STEKPI), Agung Nur Farah, dalam penjelasan tertulis kepada wartawan, Selasa (4/9).
Pembohongan yang disebutnya dilakukan pasangan Jokowi-Ahok bersama tim suksesnya ini memanfaatkan rasa frustasi warga terhadap kondisi Jakarta yang belum menunjukkan perbaikan. Pada sisi lain, pasangan yang diusung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra itu sama sekali tak memiliki konsep maupun program membangun Jakarta.
"Bosan, muak, jenuh dan marah terhadap kondisi Jakarta sekarang yang membuat warga tak lagi berfikir jernih. Faktor-faktor itu yang dimanfaatkan pasangan Jokowi-Ahok," ujar dia.
Bahkan, kata Agung, dalam berbagai kesempatan Jokowi menyatakan akan melanjutkan blue print pembangunan Jakarta yang telah dibangun Fauzi Bowo. Agung juga menyayangkan strategi politik Tim Sukses Jokowi-Ahok tetap mendagangkan ketokohan Jokowi di Solo sebagai strategi politik maraih simpati warga Jakarta. Ketokohan Jokowi bukan obat frustasi warga Jakarta.
"Cara-cara ini bukan memberikan pelajaran demokrasi yang baik terhadap warga. Jika cara itu terus terjadi, maka demokrasi kita tak akan pernah dewasa," tambahnya.
Dari survei yang dilakukan mahasiswa STEKPI, lanjutnya, masyarakat menilai Foke lebih baik dalam banyak aspek kepemimpinan. Tapi, sayangnya masyarakat tidak memilih Foke. Ini semata-mata karena Jokowi dikesankan pribadi yang polos dan bersih, meskipun mereka tidak punya program, tapi pribadi bersih sudah cukup.
"Jokowi juga menggunakan cara-cara yang digunakan SBY sebagai pribadi yang teraniaya yang digunakan dalam Pilpres 2004," jelasnya.
Survei mahasiswa juga menjelaskan alasan masyarakat memilih Jokowi adalah karena Jokowi yang paling halus dalam mengkritik Foke ketimbang kandidat lainnya.
"Kandidat yang tidak banyak mendeskreditkan Foke itu Jokowi. Intesitas yang paling
soft dibandingkan yang lain. Ini pribadi yang baik, ini yang dinilai masyarakat," katanya lagi.
Sementara, mengenai klaim bahwa Jokowi adalah salah satu Walikota terbaik, dirinya melihat bahwa penilaian itu memiliki kriteria bagaimana cara mengelola kota secara humanis. Kalau masyarakat mau jujur dan mengecek dimana keberhasilannya, pasti sulit menemukannya.
"Kriteria sukses itu bisa diciptakan dengan kinerja dan persepsi orang. Nah, untuk kasus Jokowi, nampaknya kesuksesan dia berdasarkan persepsi saja. Kalau untuk program, saya lihat di Solo dia tidak sukses. Di Jakarta, hanya akan melanjutkan program Foke," imbuhnya.
Jika dilihat dari sisi kemampuan, Foke pun jauh di atas dibandingkan Jokowi. Masalah Jakarta tidak seperti Solo. Jangankan jadi gubernur, untuk menjadi warga biasa saja yang datang dari kampung bisa kebingungan. Dan jika Foke mau menang, maka Foke harus membuat langkah yang taktis untuk membuat masyarakat lebih cerdas memilih.
"Kalau pemilih melankolis maka yang akan menentukan pilihan adalah brand, image atau citra.Tapi kalau masyarakat cerdas maka masyarakat akan memilih Foke. Jokowi baru akan menang kalau masyarakatnya tetap melankolis," tegasnya.
Dia mengatakan kondisi Solo dan Jakarta sangat jauh berbeda. Tantangan memipin Jakarta jauh lebih berat dibandingkan memimpin Solo. Jakarta dihuni oleh beragam etnis serta menjadi pusat pemerintahan dan ibukota negara. Sedangkan, Solo didominasi oleh satu etnis tertentu dan masih kuat dengan tradisi kebudayaan.
"Tak rasional jika kepemimpinan di Solo dan kepemimpinan di Jakarta dijadikan barometer perbandingan keberhasilan," ujar dia.
Memimpin Solo masih bisa menampilkan ketokohan serta melalui cara-cara pendekatan kekeluargaan. Sedangkan, memimpin Jakarta harus dibuktikan melalui keberhasilan pembangunan. Masyarakat akan merasa senang jika merasakan langsung hasil kinerja pemerintah daerahnya. Apalagi, hanya sekedar menampilkan ketokohan, justru hanya akan melahirkan pemerintahan sesaat. Frustasi warga akan berkenjangan karena nasib Jakarta jauh lebih buruk dibandingkan sebelumnya.
Obyektifnya, seharusnya warga melihat kinerja yang sedang berlangsung dihasilkan oleh Pemda DKI sekarang ini.
"Masyarakat tidak melihat bagus tidaknya pemimpin tersebut dan cenderung melihat itu belakangan. Justru seperti ini bisa dikategorikan pemilih yang tidak cerdas," tandas Agung.
[ald]
BERITA TERKAIT: