Sekitar tahun 1960-an, warga muslim yang berdomisili di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, merindukan tempat beribadah yang nyaman dan dekat dengan tempat tinggal mereka. Kebutuhan akan sebuah masjid sebagai sarana pelepas dahaga rohani dengan menjalin "hablun minallah" sudah tak terbendung lagi. Apalagi ketika itu, umat beragama lainnya di wilayah Menteng lebih dulu memiliki rumah ibadah yang nyaman.
Sebelum Masjid Sunda Kelapa dibangun, warga muslim mesti menempuh perjalanan berkilo-kilo meter hanya untuk ibadah shalat Jumat atau sholat berjamaah lainnya. Tokoh warga Menteng yang bernama H.B.R Motik bersama warga lainnya mengambil inisiatif untuk mewujudkan kehadiran sebuah masjid di pemukiman mereka.
Upaya pertama adalah menyodorkan proposal kepada Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Warga yang mayoritas merupakan purnawirawan TNI Angkatan Darat mengusulkan masjid yang akan dibangun berlokasi di Taman Suropati atau gedung Bappenas. Konon, kegigihan warga itu bukan pertama kalinya. Berkali-kali sebelumnya mereka mengumpulkan dana untuk membangun masjid. Tapi sayang, impian itu gagal karena berbagai kendala.
Awalnya, negosiasi dengan Ali Sadikin tidak berlangsung mulus. Terutama karena gubernur tidak sreg dengan pilihan lokasi yang disodorkan, yaitu kawasan Taman Suropati. Pasalnya, di sekitar taman terdapat pasar dan jalan raya yang bising.
Menurut Bang Ali, sapaan untuk Ali Sadikin, kawasan Sunda Kelapa adalah tempat yang paling nyaman dan jauh dari hiruk-pikuk kota. Tentu lokasi tersebut sangat cocok bagi masyarakat yang ingin beribadah dengan khusyuk. Ali Sadikin menyetujui pembangunan Mesjid Agung Sunda Kelapa yang dibangun di atas tanah seluas 9,920 meter persegi. Gayung berisambut. Warga mengapresiasi ide Ali Sadikin. Mereka berbondong-bondong menyumbangkan dana pribadi.
Akhirnya, pada 21 Desember1969, pembangunan Masjid Agung Sunda Kelapa disahkan Gubernur Ali Sadikin ditandai peletakan batu pertama, dan peresmiannya dilakukan pada 31 Maret 1971.
Dalam rentetan proses pembangunannya, Masjid Sunda Kelapa dikenal sebagai saksi bisu atas konstelasi politik yang pernah terjadi di tahun 1960-an akhir. Konon, beberapa kali petinggi negara berkumpul di masjid itu untuk merumuskan pemberantasan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Salah seorang pengurus masjid, Izzuddin Syama, menceritakan, bahwa pernah satu ketika tokoh politik masa itu, Ir. Djuanda, bersama Ketua PBNU Subhan Z.E, dan sesepuh lainnya menggelar rapat membahas strategi pelumpuhan PKI yang diidentikkan dengan atheisme, paham ketidakpercayaan pada Tuhan.
Pria berjenggot itu juga mengingat, mantan presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, di saat mudanya selalu menyempatkan waktu menyambangi Sudna Kelapa. Di sana, sang tokoh besar Nahdlatul Ulama kerap mengisi diskusi dan berbagai "halaqoh" lainnya. Mantan Ketua MPR RI, Amien Rais, juga kerap berkunjung ke mesjid ini.
Berada di kawasan tempat tinggal para petinggi negara membuat Masjid Agung Sunda Kelapa mendapatkan perhatian lebih. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Ketua MPR saat ini, Taufiq Kiemas, pernah menghibahkan mobil ambulans masing-masing satu unit untuk Masjid legendaris itu.
Kini, Masjid Agung yang diarsiteki oleh Ir. Gustav Abbas, seorang alumnus tekhnik sipil ITB Bandung, masih gagah berdiri. Nuansa arsitektur modern menjadi karakter bangunannya. Menariknya, masjid ini tidak memiliki kubah seperti masjid umumnya. Kubah masjid dirancang menyerupai bentuk perahu, merujuk pada Selat Sunda yang menjadi lintasan perahu para pelancong atau nelayan.
Saat tiba di gerbang utama, pengunjung langsung disuguhi gapura indah yang diberikan sentuhan kaligrafi Arab dibalut cat warna emas dan putih. Jika kita masuk lebih dalam, para pengunjung terlebih dahulu harus melewati teras sepanjang 30 meter. Teras keramik putih dan abu-abu diapit oleh pepohonan pinus dan hiasan tiang-tiang lampu penerang. Suasana ini kian menambah ketentraman hati para pengunjung.
Sesampai di dalam, bagian dinding masjid tidak terlalu menonjolkan corak seni kaligrafi Arab. Hanya di sisi mihrab saja tulisan potongan ayat suci Al Quran itu ditorehkan.
Di setiap sudut ruangan masjid tampak monitor LCD berukuran 32 inci. Pada saat khotbah Jumat atau kegiatan pengajian rutin berlangsung, layar LCD tersebut akan menampilkan wajah khotib atau ustadz yang sedang memberikan ceramah. Bahkan, setiap menjelang adzan maghrib pihak pengelola mesjid selalu menyuguhkan gambar pengajian Al Quran yang dibacakan oleh qar’ dalam lantunan merdu yang dipantulkan ke dinding masjid melalui layar infokus. Jadi, para jama’ah akan mudah mengikuti irama dan lafazh yang diucapkan oleh qari’ tersebut.
Perkembangan teknologi informasi semakin canggih dan pengelola masjid Agung Sunda Kelapa sadar betul terhadap akses informasi cepat yang dibutuhkan oleh umat. Sehingga, di setiap materi kajian atau diskusi akan disiarkan melalui internet broadcast. Maka tak heran, ketika shalat Jumat , ribuan masyarakat berduyun-duyun menyambangi mesjid ini. Pernah satu waktu, dari kotak amal saja terkumpul uang sebesar Rp 17 juta untuk satu kali shalat Jumat.
Mengingat kuantitas jamaah yang tak mampu ditampung oleh ruangan masjid, pada tahun 2000 pengurus mesjid membangun Serambi Jayakarta sebagai ruangan alternatif para jamaah yang hendak melakukan shalat. Saat ini, masjid Agung Sunda Kelapa mampu menampung 4424 jamaah.
Sebagai tempat beribadah yang lokasinya strategis, bagi warga Jakarta, kawasan Masjid Sunda Kelapa dan sekitarnya adalah solusi sementara penghilang stres dan jenuh di saat macet melanda jalanan kota. Para pekerja kantor lebih banyak meluangkan waktunya mengikuti pengajian dan beritikaf di petang hari usai pulang kerja. Pihak pengelola mesjid juga rutin mengadakan kegiatan kajian keagamaan.
Selama Ramadhan, pengurus masjid telah "membooking" seorang Syeikh dari Madinah sebagai imam sholat tarawih. Setiap hari selama Ramadhan, pengurus masjid juga menyiapkan 1500 box nasi yang dibagikan secara gratis untuk warga yang ingin berbuka puasa di masjid tersebut. [****]
BERITA TERKAIT: