Kakek dua cucu ini bernama Martinus Sugiarto, lahir tahun 1941 sebagai seorang Katolik namun kemudian banyak belajar tentang agama Islam. Setamat STM Negeri Solo tahun 1961, ayahnya yang saat itu menjabat di Jakarta, menawari dirinya untuk melanjutkan kuliah di luar negeri. Ketetapan hatinya untuk menuntut ilmu inilah yang akhirnya berbuntut panjang dan menjadikannya seorang yang terlempar dari satu negara ke negara lain tanpa status yang jelas.
Ada tiga tujuan studi: Jepang, Selandia Baru dan Eropa Timur. Untuk pilihan pertama dan kedua jelas tidak masuk hitungan, sebab bahasa Inggris Martinus boleh dibilang tidak bunyi. Pilihan tinggal yang ketiga. Ada ke Bulgaria, Rumania, Yugoslavia dan juga Uni Soviet. “Paman saya bilang, pergi saja ke negara besar Uni Soviet sehingga bisa belajar banyak untuk membangun negeri,†ujar Martinus mengenang masa lalunya dengan senyum pahit.
Berbekal pengalaman waktu remaja yang suka menaklukkan gunung dan bermain di pantai, ia mengaku tidak gentar untuk menapakkan kakinya di sebuah negeri asing. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia kemudian terbang menuju negeri beruang merah dan harus transit di Thailand, India dan Uzbekistan. Bulan Nopember 1961 merupakan hari bersejarah dalam dirinya karena untuk pertama kali melihat barang langka di tanah air: salju.
Dalam satu angkatan Martinus ada 50 anak muda Indonesia. Sesampai di Moskow ditampung di sebuah asrama dengan kumpulan anak muda Indonesia lainnya. Pemuda gagah Martinus menyatakan mengambil fakultas mesin sesuai jurusannya di STM. “Kalau pulang ke tanah air nanti saya ingin mengembangkan mobil nasional,†celotehnya dalam hati kala itu.
Setelah 6 hari di Moskow, Pemerintah Rusia memutuskan mengirim Martinus ke ibukota Azerbaijan, Baku. Di kota bagian selatan Soviet inilah ia mengasah bahasa Rusia sampai lancar sebelum kemudian ditempatkan bersama 6 temannya di kota Karkov, Ukraina. Disinilah ia membentuk tim pembuatan mobil nasional Indonesia. Namun melihat kondisi lingkungan yang tidak kondusif, maka atas bantuan Adam Malik, Martinus kemudian dipindahkan ke Automechanical Institute di Moskow sampai lulus di tahun 1967.
Sebuah Titik Balik
Martinus mengakui, sebelum keberangkatannya ke Uni Soviet, ia bersama rombongannya telah mengikuti sebuah indoktrinasi tentang politik nasional, yakni terkait dengan Nasakom, Ampera dan segala tetek bengek politik Bung Karno. Dengan demikian maka sebenarnya ia cukup tahu tentang hal-hal yang ingin dicapai oleh pemimpin Indonesia saat itu, meski bukan sebagai seorang praktisi politik.
Tidak heran bila kemudian Martinus kaget setengah mati tatkala terjadi pemberontakan PKI tahun 1965 dan berujung pada sebuah tawaran KBRI Moskow: menandatangani pernyataan bahwa Bung Karno terlibat. Ia mengikuti screening yang dilakukan pihak KBRI selama 4 jam yang utamanya menanyakan setuju tidaknya terjadap politik yang dikembangkan oleh Bung Karno!.
“Saya tidak bisa menerima Bung Karno dikatakan salah. Saya juga tidak mau ikut "mengganyang" Bung Karno. Lha wong saya dikirim oleh Bung Karno untuk membangun negeri kok tiba-tiba saya diminta "mengganyang" Bung Karno, ya tidak bisa. Ketetapan hati itulah yang kemudian membuat paspor Indonesia saya dicabut,†ujarnya.
Sekuat apapun pendirian, pencabutan paspor menjadikan pemuda Martinus limbung. Ia tiba-tiba seperti seekor anak ayam yang kehilangan induknya. Sejuta pertanyaan berkecamuk dalam dirinya. Ia datang hanya dengan tujuan belajar bukan untuk terlibat dalam kegiatan politik praktis. Namun kini, secara tidak sadar, ia telah terpinggirkan akibat pilihan politik yang dipilihnya.
Dalam waktu-waktu berikutnya, Martinus bersama beberapa orang yang mengaku progresif, tiba-tiba berhadapan dengan mahasiswa Indonesia di Uni Soviet yang pro Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto. Intimidasi dilakukan dalam bentuk yang berbagai macam, mulai dari soal politik hingga bersifat fisik. Bahkan ada seorang temannya yang ditusuk oleh mahasiswa Indonesia lainnya.
“Inilah sebuah masa pancaroba yang sangat menakutkan dalam kehidupan. Kami tidak tahu tentang masa depan studi dan semuanya tampak begitu buram. Hanya mereka yang menyetujui pemerintah barulah yang bisa dikatakan diatas angin,†kenangnya sambil berlinang air mata.
Menurut perhitungan kasar Martinus, di tahun 1966 terdapat sekitar 1500 mahasiswa Indonesia yang tersebar di seluruh kota Uni Sovet. Hampir separuh dari jumlah tersebut menyatakan tidak mendukung “pengganyangan†Bung Karno dan enggan berafiliasi dengan rejim Soeharto. Mereka yang tergabung dalam kelompok nasionalis, komunis dan progresif itu kemudian merapatkan barisan agar terbebas dari belenggu politik yang menelikung.
Sayang memang, dalam perkembangan berikutnya, barisan tersebut kemudian terpecah-pecah karena visi dan aksi perjuangannya tidak kompak. Ada yang ingin jalan damai, evolusi maupun perang. Tiga golongan besar yang muncul yakni PKI, Nasionalis dan Progresif. PKI-pun kemudian terbelah menjadi pro Peking, pro Moskow dan netral. Semua golongan berusaha menarik anggota sebanyak-banyaknya. Namun yang berkembang pesat adalah grup PKI pro Moskow karena mendapatkan banyak fasilitas dari pemerintah Soviet, seperti perumahan dan izin tinggal.
Repotnya, Martinus hanya masuk dalam kelompok kecil yang diberi nama Grup Sokol. Karena tidak pro Soviet, nasibnya pun kemudian terlunta-lunta. Selain tidak mendapatkan izin tinggal, ia tidak bisa bekerja, kekurangan pangan dan akhirnya “diusir†keluar Moskow ke kota Dusambe, ibukota Tajikistan. Sangat mengenaskan.
“Persaingan saat itu memang keras sekali. Nasib kami, kabar burungnya justru ditentukan oleh kawan dari Indonesia yang pro Moskow. Teman menindas teman adalah soal biasa. Saya mengalami stres cukup berat namun masih untung tetap sehat. Beberapa kawan saya ada yang gila bahkan bunuh diri,†katanya mengenang.
Tak ada jalan lain, Martinus kemudian hijrah bersama istrinya ke Tajikistan. Di tempat baru tersebut ia hampir ditolak karena tidak beragama Islam. Namun ia dapat berkilah bahwa nama Martinus semata-mata karena ia lahir bulan Maret dan saat dites Qur’an dia bisa membaca dengan fasih karena pernah belajar agama Islam di Solo. Dalam status sebagai stateless itulah ia memulai hidup baru di Dusambe hingga 17 tahun lamanya. Prinsip hidupnya hanya satu: siap bekerja keras dimanapun juga.
Jalan Pulang Kampung
Awal 1990 adalah masa mengerikan lain bagi Martinus. Gejolak perestroika dan glasnost yang bergemuruh di Rusia menyebabkan Tajikistan dilanda demam nasionalisme. Akibatnya, disana terjadi perang saudara antara yang pro dan kontra. Kondisi yang chaos menyebabkan keamanan hilang dan villa serta harta yang dikumpulkan sekian lama habis digarong orang. Orang asing seperti dia, termarginalkan. Tak ada jalan lain kecuali melarikan diri lagi ke Moskow atas bantuan seorang teman. Istri dan dua anaknya dibawa hanya dengan bekal pakaian yang menempel di badan.
Tiba di ibukota Rusia, Martinus kembali mengais-ngais kehidupan. Berbekal hubungan baiknya dengan seorang dubes, ia tiba-tiba menjadi mandor dan pemborong bangunan. Di sela-sela itu, ia belajar bisnis kecil-kecilan yang mulai terbuka di negeri mantan komunis itu. Ia meniti hidupnya dari titik nol lagi.
Satusnya sebagai orang yang tak berwarganegara alias stateless akhirnya dilepas pada tahun 1999. Kerinduannya menjadi warga negara Indonesia tiba-tiba pupus di tengah suasana yang tak menentu dan usia yang semakin senja. Sementara, dengan menyandang sebagai warga negara Rusia maka ia akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama seperti warga Rusia lainnya, termasuk uang pensiun. Sejak saat itulah Martinus memegang paspor Rusia namun tetap berhati Indonesia.
Jalan pulang kampung itu akhirnya terbuka juga. Ketika Soeharto lengser keprabon, gairah berkunjung ke Indonesia kembali membuncah. Setelah 39 tahun meninggalkan Indonesia, tahun 2000 untuk pertama kali, Martinus menginjakkan bumi pertiwi dengan visa kunjungan sosial budaya. Tiba di Jakarta, Martinus langsung menuju Solo dan bertemu dengan sanak saudaranya.
“Saya tangis-tangisan dengan kakak dan saudara-saudara saya. Sayang ibu sudah meninggal dunia. Tidak gampang memang cerita soal cinta, dalam hati ini hanya terasa manteb dan bahagia yang tak terhingga,†katanya.
“Kini, saya sudah tidak punya cita-cita apa-apa lagi. Saya sudah melampaui semua cita-cita hidup dan bisa kembali ke Indonesia setiap saat. Posisi saya tinggal dua: pasrah dan mengalah,†tambahnya.
Martinus sekarang hidup di pinggiran kota Moskow dengan istrinya yang berusia senja. Dua anaknya menjadi manager perusahaan swasta, sedangkan dua cucunya terlihat sangat lucu dan menggemaskan. Martinus menghidupi keluarganya dengan uang pensiun sebesar 400 dolar per-bulan. Sebuah angka yang sangat mepet untuk kehidupan kota termahal di dunia, Moskow.
“Kita semua harus selalu bertindak dengan penuh keinsyafan, satu tingkat diatas kesadaran. Itulah yang bisa menyelamatkan kita sebagai individu dan bangsa. Di masa tua ini, saya siap siap mati dimana saja,†katanya dengan mata yang menerawang ke langit.
Sinar mentari yang turun melalui sela-sela dedaunan di hari perayaan ultah RI tersebut seolah meneteskan air mata dan ikut larut dalam suasana haru. Semua seolah diam membisu, mendengarkan liku-liku perjalanan anak bangsa. [***]
Penulis adalah WNI yang tinggal di Rusia, [email protected]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.