FROM MOSCOW WITH LOVE (60)

Demi Cinta Rela Membujang

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/m-aji-surya-5'>M. AJI SURYA</a>
OLEH: M. AJI SURYA
  • Rabu, 29 Agustus 2012, 11:16 WIB
Demi Cinta Rela Membujang
m. aji surya/ist
Love is an endless mystery, for it has nothing else to explain it. -- Rabindranath Tagore

Namanya Sumanto Saman. Orangnya kecil dan tergolong tidak tinggi. Berkulit sawo matang sebagaimana halnya orang Indonesia pada umumnya. Perangainya periang dan mudah bergaul. Tidak tampak kegalauan dalam kehidupannya. Sepertinya dunia ini datar-datar saja. Tak ada gejolak maupun riak. Hmmm aneh memang, mengingat hidupnya penuh dengan beberapa tikungan tajam.

Sekilas, bisa jadi orang mengira, Sumanto ini orang biasa saja. Sebagaimana orang yang ada di jalanan umum di kota ujung dunia Moskow. Apalagi pria kelahiran Bandung ini tidak pernah membual dan omong besar. Ia rupanya menjalani hidup ini dengan penuh kesabaran dan kesyukuran. Kalaupun ada yang kurang, telunjuknya lebih mengarah pada dirinya sendiri, alias introspeksi.

Pendidikan terakhir di tanah air adalah sarjana muda ilmu pasti dan alam dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Ia mulai terdampar di Uni Soviet manakala ia teken ikatan dinas dengan universitas untuk melanjutkan studi ke negeri beruang merah. Tidak sulit saat itu untuk mendapatkan beasiswa karena negara adidaya ini memang lagi berangkulan mesra dengan Pemerintah Indonesia dibawah Pak Karno. Uni Soviet mengobral pendidikan kepada warga Indonesia.

Sumanto muda yang trengginas terbang ke Moskow pada tahun 1964 untuk studi jurusan biologi bagian virus. Karena memang otaknya encer, ia diterima di Universitas Negeri Moskow (MGU), perguruan paling bergengsi dari masa Soviet hingga masa kini. Ia merasa cocok dengan lingkungan akademis disini dan akhirnya menyabet gelar magister pada tahun 1972. Tapi semua itu bukan dengan mudah diraihnya. Gelombang demi gelombang kehidupan harus diarunginya dengan penuh ketabahan.

Pada saat ia berada di sekolah persiapan bahasa (1965) terjadi gejolak politik yang ekornya mengimbas sampai ujung dunia. Kala itu, ia menjadi Ketua Kesenian untuk pemuda Indonesia pada universitas Patris Lumumba (sekarang RUDN). Karena asyik kuliah dan aktif di organisasi kesenian, ia mengabaikan undangan untuk screening di KBRI. Akibatnya sangatlah fatal: paspornya dicabut dan ia mejadi bak layang-layang putus talinya.

"Semua itu karena kesalahan saya. Kelalaian saya. Waktu itu memang terlalu asyik belajar. Kurang berpikir panjang. Tidak mengira akhirnya akan berbuntut panjang begini," ujarnya menerawang.

"Saya sebenarnya masih punya kesempatan pulang ke tanah air. Tapi saya pikir hal itu tidak baik karena menjadi seorang sarjana di masa tersebut merupakan impian saya. Sesuatu yang penting dalam hidup. Dari Indonesia saya sudah bergelar sarjana muda, karenanya saya pulang harus sudah sarjana," imbuhnya.

Tentu saja, kehilangan kewarganegaraan bukan soal yang enteng.  Tidak segampang makan krupuk. Ini adalah soal "hidup dan mati" sebagai anak bangsa. Ini adalah soal cinta tanah air yang tak bisa tergadaikan dengan harga berapapun. Apalagi Sumanto mengaku tidak pernah terlibat dengan gerakan komunisme di manapun.

Pada tahun 1966, atas bantuan organisasi Gerakan Pemuda Indonesia (GERPINDO), Sumanto mengajukan status stateless kepada pemerintah Uni Soviet dan dikabulkan. Dengan status ini berarti ia mendapat perlindungan politik atau setidaknya dianggap sebagai imigran politik.

"Saya lebih tenang daripada tidak punya status apapun. Hak-hak yang saya terima sangat kecil karena saya digolongkan warga asing. Bahkan pergi lebih 50 km dari kota Moskow harus mendapatkan izin khusus. Tapi apa boleh buat. Inilah maksimal yang bisa diraih " ujarnya dengan nada penyesalan.

Sebagaimana orang-orang stateless di negeri beruang merah, perestroika membawa berkah yang lumayan. Datangnya masa baru ini entah bagaimana memberikan peluang kepada mereka yang tanpa warga negara tersebut untuk bisa menyandang KTP Rusia, negara yang baru diorbitkan sebagai pengganti Uni Soviet.

Setelah mendapat secarik surat dari pemerintahan Presiden Yeltsin, Sumanto mulai kesana kemari mengurus melalui birokrasi yang cukup ruwet. Maklumlah, di masa tansisi semua serba kompleks dan tidak menentu. Berkat kegigihannya, akhirnya paspor Rusia didapatnya. Sejak saat itulah hak dan kewajibannya sebagai warga negara tidak berbeda dengan warga Rusia lainnya. Ia bisa pergi kemanapun dengan bebas.

Tapi, Sumanto yang lahir tahun 1941 tersebut menghela nafas panjang saat ditanya sudah berapa kali pulang ke Indonesia pasca menjadi warga Rusia. Matannya tiba-tiba menerawang dan mukanya jadi kusut. Ia diam sejenak dan suaranya parau.

"Sejak datang ke Uni Soviet, saya belum pernah pulang ke Indonesia. Saya tidak punya uang cukup untuk menengok sanak keluarga. Kalaupun saya punya uang, lebih baik saya kirim untuk kepentingan mereka. Ini sudah jadi nasib saya. Bahkan berkeluarga pun saya sudah tidak tertarik," ujarnya.

Unik juga. Sumanto bukanlah orang sembarangan. Mestinya dia punya uang cukup karena profesinya yang bernilai tinggi. Namun sistem yang belum mapan menyebabkan dirinya termasuk orang pinggiran.

Lihatlah. Setelah lulus universitas di Moskow, ia mulai bekerja di institut pertolongan pertama "Sklivasolsky" sebagai laboran, lalu meningkat menjadi dokter laboran dan terakhir tergolong kelas dokter. Jadilah orang memangilnya "dokter Sumanto".

Sebagai ahli, ia memiliki kepiawaian dalam soal penyelidikan kematian, riset glukosa dan biokimia. Sebelum pensiun 10an tahun lalu, Sumanto malah suah diangkat sebagai  dokter klas tertinggi, atau wesye katagori.  Gaji cukup besar, 40 ribu rubel atau 1300 dolar Amerika. Ia juga punya rumah yang lumayan.

Tidak hanya itu, sampai sekarang Sumanto masih dianggap sebagai dokter yang paling handal. Seorang yang mumpuni untuk melakukan riset laboratorium. Untuk itu, walau sudah pensiun namun masih dipekerjakan dengan honorarium yang lumayan.

Di masa tuanya ini, Sumanto mulai sedikit galau. Keinginannya untuk pulang kadang terkendala secara psikis: sudah terlalu lama tidak melakukan kontak dengan keluarganya. Di sisi lain, ia merasa bahwa keahliannya sebagai periset di laboratorium bisa jadi sangat diperlukan oleh bangsa Indonesia. Sumanto memang berada di simpang jalan.

Dalam kamus dirinya tidak ada kata dendam. Semua dianggap sebagai jalan kehidupan yang harus dititinya. Alias sudah suratan takdir. Cita-cita tertingginya memang bisa pulang dan mengabdi bagi bangsa yang telah melahirkannya. Sesuatu yang menurut banyak kalangan demikian mudah namun baginya sangat sulit dan kompleks. Bisa jadi banyak misteri yang belum bisa diungkapkan.

Untuk membunuh rasa kangen, ia jarang absen hadir di hari ulang tahun kemerdekaan RI yang dihelat oleh KBRI Moskow. Saat bendera Merah Putih siap dinaikkan, hatinya selalu berdebar. Cintanya kepada tanah air tak tertahankan. Tangannya yang sudah mulai berkeriput tetap tegap berada di pelipis kanan.

"Kepada sang saka Merah Putih, hormaaaaaaaaaaat grak," teriak komandan upacara.
"Indonesia, tanah airku. Tanah tumpah darahku. Disanalah aku berdiri....."


Penulis adalah WNI yang tinggal di Rusia ([email protected])

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA