Menjelang perayaan kemerdekaan, Yanto Sudaryanto datang lagi ke rumah saya yang sempit. Pria yang terbuang ini rupanya ingin mencurahkan isi hati dan kelanjutan pengalamannya yang luar biasa. Saya hanya bisa tepekur dan melelehkan air mata:
“Bulan Agustus 1966 saya membuka lembaran baru dalam kehidupan saya. Lembaran suram yang penuh tanda tanya dan ketidakpastian. Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencabut paspor nasional saya! Tindakan non hukum yang drastis! Praktis saya dijebloskan ke “penjara†tanpa proses pemeriksaan, dilempar dalam pusaran badai kehidupan yang tak tentu arahnya. Untuk berapa lama? Saya sama sekali tidak tahu! Tidak ada seorangpun yang tahu! Semua ditangan Allah SWT!
Peristiwa tragis di Indonesia, pencabutan paspor nasional secara massal (sebagian besar mahasiswa Indonesia di Uni Soviet mendapat vonis yang sama) telah memutar balikkan seluruh pola kehidupan saya. Disatu pihak kini saya sudah tidak diakui oleh pemerintah sebagai warga Negara Indonesia. dipihak lain saya bukan juga warga Negara Uni Soviet! Saya terkatung katung! Ngambang. Pada waktu itu Pemerintah Soviet, memberikan kepada saya status “stateless†karena saya masih mahasiswa.
Pencabutan paspor adalah vonis pengucilan warga Negara. Dalam konteks situasi di Uni Soviat ini dilakukan tanpa penyelidikan atau penjelasan apapun. Ini jelas pelanggaran HAM. Memang pada waktu itu soal HAM sama sekali dilupakan! Tidak digubris!
Timbul kesulitan baru yang tak mungkin saya bayangkan sebelumnya! Masalah yang timbul diluar kemampuan saya untuk merubahnya. Saya hanya bisa mengikuti aliran “sungai†kehidupan yang ada dihadapan saya. Setiap saat saya harus ambil keputusan yang tak boleh meleset. Ini benar-benar ujian hidup yang riil. “To be or not to beâ€(kata Hamlet)!
Sebagai “stateless†daerah gerak sayapun sangat terbatas. Saya hanya bias “bebas†bergerak didalam lingkaran 40 km dari kota Moscow. Kalau saya ingin pergi ke tempat, kota lain, yang jaraknya dari Moscow lebih dari 40 km, saya harus mendapat ijin khusus dari badan migrasi (militsi). Sekali sebulan militsi (polisi) mesti mendatangi rumah saya dan mengadakan pemeriksaan. Yang diperiksa macam-macam. Buku pun diperiksa, jangan sampai ada buku anti Soviet. Saya sangat kecewa dan sayang ketika buku pelajaran ekonomi karya pakar ekonomi Amerika Samuelson dan Rostow dibeslah dengan alasan, bahwa buku tersebut mengajarkan ilmu borjuis! Walaupun polisi yang menyita itu nggak ngerti bahasa Inggris!
Akhir tahun 80-an ekonomi Uni Soviet hancur! Penduduk bisa membeli makanan hanya kalau punya kartu (namanya “kartu konsumsiâ€). Kartu diberikan oleh pemerintah setempat sesuai dengan jumlah anggota keluarga an terdaftar dirumah penduduk. Di kartu tersebut ditentukan jumlah dan jenis makanan yang bisa dibeli oleh setiap keluarga daerah setempat dalam waktu sebulan, atau seminggu. Tempat membelipun dibatasi, ditentukan sesuai dengan alamat tinggal. Saya sebagai orang tak berpaspor diberi kartu juga tetapi dengan jatah yang lebih sedikit disbanding penduduk (warga Negara). Pedagang bahan makanan menjadi “rajaâ€, pasar gelap merajalela!
Oh ya, waktu itu saya sudah selesai masa belajar tapi tidak bisa pulang, karena sudah bukan WN Indonesia lagi. Pemerintah Soviet memberi ijin pada saya untuk bekerja. Gaji pas-pasan! Untuk mencari pekerjaan sampingan tidak mungkin, dilarang hukum. Kerja gelap diancam straf yang besar, malah akibatnya bisa masuk penjara!
Satu masalah lagi bagi “statelessâ€. Walaupun saya diberi kesempatan bekerja tetapi saya hanya bisa sebagai pegawai rendahan. Sesuai dengan peraturan yang tak tertulis, tapi berlaku, “stateless†tidak bisa menduduki jabatan sebagai ketua group, bagian apalagi departemen.
Pada waktu bekerja saya sudah lumayan menguasai bahasa dan pengetahuan dibidang ekonomi. Saya tidak lupa dengan tekad saya untuk terus maju dalam kondisi bagaimanapun. Untungnya kolega ditempat kerja dan masyarakat Rusia umumnya sangat toleran dan peduli nasib orang lain. Saya sering mendapat dukungan dalam melaksanakan tugas kerja dan dalam menyelesaikan masalah kehidupan pribadi. Berkat upaya dan tekad yang keras, prestasi kerja yang baik saya diberi hak untuk menjadi ketua Bagian hubungan international. Kecuali itu, kadang kala diundang ke Institut untuk membimbing mahasiswa dalam melaksanakan karya ilmunya. Setapak demi setapak saya masuk ke bidang pendidikan di perguruan tinggi.
Mulai 1990 Rusia bergolak! Gorbachev menggantikan Brezhnev. Perestroika! Rusia mulai reformasi dan berganti arah dan tatasospoleknya. Dihimbaukan pengetrapan ekonomi pasar dan Negara setapak demi setapak mundur dari kemudi ekonomi. Negara tidak lagi memonopoli kegiatan ekonomi. Swasta mulai diberi kesempatan untuk berusaha bisnis. Mulai diterapkan konsepsi ekonomi liberal, ekonomi terbuka. PartaI komunis kehilangan kekuasaan mutlaknya dan Uni Soviet pecah menjadi 15 republik.
Untuk kesekian kalinya saya ikut dibawa arus perubahan arah dan gelombang tatahidup politik dan social Uni Soviet. Kini yang ngurusi saya adalah Republik Federasi Rusia! Uni Soviet sudah tidak ada. Timbul pertanyaan vital. “Bagaimanakah status saya sebagai ‘stateless†dalam konstelasi pola kehidupan Federasi Rusia?†Akan diakuikah oleh pemerintah baru status tersebut? Jelaslah bahwa pada hakekatnya di Uni Soviet terjadi revolusi. Semua berubah. Terbuka lembaran sejarah baru saya!
Pihak penguasa menjelaskan kepada saya, bahwa status saya sudah tidak bisa dipertahankan. Kalau mau tinggal di FR harus masuk menjadi warga negara, kalau tidak mau masuk warga Negara ya harus keluar dari Rusia. Saya terjepit dan tidak punya pilihan lain. Dinegara lain tidak ada yang bisa saya tumpangi dan yang mau menanggung saya. Akhirnya saya mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara Federasi Rusia.
Tadinya saya kira prosedurnya gampang dan cepat. Saya kan sudah bertahun tahun tinggal di Rusia. Ternyata penyelesaiannya memakan waktu yang cukup lama. situasi dipertajam lagi karena Organisasi dimana saya bekerja dibubarkan dan saya harus cari pekerjaan lain. Hampir 4 bulan saya tanpa pekerjaan, berarti tanpa gaji. Akhirnya saya dierima di Institut. Bersama dengan beberapa rekan dosen kami membentuk Fakultas Ekonomi International di Institut tersebut. Usahaku untuk mempertahankan eksistensi tetap gigih. Saya mulai mendapat kepercayaan dan selanjutnya dipilih menjadi profesor, ketua jurusan Ekonomi International. Saya mulai megembangkan hubungan dengan rekan dari perguruan tinggi lainnya.
Nampaknya tiba juga masa ketenangan dalam kerja dan kehidupan. Tetapi impian untuk ke tanah air makin mencekik hati. Dari hari kehari kucari informasi, tanda-tanda perkembangan hubungan Rusia Indonesia. Bagi saya nama Indonesia menjadi sesuatu yang sakral dan sesuatu yang berasal Indonesia selalu saya simpan, saya taruh ditempat yang selalu bisa saya lihat.
Perubahan yang terjadi di Indonesia dengan turunnya Presiden Soeharto menguatkan keyakinan saya , bahwa tidak lama lagi saya mesti akan tiba di Indonesia, bertemu dengan sanak kadang yang sudah hampir 40 tahun kutinggalkan. Masih ingatkah mereka pada saya? Ingakah saya pada mereka?
Syukur alhamdullilah terjadi perubahan baru di Indonesia dan saya diijinkan masuk ke Indonesia. Saya lama tidak bisa percaya, bahwa hal itu benar adanya. Jangan-jangan hanya pepesan kosong! Kalau orang sudah terlalu lama berada dalam lajur hitam biasanya tidak cepat percaya kalau ada lajur putih.
Saya berterima kasih pada Allah SWT bahwa saya masih bisa menginjakkan kakiku lagi dibumi Indonesia tercinta. Setelah terkucil lebih dari 36 tahun saya berpelukan dengan kakak, adik2 saya. Sayang ibu sudah meninggal 5 tahun sebelum saya datang. Kudengar suara2 mesra Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Kulihat gunung2 dan sawah sepanjang jalan yang cantik. Aku bernafas dalam ,menelan lagi udara Indonesia.
Saya sepertinya orang asing yang pertama kali datang ke Indonesia. Dada saya penuh emosi. Tidak terasa air mataku menetes, air mata kebahagiaan yang tak bisa kuutarakan dengan kata2. Ini hanya bisa dirasakan oleh orang yang mengalami hidup seperti saya!
Liku-liku kehidupan membawa saya keakar kehidupan saya lagi. Kekampung halaman yang sudah banyak berubah, ke sanak kadang yang jumlahnya tambah banyak. Saya masuk dalam episode hidup yang baru. Lembaran sejarah yang baru. Saya kini menjadi anggota keluarga besar, keluarga Indonesia dan Rusia!
Kini mimpi saya tinggal satu: mengembangkan hubungan ekonomi dan budaya antara dua negara besar, Indonesia dan Rusia menggunakan kemampuan dan pengetahuan yang saya kuasai. Insya Allah akan terwujud.†[***]
M. Aji Surya adalah penulis buku “Segenggam Cinta dari Moskwaâ€.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.