Sidang menghadirkan saksi-saksi dari tim jaksa KPK. Diantaranya, direktur Dana Perimbangan Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (DJPK Kemenkeu), Pramudjo dan Analis Hukum PPATK, M Novian.
Pramudjo mengatakan, dalam pembahasan daftar daerah penerima alokasi DPID, pihak Kemenkeu telah menyerahkan simulasi daftar daerah penerima DPID yang sesuai kriteria, yakni sebanyak 398 daerah ke Banggar DPR. Tapi daftar itu diabaikan oleh Banggar DPR RI.
"Angka-angkanya dan daerahnya tidak dipakai. Yang dipakai angka dan daftar yang muncul dari Banggar," kata Pramudjo di hadapan persidangan.
Dari angka dan daftar daerah penerima DPID yang dibuat Banggar, lanjut dia, lebih sedikit jumlahnya dengan yang diajukan pemerintah sehingga terdapat selisih. Daftar daerah yang diusulkan pemerintah sebanyak 398 daerah, sementara yang dibuat Banggar 297 daerah.
"Alokasinya berbeda-beda dengan anggaran yang sama Rp 7,7 triliun," terang dia.
Nah, setelah menerima daftar 297 daerah dari Banggar, Kemenkeu langsung melakukan kroscek dan verifikasi berdasarkan kriteria kemampuan keuangan daerah penerima. Hasilnya, kedapatan 32 daerah yang memenuhi kriteria untuk menerima DPID, tapi tidak tercantum dalam daftar yang dibuat Banggar. Kemudian, Menkeu mengirimkan surat ke Banggar DPR.
"Memang ada perbedaan jumlah daerah, kemudian ada surat yang dikirimkan lalu dijawab (Banggar) tidak mungkin ada koreksi karena sudah final," jelas Pramudjo.
Dengan terpaksa, Kemenkeu lanjut Pramudjo akhirnya menerima keputusan Banggar DPR yang telah menetapkan 297 daerah penerima DPID. Padahal, dalam undang-undang, baik DPR dan pemerintah memiliki kedudukan yang sama dalam membahas anggaran.
"Kalau boleh dikatakan pemerintah harus menerima keputusan DPR. Ini alasan politik dan pemerintah akhirnya terpaksa menjadikan kesepakatan bersama dan menjadi Undang-undang," pungkas dia.
[dem]
BERITA TERKAIT: