FROM MOSCOW WITH LOVE (61)

Pragmatisme, Vodka Hingga Sambel

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/m-aji-surya-5'>M. AJI SURYA</a>
OLEH: M. AJI SURYA
  • Senin, 03 September 2012, 06:59 WIB
Pragmatisme, Vodka Hingga Sambel
M. AJI SURYA
“The weak fall, but the strong will remain and never go under!” ― Anne Frank BERBINCANG-BINCANG dengan pria satu ini tidak ada rasa jemu. Waktu yang terus mengalir seolah berhenti di tempat. Matahari yang siang itu sedikit menyeruak di sela-sela mendung hingga ngumpet di balik ufuk, tak pernah menghentikan percakapan yang begitu mengasyikkan. Masa lalu hingga masa kini, soal pergulatan bangsa Rusia, petualangan Amerika di Libya hingga di Syria dikupas habis. Bahkan aneka soal kepercayaan dan agama ikut dibabat.

Ada saatnya menjadi pendengar. Kata guru saya dulu, lebih sulit menjadi menjadi pendengar daripada menjadi pembicara. Padahal, menjadi pendengar pasti akan disukai oleh siapapun. Tapi yang kali ini, bukan urusan menjadi pendengar atau pembicara, namun sebagai anak muda, saya memang hanya bisa mendengar, menyerap, menganalisa dan kadang mengamini. Maklumlah, dari sisi usia, pengalaman dan asam garamnya kehidupan, saya pasti kalah jauh.

“Banyak pimpinan komunis yang sebenarnya tidak cerdas. Itulah mengapa komunisme di Uni Soviet tersungkur. Ketika mereka berkuasa, seolah merasa benar sendiri. Tidak pernah mendengar kritik pihak lain. Dan pada saatnya, kebenaran yang mereka yakini ternyata berubah, dan jadilah komunisme dan sosialisme yang disemaikan di tanah ini tiarap dengan bumi,” ujarnya dengan logat Jawa Timuran yang masih kental menyentak telinga saat pantat ini baru saja menempel kursi.

Tinggal di apartemen yang berlokasi premium, orangpun dapat menduga kakek ini bukanlah orang sembarangan. Bayangkan saja, apartemen itu hanya berjarak mata memandang dari universitas paling bergengsi sepanjang masa, Universitas Negeri Moskow (MGU) yang nangkring di puncak bukit Lenin (Leninsky Gory). Dari jendela ruang tamu terlihat taman nan rimbun dan di dari ruang depan tampak jalan besar dua jalur sangat ramai.

Dari ukuran, apartemen yang ditempati tidaklah besar, hanya kisaran 55 meter persegi. Terdiri dari ruang tamu memanjang, satu kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Ruang tamu sedikit disekat dengan bangku yang diatasnya terdapat radio kuno agar sebuah dipan kecil tidak terlalu nyolok. Disana sini ada tumpukan buku dan dokumen yang sudah kelihatan tua. Sebuah pemanas dipasang di dekat jendela yang panel on-off-nya dioperasikan secara manual. Di bagian pojokan meja baca tampak bendera merah putih yang sudah cukup lusuh. Sementara sebuah topeng di dinding seolah memelototi kita yang terus bercengkerama.

Jelaslah, ini bukan apartemen modern. Pintunya berlapis-lapis. Begitu keluar dari lift maka harus membuka pintu besi. Setelah menutup dan menguncinya kembali, maka pintu kedua harus dibuka dengan kunci yang lain. Inilah rumah model zaman pancaroba pascaperestroika yang mengedepankan keamanan. Siapapun harus hati-hati terhadap mereka yang datang. Diintip dahulu dan bila tidak dikenal, sebaiknya diabaikan meskipun memencet bel berkali-kali.

“Dulu, zaman komunis, model pintu itu indah, terbuat dari kayu yang berukir. Pada masa “tidak aman” diganti dengan pintu besi. Hingga kini, pintu itu tidak berubah dan menjadi saksi sejarah bagaimana bangsa ini mengalami perubahan,” ujar istrinya yang asli Rusia.

Tinggal di tempat ini terasa tenang meski barang-barang yang ada di dalamnya tidak ada yang model baru. Teve 21 inci yang teronggok di atas meja masih buatan Rusia dan bentuknya sangat besar karena menggunakan tabung. Kopi India dan aneka roti Rusia serta buah yang diawetkan silih berganti mengisi meja tempat kita ngobrol.

“Semua berubah. Itu sudah menjadi sebuah menjadi bahasa alam. Tetapi perubahan itu harus disikapi sejak dini. Bagi orang-orang yang mengamini komunisme dan sosialisme, kan sekarang jadi bertanya, kenapa Uni Soviet bisa tumbang dan komunisme di Cina masih tetap berjaya? Sudah sejak lama saya melontarkan ide ini tapi tidak banyak yang menanggapi,” kata sang kakek.

“Ya, sebuah keangkuhan dan merasa benar sendiri itulah yang akhirnya menjadi awal sebuah kehancuran. Bisa dibayangkan, Uni Soviet kok bermusuhan dengan Tiongkok yang juga sama-sama komunis. Ini sebuah keanehan. Ini sebuah perpecahan. Apalagi kemudian terjadi perseteruan antara keduanya.”

“Semua berputar. Yang diatas akan dibawah dan yang dibawah akan jadi diatas. Perubahan demi perubahan akan terus terjadi. Ada pergeseran, Akan muncul keseimbangan-keseimbangan baru. Baik dan buruk terus mengalami ujian zaman.”

“Saat ini, partai komunis masih ada di mana-mana, termasuk di Philipina, India dan Amerika Latin. Partai komunis sudah banyak berubah dan tidak lagi memperjuangkan tujuannya dengan cara-cara kekerasan. Partai komunis harus bisa hidup berdampingan dengan partai lainnya. Konsep ini yang harus dikedepankan sehingga bisa diterima dimana saja,” ujarnya berteori.

Kakek yang telah berumur 82 tahun ini seperti umur 60an saja. Suaranya masih sangat keras. Mukanya masih segar dan kekerasan pendiriannya terlihat sangat jelas. Manakala ia mengemukakan pendapat, tangannnya mempertegas apa yang diucapkan. Dengan badan bongsor pada kisaran 170 cm, maka sangat dimengerti apa yang disampaikan menjadi semakin meyakinkan (convincing) lawan bicaranya.

Sang kakek mengaku sebagai seorang yang terhormat. Datang ke Rusia sebagai pelajar utusan negara Republik Indonesia. Meskipun sampai sekarang ia belum pulang ke tanah air, namun ia tetap merasa sebagai duta bangsa yang tidak bisa diremehkan. Kakek ini secara jelas menyatakan bahwa paling tidak bisa kalau dirinya diremehkan. Dari tutur bicara dan penalarannya, ia seorang yang intelek, berpendirian dan tidak mudah menyerah pada keadaan.

Di akhir musim panas ini sang kakek merasa sudah lebih tua. Kalau dua tahun lalu masih bisa berlarian di taman, maka sekarang badan dan kakinya sudah mudah pegal dan ngilu. Meskipun masih tampak tegap dengan jas dan sepatu yang keren, namun rambut di kepalanya tidak menyisakan lagi warna hitam. Bahkan kumisnyapun juga berwarna perak semuanya. Hanya semangatnyalah yang masih terus kelihatan menyala sehingga ia terlihat masih tampak jauh lebih muda dari aslinya.

Sudah hampir tiga jam lamanya perbincangan itu berlangsung di ruang tamu. Tiba saatnya saya untuk undur diri. Namun tiba-tiba, istri sang kakek yang asli Rusia itu menggiring kami semua ke bagaian buritan: dapur dan ruang makan. Artinya, kami harus makan siang di sore hari. Ada perasaan bersalah dalam diri ini.

Sebuah meja ukuran satu kali setengah meter berdiri di tengah-tangah dapur yang relatif sempit. Empat tempat duduk dari kayu mengelilingi meja. Tampak ada kulkas, kompor besar, aneka bumbu dan botol-botol kecil lainnya. Persis di dekat pintu menempel sebuah radio ukuran segenggaman tangan berwarna kuning gading. Bagian atasnya ada kabel yang menempel di sebuah colokan. Suaranya tidak terlalu keras namun cukup jelas.

Itulah radio kenangan zaman komunis meraja. Setiap apartemen dibagi satu radio yang antenenya harus dicolokkan di tempat khusus. Di masa Uni Soviet, radio itu hidup hampir sepanjang hari. Kalau pagi mengajak pemilik apartemen untuk senam kebugaran lalu bersuara aneka nyanyian dan berita yang disiarkan pemerintah. Di masa kini, radio ini masih berfungsi dan lebih banyak menyiarkan aneka cerita tentang politik.

“Saya ini masih orang Indonesia. Sejak datang di Moskow sampai sekarang perut saya tetap keroncongan kalau tidak terisi nasi. Makanya hari ini kita akan nasi juga. Istri saya itu sangat pandai memasak. Dia bisa menanak nasi tanpa ada intipnya, tidak seperti saya. Mari kita makan. Jangan malu-malu Bung,” ujarnya.

Tiba-tiba piring saya penuh dengan nasi hasil torehan sang kakek langsung dari ketelnya. Sementara sang nenek juga tidak kalah sigap, satu potong ayam goreng segera nangkring diatas nasi yang mengepul. Sedangkan krupuk plus tomat dan timun manis sudah siap disantap menyelingi nasi dan daging ayam. Gurih, manis, panas dan kriuk-kriuk terpadu menjadi satu.

Sang kakek yang datang ke Moskow tahun 1958 ini lalu membuka kulkas. Satu toples Lombok merah asal Vietnam dicengkeram dalam satu tangan kanannya. Apapun lauknya, maka lombok dan sambal menjadi temannya. Tanpa itu, katanya, makan tidak punya arti.

“Saya pemakan lombok, juga istri saya. Anak saya kalau makan lombok sangat sadis. Makan dagingpun sambil nyeplus lombok atau dicampur dengan sambal. Saya bilang, jangan banyak-banyak nanti sakit perut. Eh malah dijawab, lombok kok bikin sakit perut,” kelakarnya tertawa bangga.

Sambil ngobrol ngalor ngidul maka nasi dan daging gurih itu nyaris ludes. Sebenarnya saya sudah kenyang, tapi karena terus disodori ya akhirnya saya sikat juga. Tidak terasa hari sudah mulai agak gelap. Pembicaraan tidak pernah ada hentinya. Dan, minuman dari buah granat (delima) yang menyudahi perhelatan panjang di ruang makan.

Tapi alih-alih saya boleh pulang. Kita mesti kembali ke ruang tamu lagi untuk sesuatu yang sangat penting. Sang kakek membuka laci, lalu memperlihatkan beberapa foto penting keluarganya. Terlihat, di zaman pra kemerdekaan, sang kakek ini berasal dari keluarga cukup terpandang dan kemudian berkembang menjadi tokoh penting di zamannya. Semua dokumen disimpan secara rapi di dalam map plastik.

Sebelum pamitan, sebuah pertanyaan gawat saya meluncur. Apa resep sang kakek yang sudah berusia 82 tahun ini masih tetap fit, sehat, tampak muda, bugar dan suaranya masih seperti geledek. Sangat tidak kalah gagah dengan lelaki Rusia pada umumnya.

“Dalam kondisi ini saya berpikir secara pragmatis saja. Saya juga minum vodka, cognac, ngrokok kretek, makan nasi dan sambel setiap hari. Tapi ingat, semua harus proporsional dan tidak boleh berlebihan,” katanya terkekeh sambil menutup pintu. Daswidaaniya. [***]

Penulis adalah WNI di Moskow, [email protected]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA